Dr. Usman Thalib
Mezak Wakim, S.Pd
Kesadaran akan ruang geografis wilayah Indonesia serta kesadaran sejarah maritim masyarakat bahari Nusantara telah melahirkan konsep “wawasan nusantara” pada era Orde Baru. Wawasan Nusantara yang dianut oleh bangsa dan Negara Indonesia pada substansinya menempatkan laut sebagai infrastruktur dasar wilayah Indonesia yang ditaburi dengan pulau-pulau besar dan kecil. Konsep Laut – Pulau pada substansinya memiliki nilai strategis bagi komunikasi sosial budaya masyarakat sekaligus mengukuhkan eksistensi politik Negara Kesatuan Repubik Indonesia (NKRI). Oleh karena itu pembangunan nasional harus diarahkan pada upaya pendayagunaan dan pemanfaatan unsur-unsur kelautan secara menyeluruh yang mencakup dunia perdagangan antar pulau, jasa perhubungan antar pulau, dunia perikanan dan industri maritim lainnya.
Pala, bunga pala dan cengkih memiliki sejarah panjang dan fantastis. Daya tarik dari kedua komoditas itu bukan saja karena sangat dibutuhkan manusia dalam berbagai kepentingan, tetapi juga rempah-rempah itu mampu membawah perubahan besar dalam sejarah dunia. Dalam konteks ini dunia maritim dengan segala aspek yang melekat padanya, seperti laut, teluk dan pantai, pelabuhan, navigasi, angin, gelombang, ukuran dan bentuk kapal serta pengetahuan kemaritiman lainnya memegang peran yang sangat penting. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa kerajaan-kerajaan imperialis Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda di Asia dibangun atas dasar pencarian rempah-rempah. Demikian pula munculnya berbagai kerajaan bercorak maritim di Nusantara, kejayaannya bukan karena produk-produk kelautan yang dihasilkan, tetapi adanya jaringan perdagangan rempah-rempah yang membentang dari Eropa sampai ke Maluku. Fenomena yang sama juga terjadi dalam proses pelayaran dan penemuan benua Amerika dan Australia yang dilatar-belakangi oleh upaya pencarian daerah produsen cengkih dan pala.
Kalau bukan karena nafsuh menemukan daerah penghasil cengkih dan pala itu, Cristopher Colombus tidak mungkin menyeberang samudera Atlantik yang ganas itu untuk kemudian menemukan benua Amerika. Dalam kaitan itu Jack Turner menyatakan nafsu akan rempah-rempah, nyatanya dapat memunculkan energi yang tercurah secara luar biasa dan tak ada bandingannya, baik pada saat kelahiran dunia modern maupun dalam beberapa abad atau bahkan ribuan tahun sebelumnya[1]). Demi rempah-rempah, kekayaan datang dan pergi, kekuasaan dibangun untuk kemudian dihancurkan dan bahkan sebuah dunia baru (benua Amerika dan Australia) ditemukan. Selama ribuan tahun, selera akan rempah-rempah terbentang di sekujur planet bumi dalam proses mengubah dunia.
Pertanyaannya adalah mengapa orang begitu tergila-gila dan mau mengambil risiko yang begitu besar,menyeberangi samudera menentang gelombang cuma untuk menemukan rempah-rempah terutama pala, bunga pala dan cengkih ? Jawaban termudah, namun juga yang terdangkal adalah bahwa rempah-rempah merupakan komoditas yang sangat berharga, karena faktor kelangkaan dan tingkat kesulitan yang tinggi untuk memperolehnya. Dari tempat asalnya yang jauh di pulau-pulau kecil tropis dan vulkanis Ternate, Tidore, Makian, Moti dan Bacan serta Banda Neira, pala, bunga pala dan cengkih mengalir ke pasar Venesia, Belgia dan London dengan melewati jalur yang berliku-liku, hampir mengelilingi setengah bumi, lewat jasa manusia dari berbagai suku dan bangsa yang berbeda bahasa dan karakter. Hanya di pulau-pulau kecil vulkanis itulah pala dan cengkih tumbuh, sedangkan di tempat lain tidak ditemukan kedua tanaman tersebut. Tome Pires dalam Suma Oriental menyatakan bahwa;
“pedagang-pedagang melayu mengatakan kepada saya Tuhan menciptakan Timor untuk kayu cendana, Banda untuk buah pala dan Maluku untuk cengkih, dan barang perdagangan ini tidak dikenal di lain tempat di dunia ini, kecuali di tempat-tempat yang disebut tadi. Dan saya telah tanyakan dan selidiki dengan teliti apakah barang ini terdapat di tempat lain, semua orang mengatakan tidak “[2]).
Nasib dari kerajaan-kerajaan di dua wilayah provinsi itu tidak bedanya dengan kerajaan-kerajaan lainnya di Nusantara. Orientasi ke dunia maritim semakin surut bersamaan dengan hadirnya Portugis, Belanda dan Inggris dengan armada-armada besar yang mampu melintasi pesisir benua dan samudera, untuk kemudian melakukan tindakan monopoli pelayaran diperairan Nusantara. Kendati demikian sisa-sisa dunia kebaharian masyarakat Maluku masa lampau itu masih dapat kita temukan di wilayah-wilayah pesisir di kedua propinsi tersebut. Walaupun harus diakui, bahwa dewasa ini kelompok masyarakat itu tidak dapat digolongkan lagi sebagai masyarakat bahari, karena orientasi ke darat sudah jauh lebih kuat dari orientasi ke laut. Salah satu dari masyarakat bahari masa lampau itu dapat kita temukan sisa-sisanya di wilayah Kecamatan Banda Kabupaten Maluku tengah.
Sebagai daerah produsan buah pala, Kepulauan Banda sudah terkenal di dunia internasional sejak sebelum abad ke-15. Kontak awal terjadi dengan bangsa-bangsa Asia, seperti para pelaut dan pedagang Melayu, Cina, India dan Arab. Orang-orang Banda selain menjual pala dan fulinya, juga ikut serta dalam pelayaran perdagangan itu sampai ke Malaka, tempat dimana berkumpul berbagai armada dagang. Tome Pires dalam Suma Orientalnya menyebutkan salah satu kelompok pedagang yang ada di Malaka ketika itu adalah Maluku dan Banda [3]). Orang-orang Banda selain ikut serta dalam pelayaran niaga, juga memiliki armada dagang sendiri yang mengangkut hasil-hasil bumi dari pulau-pulau lain ke Banda [4]).
Informasi historis tersebut diatas, memberi gambaran bahwa daerah kepulauan Banda selain berfungsi sebagai produsen tunggal pala dan fuli, juga masyarakatnya memiliki armada dagang. Dengan kata lain mereka memiliki sarana angkutan laut (jung-jung) yang mampu mengangkut barang dari pulau-pulau lain ke Kepulauan Banda. Dari latar historis juga dketahui bahwa orang Banda memiliki armada perang laut yang dikenal dengan istilah “Korakora” atau Belang [5]). Korakora / belang terbagi tas dua jenis yakni jenis yang digunakan untuk berperang dan jenis yang digunakan untuk melayani perjalanan Raja.
Di Kepulauan Banda sampai dengan dekade 1970-an masih dikenal beberapa sarana angkutan laut, seperti arumbai, kolekole, tambangan, jungku, belang dan rurehe. Jenis-jenis sarana angkutan laut tersebut mencerminkan betapa luasnya perbendaharaan alat angkut yang digunakan dalam berbagai aktivitas di laut. Berbagai jenis angkutan laut itu memiliki fungsi dan tingkat kelaikan laut yang berbeda-beda. Ada yang terbatas pada areal penangkapan ikan di sekitar kepulauan Banda, ada yang berfungsi melakukan pelayaran antar pulau di kepulauan Banda, dan ada pula yang mampu melakukan pelayaran jauh sampai ke Malaysia dan Singapura.
maritim Indonesia. Sebagai negara kepulauan, kita akan sulit memahami sejarah bangsa ini, jika aspek kemaritiman atau kelautan diabaikan. Laut – pulau menjadi infrastruktur dasar yang menciptakan ruang dan waktu bagi perjalanan sejarah bangsa Indonesia, baik pada masa lampau apalagi pada masa kini maupun pada masa akan datang. Pentingnya penguasaan laut dengan berbagai aspek yang melingkupinya disadari sepenuhnya oleh pemerintah kolonial. Kebijakan politik sejak abad ke-17 hingga abad ke-19 difokuskan pada perdagangan maritim, khususnya dari dan ke kepulauan Maluku, daerah penghasil rempah-rempah. Tujuannya bukan saja untuk meningkatkan pendapatan disektor perekonomian, tetapi juga bagian dari strategi menyatukan seluruh wilayah nusantara dalam satu kesatuan Hindia Belanda.
Ternate, Banda dan Ambon oleh pemerintah kolonial dijuluki sebagai “The Three Golden from the East”. Ini sudah tentu tidak terlepas dari dua komoditas komersial yang penting dan berharga yang dimiliki kepulauan Maluku. Ternate hadir dengan cengkih dan Banda muncul dengan buah palanya, sedangkan Ambon mengambil peran sebagai daerah transit ke Utara menuju kepulauan penghasil cengkih dan ke Selatan menuju Banda, produsen tunggal buah pala.
Kesadaran sejarah akan pentingnya ruang laut bagi kemajuan peradaban masyarakat kepulauan, ditunjukan pula oleh orang-orang Banda pada masa lampau. Mereka tidak saja terpukau dengan kebun-kebun pala yang mampu mendatangkan kesejahteraan, tetapi juga bertindak sebagai pelaut sekaligus pedagang antar pulau. Mereka memiliki armada laut yang mampu melayari perairan Nusantara sampai ke Malaka pusat perdagangan rempah-rempah di Asia Tenggara.
Studi ini pada intinya mempersoalkan kaitan antara Banda sebagai produsen tunggal buah pala dengan perdagangan pala serta jaringan pelayaran niaga, dimana orang-orang Banda terlibat langsung sebagai pelaut sekaligus pedagang yang mengantar-pulaukan rempah-rempah termasuk cengkih. Sejalan dengan itu unsur pengetahuan menjadi penting, terutama yang terkait dengan teknologi pembuatan perahu dalam berbagai jenis, ketrampilan navigasi yang disertai dengan pengetahuan geografi untuk mengenal lokasi-lokasi yang dikunjungi serta hidrologi untuk mengetahui arus laut pada waktu-waktu tertentu. Demikian pula meteorologi untuk mempelajari gerak angin yang bisa dimanfaatkan, serta astronomi untuk memahami peredaran bulan dan bintang yang dapat menjadi pegangan dalam menentukan arah dalam pelayaran. Bagaimana pengetahuan tradisional itu tersebar dan terwariskan hingga saat ini menjadi hal menarik untuk diteliti dan dideskripsikan dalam satu penulisan sejarah (historiografi) maritim yang komprehensif dari suatu komunitas bahari masa lampau. Untuk itu ada beberapa pertanyaan penelitian yang kiranya dapat diajukan sebagai panduan dalam menjawab sejumlah permasalahan diatas.
- Bagaimana hubungan antara komoditas pala – perdagangan – pelayaran niaga dan pandangan mereka tentang laut dengan segala aspek kebahariannya ?
- Siapa saja yang memproduksi pala, memperdagangkan pala serta siapa pula yang bertindak sebagai pelaut yang mengantar-pulaukan rempah-rempah termasuk cengkih ?
- Bagaimana pengetahuan kemaritiman yang bersifat tradisional itu tersebar dan terwariskan hingga generasi Banda dewasa ini ?
Untuk dapat menjelaskan semua permasalahan itu, maka beberapa persoalan sekitar latar historis dan struktur sosial masyarakat Banda, ekologi kepulauan Banda serta struktur tanah yang memungkinkan tumbuhnya tanaman pala, pandangan dan pengetahuan kelautan serta faktor-faktor kondisional yang ada dan berkembang dalam perjalanan sejarah orang-orang Banda sebagai komunitas agraris sekaligus komunitas bahari akan dikaji sebagai bagian dari studi ini.
- Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkapkan sejarah eksistensi komunitas masyarakat Banda, baik sebagai komunitas agraris yang memproduksikan pala, dan terutama sebagai komunitas bahari yang yang bertindak sebagai pelaut sekaligus pedagang antar pulau yang memperdagangkan rempah-rempah khususnya pala dan cengkih. Selain itu penelitian ini juga berupaya memahami perubahan-perubahan yang terjadi pada era pra kolonial, era kolonial dan era kontemporer khususnya eksistensi mereka sebagai komunitas bahari. Pemahaman terhadap perubahan itu menjadi penting, karena sejarah sosial masyarakat Banda memperlihatkan adanya komunitas awal (penduduk asli), komunitas kolonial dan komunitas Banda dewasa ini. Itulah sebabnya studi ini mengambil rentang waktu yang sangat panjang (longdure) namun bersifat gradual dengan mengambil tema sejarah maritim sebagai fokusnya. Sedangkan secara spesifik penelitian ini bertujuan untuk;
- Mengetahui ekologi kepulauan Banda dan peran Pala sebagai komoditas perdagangan yang memicu lahirnya masyarakat bahari khas Banda yang memiliki pengetahuan dan pandangan tentang laut dengan segala aspek kebahariannya.
- Menjelaskan dinamika perdagangan pala, pengangkutan dan pelayaran. Siapa saja atau kelompok mana saja yang terlibat dalam produksi, pengangkutan dan pelayaran.
- Menjelaskan berbagai pengetahuan kebaharian yang terwariskan serta perwujudannya pada saat ini dalam bentuk pemanfaatan laut sebagai lahan kehidupan mereka.
- Ruang Lingkup Penelitian
Sejarah kemaritiman orang-orang Banda dalam konteks ruang dan waktu mengalami perubahan searah dengan perubahan kekuasaan dan kebijakan politik penguasa. Dengan demikian pendekatan periodisasi menjadi penting untuk memahami gerak perubahan itu. Pada era pra kolonial, era kolonial dan pasca kolonial memiliki ciri dan karakteristik yang berbeda-beda. Perbedaan-perbedaan yang demikian itu kemudian melahirkan kompleksitas dalam kajian sejarah kemaritiman atau kebaharian masyarakat di kepulauan Banda. Untuk mengatasi kompleksitas dalam kajian sejarah kemaritiman atau kebaharian itu, maka diperlukan adanya batasan penelitian baik batasan spatial maupun periodisasi.
Pembatasan spatial dalam studi ini mencakup lokalitas kepulauan Banda yang meliputi Pulau Neira, Pulau Banda Besar, Pulau Rosengin (Hatta), Pulau Ai, Pulau Run, Pulau Gunung Api, Pulau Pisang (Sjahrir), Pulau Nailaka, Pulau Manukang, (Suanggi), dan Pulau Karaka. Akan tetapi dalam konteks spatial, tiga pulau masing-masing Pulau Nailaka, Pulau Manukang, (Suanggi), dan Pulau Karaka dikesampingkan karena di ketiga pulau ini tidak berpenghuni.
Berdasarkan pada perspektif spatial, maka yang perlu dicermati adalah Kepulauan Banda dalam konteks geografis merupakan kepulauan yang termasuk dalam jalur perdagangan dan pelayaran nasional dan tradisional yang meliputi sebagian wilayah laut Indonesia serta melibatkan berbagai pedagang, baik dari pulau Jawa, Sulawesi, Ambon dan sekitarnya serta Ternate dan Tidore. Demikian pula para pedagang asing seperti Cina, India,Arab dan Persia. Terciptanya jaringan perdagangan laut ini telah mengantarkan Kepulauan Banda sebagai kepulauan yang strategis dan banyak dikunjungi pedagang dan pelaut dengan berbagai armada dagangnya. Secara transaksional, ramainya kunjungan armada dagang ke kepulauan Banda didasarkan pada komoditas rempah yang dihasilkan oleh kepulauan Banda berupa pala dan fuli yang memiliki nilai komersial tinggi.
Terdapatnya komoditi pala dan fuli dengan nilai komersial tinggi telah menempatkan kepulauan Banda tidak saja sebagai tempat yang ramai dikunjungi oleh berbagai armada dagang untuk melakukan transaksi pala dan fuli, tetapi juga menjadi kepulauan yang diperebutkan terutama oleh armada dagang Belanda (VOC) dan armada dagang Inggris (EIC). Persaingan yang terjadi kemudian mengorbitkan VOC sebagai pemenang dan sekaligus memegang kendali kekuasaan atas kepulauan Banda. Pada saat VOC menguasai kepulauan Banda, semua aktivitas pelayaran niaga didominasi oleh VOC termasuk aktivitas bahari masyarakat Banda ketika itu juga ditentukan oleh VOC. Dalam konteks ini orientasi masyarakat Banda sebagai pelaut dan pedagang antar pulau menjadi memelemah. Atau dengan kata lain aktivitas kebaharian mereka menjadi sangat terbatas.
Sebagaimana telah dijelaskan pada tujuan penelitian, bahwa studi ini mengambil rentang waktu yang cukup panjang (longdure). Rentang waktu yang panjang itu, secara garis besar terbagi menjadi tiga periode yakni periode pra kolonial, periode kolonial dan periode pasca kolonial. Walaupun dari sisi rentang waktu sangat panjang, namun data yang diambil bersifat gradual dengan fokus pada perubahan kehidupan bahari. Sudah tentu masing-masing periode menampilkan ciri-ciri berupa aktivitas kebaharian yang berbeda-beda. Apakah perbedaan itu bersifat perubahan kearah kemajuan (progress) dunia bahari mereka, ataukah perubahan itu kearah kemunduran (regress) dunia bahari mereka.
Pemahaman terhadap perubahan itu dianggap penting, karena sejarah sosial masyarakat Banda memperlihatkan adanya perkembangan komunitas dengan ciri-ciri yang sangat berbeda. Pada era pra kolonial, inisiatif dan aktivitas dunia kebaharian didominasi dan ditentukan oleh komunitas Asli Banda. Sedangkan pada era kolonial (penjajahan) inisiatif dan aktivitas dunia kebaharian didominasi dan ditentukan oleh pihak penjajah. Sementara pada era pasca kolonial telah terbentuk sebuah komunitas Banda Baru yang merupakan campuran dari berbagai etnik yang membentuk sebuah etnik baru yang bisa dilabelkan sebagai komunitas Banda Baru. Dengan demikian pada era pasca colonial, inisiatif dan aktivitas kebaharian ditentukan oleh masing-masing individu berdasarkan latar belakang identitas awal mereka.
- Kerangka Konseptual
Masyarakat bahari atau masyarakat maritim dapat diartikan sebagai satuan masyarakat yang menampakan ciri orientasi kelaut dalam menjalankan berbagai aktivitas kehidupan mereka. Dalam ruang lingkup yang lebih kecil, antropolog Meutia F. Swasono mengartikan masyarakat bahari sebagai sekelompok warga masyarakat yang bermukim di pesisir pantai atau diatas perahu di sekitar pantai, yang berorientasi ke laut dalam kehidupan sosial budaya mereka, khususnya dalam kegiatan mata pencahariannya [6]. Lebih lanjut dikatakan, bahwa masyarakat maritim bukan sekedar penangkap ikan (nelayan), apalagi itu diartikan sebagai mata pencaharian sambilan. Sebaliknya mereka mengarahkan tenaga dan pikiran untuk memanfaatkan laut demi kepentingan hidup mereka. Masyarakat ini memiliki nilai-nilai budaya, pandangan dan sikap hidup yang menekankan tentang pentingnya laut sebagai sumber kehidupan, termasuk cara pengembangan teknologi penangkapan dan pengolahan hasil laut.
Sejarawan Indonesia, A.B. Lapian memberi ketegasan, bahwa Sejarah Maritim Indonesia seharusnya melihat seluruh wilayah perairan Indonesia sebagai pemersatu yang mengintegrasikan ribuan pulau di Indonesia [7]. Dalam proses sejarah yang panjang dari zaman Sriwijaya hinggga Indonesia merdeka tingkat integrasi itu berbeda-beda, baik secara geografis maupun secara politis, ekonomis sosial dan kultural. Misalnya pada tahap awal kegiatan hanya terbatas pada suatu teluk kecil atau selat sempit tempat masyarakat lokal menyambung hidup sebagai nelayan. Akan tetapi dengan berkembangnya teknologi perkapalan dan pelayaran, maka wilayah kegiatannya bisa meluas sampai ke perairan yang lebih jauh. Sementara itu kekuatan-kekuatan politik dan ekonomi tertentu bisa saja memperluas wilayah pengaruhnya, sehingga menarik satuan-satuan yang kecil itu kedalam suatu wilayah pengaruh kekuasaan yang lebih besar.
Dengan pendekatan sistemik demikian, yakni melihat wilayah perairan Indonesia sebagai kesatuan dari berbagai macam satuan bahari (sea systems), maka proses integrasi dapat difahami berdasarkan sejarah masing-masing sistem itu yang kian berkembang menjadi satuan yang lebih besar, seperti laut Banda, laut Flores dan laut Jawa yang pada masa kemudian menjadi wilayah inti dari kepulauan Indonesia. Inilah yang oleh A.B. Lapian dikatakan, bahwa sebuah negara kepulauan seperti Indonesia, daerah inti (heartland) bukanlah pulau tertentu melainkan suatu wilayah maritim yang sentral letaknya [8].
Untuk memahami integrasi antar satuan wilayah perairan dengan satuan wilayah perairan lainnya, maka salah satu teori yang dipakai adalah teori “Set of Set” yang berasal dari George Cantor [9]. Menurutnya kemampuan otak manusia untuk memikirkan “banyak” sebagai “satu” dan membagi “satu” menjadi “banyak” merupakan dasar dari teori tersebut. Kemampuan itu dimungkinkan karena secara naluriah manusia mengenal suatu prinsip untuk membeda-bedakan berbagai elemen dalam suatu set (differensiasi), dan prinsip yang memungkinkan elemen-elemen itu diklasifikasikan dalam satu set (integrasi).
Laut sebagai faktor integrasi, sesungguhnya telah ditunjukan oleh suku bangsa pengembara laut, yang dibagian Barat Indonesia disebut Orang Laut dan dibagian Timur Indonesia disebut Orang Bajau (mereka sendiri menyebut dirinya orang Sa’ma). Sebagai pengembara, mereka mengadakan pelayaran keberbagai perairan nusantara dan menjalin hubungan dengan penduduk yang dikunjungi.
Selain orang Bajau yang berkeliling Nusantara, beberapa pakar juga mengatakan bahwa bahasa melayu, perahu lesung (kolekole), perahu bercadik tunggal dan ganda (perahu semang) yang tersebar dan digunakan hampir di seluruh wilayah Indonesia, merupakan bukti bahwa sesungguhnya bangsa Indonesia yang tinggal di berbagai pulau yang berbeda-beda, ternyata dapat diintegrasikan melalui laut. Dengan demikian sangatlah tepat jika laut dipandang sebagai faktor integrasi nasional dan bukan sebagai pemisah antar penduduk di berbagai pulau.
F. Metodologi Penelitian
Berdasarkan pada rumusan masalah diatas, penelitian ini diharapkan menghasilkan analisis yang bersifat kualitatif atas data yang dikumpulkan baik dari arsip dan bahan sekunder lainnya maupun dari hasil wawancara dengan orang-orang yang dianggap mempunyai informasi (informan) yang dapat dipercaya terutama yang terkait dengan tema penelitian ini.
Pengumpulan data atau sumber (heuristic) menjadi bagian penting dalam penulisan atau penelitian sejarah. Data atau sumber atau dokumen merupakan pintu masuk untuk mendapatkan fakta-fakta sejarah yang akan dibaca atau dianalisis untuk mendapatkan tulisan sejarah (no fact, no history). Maksud dari pengumpulan sumber atau data adalah agar konstruksi sejarah menjadi kuat dengan adanya bahan-bahan vital tersebut. Metode penelusuran sumber ini, pada hakikatnya tidak terlepas dari metodologi sejarah pada umumnya dengan penekanan pada writing sources. Dalam kajian ini data arsip dan sumber tercetak lainnya, dikumpulkan untuk mendapatkan informasi tentang proses pembentukan, pelestarian dan perubahan serta dinamika kesejarahan dalam berbagai dimensi dan rentang waktu terutama yang terkait dengan tema penelitian ini.
Metode lain yang digunakan juga adalah metode sejarah lisan (oral history). Metode ini pertama kali dipraktekkan pada tahun 1704 oleh seorang sejarawan bernama Bode. Dia mengandalkan teknik wawancara dalam penulisan karyanya ‘History of English Church and People’. Salah satu sumbangsih metode ini adalah menjadi alternatif memahami suatu peristiwa dengan sumber tertulis yang sangat terbatas. Selain itu metode ini membuat perubahan dari sejarah elitis ke sejarah egalitarian. Semula orang-orang kecil tidak masuk dalam karya sejarah, kemudian berubah menjadi pelaku sejarah.
Langkah selanjutnya, adalah memilah data atau dalam ilmu sejarah dikenal dengan kritik sumber, yang intinya memilih data yang memang betul-betul bisa dipertanggungjawabkan. Setelah itu, adalah interpretasi atau pemaknaan. Pada tahap inilah, sering lahir kegamangan peneliti sejarah untuk melakukan interpretasi terlalu jauh, dengan alasan ketakutan akan salah penafsiran. Padahal dengan keberanian interpretasilah akan banyak muncul kenyataan masa lalu yang tidak pernah diketahui. Dengan cara ini, akan lebih bermanfaat daripada sekedar menjejerkan data-data penelitan, sehingga tulisan terkesan tidak hidup. Terakhir, adalah penulisan. Dalam perspektif pasca kolonial, penulisan menjadi hal terpenting atas semua rangkaian fakta yang terjadi pada masa lampau. Dengan penekanan pada bahasa, tulisan akan menjadi lebih menarik dengan menyusunnya dalam gaya bahasa yang baik atau merangkainya dengan kata-kata yang enak dibaca.
Arsip yang dipergunakan berupa surat menyurat pemerintah, surat keputusan dan naskah-naskah ilmiah yang ditulis pada awal abad ke-18 dan ke-19. Dalam penelitian ini naskah-naskah ilmiah pada era tersebut menjadi sumber utama, karena banyak memberikan informasi tentang realitas dari masyarakat. Data dari majalah atau surat kabar lokal yang terbit pada periode penelitian, digunakan juga untuk mengumpulkan informasi tentang dinamika dan perdebatan yang muncul di masyarakat seputar gagasan pembangunan berbasis kelautan.
Dokumen untuk studi ini diperoleh dari Arsip Nasional (ANRI) di Jakarta Arsip Daerah Maluku di Ambon, Perpustakaan Nasional di Jakarta, Perpustakaan Rumphius di Ambon serta Perpustakaan Daerah Maluku di Ambon. Sumber arsip yang dimaksud seperti: Memory van Overgave (MvO), Laporan Controlir, dan lainnya. Juga arsip tercetak dan majalah seperti, Bijdragen tot de Taal-, Landen end Volkenkunde uigegeven door Koninklijk Instituut voor Taal-, Land en Volkenkunde, (BKI), Tijdschrift Bataviaasch Genootschap, (TBG), Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie (TNI), Indische Gids (ID), Corpus Diplomaticum (CD) dll. Selain itu beberapa peta, baik peta yang dikeluarkan oleh pemerintah maupun peta tidak formal yang dapat diperoleh dari masyarakat umum. Sumber lainnya berupa foto, baik koleksi lembaga tertentu seperti koleksi KITLV, Troopen Museum, maupun koleksi photo pribadi.
G.Rencana Pengembangan Sistematikan Penulisan
Sistematika penulisan laporan hasil penelitian, direncanakan dibuat dalam enam BAB dengan rincian sebagai berikut;
Bab I. Pendahuluan
- Latar Belakang
- Rumusan Masalah
- Tujuan Penelitian
- Ruang Lingkup Penelitian
- Kerangka Konseptual
- Metodologi Penelitian
Bab II. Kepulauan Banda Di Timur Indonesia
- Nama dan Identitas Pulau
- Lingkungan Ekologi dan Geografis
- Demografis, Etnik dan Struktur Sosial
- Penduduk Kepulauan Banda Komunitas Pertama
- Kaum Kolonis
- Komunitas Banda Baru
- Pala (Myristica Fragrans); Populasi dan Budidaya Tanaman
Bab. III. Kepulauan Banda Perspektif Sejarah Maritim
- Daya Tarik Kepulauan Banda
- Penjelajah Laut Mencari Kepulauan Banda
- Pelaut Asia dan Armada Dagangnya
- Pelaut Portugis dengan Armada Dagangnya
- Pelaut Belanda dengan Kongsi Dagangnya
- Pelaut Inggris dengan Kongsi Dagangnya
- Percaturan Niaga di Kepulauan Banda
- Armada Laut J.P.Coen Menaklukan Kepulauan Banda
Bab. IV. Kepulauan Banda Dalam Jaringan Perdagangan Laut
- Jaringan Perdagangan Pala
- Jaringan Perdagangan Pala Abad Pertengahan
- Jaringan Perdagangan Pala Abad Ke-17
- Armada Laut Orang-Orang Banda
- Pelayaran Niaga Orang-Orang Banda
Bab. V. Dunia Kemaritiman Orang Banda Dewasa Ini
- Masa Lampau Terawat Indah
- Dunia Maritim Orang-Orang Banda
- Transportasi Laut Orang-Orang Banda
- Laut Sumber Kehidupan
Bab. VI. Akhir Penelusuran
- Kesimpulan
- Rekomendasi
PENUTUP
Penelitian ini difokuskan pada upaya untuk menemukan sejarah kebaharian masyarakat Banda pada masa lampau dan aktivitas kebaharian pada masa kini.
- Penelitian ini juga berupaya menjelaskan jaringan perdagangan laut yang melibatkan para pelaut dan pedagang dari Asia terutama Cina,India dan Arab serta Persia serta navigator dan pedagang dari Eropa khususnya Portugis, Belanda dan Inggris.
- Penelitian ini pada substansinya bertujuan untuk ;
- Mengetahui ekologi kepulauan Banda dan peran Pala sebagai komoditas perdagangan yang memicu lahirnya masyarakat bahari khas Banda yang memiliki pengetahuan dan pandangan tentang laut dengan segala aspek kebahariannya.
- Menjelaskan dinamika perdagangan pala, pengangkutan dan pelayaran. Siapa saja atau kelompok mana saja yang terlibat dalam produksi, pengangkutan dan pelayaran.
- Menjelaskan berbagai pengetahuan kebaharian yang terwariskan serta perwujudannya pada saat ini dalam bentuk pemanfaatan laut sebagai lahan kehidupan mereka.
- Ruang lingkup dari penelitian ini terbagi dua yakni lingkup spasial yang meliputi seluruh kepulauan Banda dan lingkup temporal yang terbagi menjadi tiga periode yakni (a) Periode pra kolonial,(b) Periode kolonial dan (c) Periode pasca kolonial.
Dasar dari penelitian ini bersifat kualitatif dengan menggunakan metode penelitian sejarah, mulai dari tahap heuristic, kritik sumber (eksternal dan internal), interpretasi atas data serta historiografi
Daftar Pustaka
Anugerah Nontji, 1987; Laut Nusantara, Jakarta, Djembatan, 1987.
Armando Cortesao (ed),1944; The Suma Oriental of Tome Pires, London Printed for the Hakluyt Society.
Burger. H & Prajudi, 1962 ; Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, Jilid I, Pradnya Paramita, Djakarta.
Bernard H.M. Vleke, 2008; Nusantara: A.History Of Indonesia (disadur oleh Samsudin Berlian), Gramedia, Jakarta.
Ch.D. Ponto et al, 1997 ; Sejarah Pelayaran Niaga Di Indonesia, Jilid I, Yayasan Pusat Studi Pelayaran Niaga Indonesia, Jakarta.
Chaudhuri K.N, 1983 ; Trade and Civilisatian in the Indian Ocean : An Economic History From the Rise of Islam to 1750, Cambridge University Press, London & New York.
——————-, 1989 ; Asia Before Eropa : Econonomy and Civilisation of the Indian From the Rise of Islam 1750, Cambridge University Press, London & New York.
Des Alwi, 2005 ; Sejarah Maluku : Banda Naira, Ternate, Tidore dan Ambon, Gramedia, Jakarta.
Fu
[1] ). Jack Turner; Spice : the History of a Temptation, (New York, Vintage Books, 2005), hlm. xvi.
[2]). Armando Cortesao (ed), The Suma Oriental of Tome Pires, (London Printed for the Hakluyt Society, 1944).
[3] ). Untuk ini lihat ; Sartono Kartodirdjo; Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500 – 1900 : Dari Emporium Sampai Imperium, Jilid I, Gramedia, Jakarta, 1993 : hlm.11.
[4]). H. Burger dan Prajudi, Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, Pradnja Paramita, Jakarta, 1962, hlm. 52.
[5]). untuk ini lihat ; Willard A. Hanna ; Colonialism And Aftermath In The Nut meg Islands, ISHI, Copyright, Philadhelphia, 1978.
[6]). Meutia Farida Swasono ; Masyarakat Bahari Di Indonesia : Masa Lampau, Masa Kini Dan Tantangan Masa Depan, Makalah Dalam Seminar “Membangun Kembali Peradaban Bahari” yang diselenggarakan oleh Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Depok 24 April 1997.
[7] ). A.B. Lapian ; Sejarah Nusantara Sejarah Bahari; Pidato Pengukuhan Guru Besar Luar Biasa, Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Jakarta 1992, h.2.
[8] ). A.B. Lapian ; Ibid, h. 8.
[9] ). Set of Set sesungguhnya merupakan teori dalam ilmu matematika. Teori Matematika itu kemudian dikembangkan menjadi teori sejarah oleh Fernand Braudel untuk kajian sejarah Eropa dan K.N. Chaudori untuk kajian sejarah Asia. Untuk lebih jelas lihat R.Z. Leirissa; Ternate Dalam Jalur Sutera, Makalah Seminar “ Membangun Kembali Peradaban Bahari, Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 24 April 1997.