Penulis: Eklevina Eirumkuy, S.S – Pamong Budaya Ahli Pertama
Kebudayaan dalam realitasnya sebagai satu istilah yang erat dengan kehidupan masyarakat. Karena kebudayaan, sebagaimana dikemukakan oleh para ahli antropologi, diciptakan manusia sebagai keseluruhan yang kompleks yang di dalamnya terkandung sistem pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat istiadat, dan lain lain kemampuan serta kebiasaan yang diterima oleh masyarakat secara berkelanjutan melalui proses enkulturasi, sosialisasi, dan internalisasi. Atau, dalam bahasa keseharian proses tersebut sering disebut proses pembelajaran budaya.
Dalam proses pembelajaran budaya itu, kearifan lokal masyarakat menjadi sebuah aset dan kekuatan dalam hidup berkelanjutan. Dalam pengertian kebahasaan, kearifan lokal berarti kearifan setempat (local wisdom) yang dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan lokal yang bersifat bijaksana, memiliki yang tertanam dan diikuti oleh seluruh warga masyarakatnya. Dalam konsep antropologi, kearifan lokal dikenal pula sebagai pengetahuan setempat (indigenous or local knowledge), kecerdasan setempat (local genius), dan dalam konteks pemajuan kebudayaan yang termuat dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, pasal 5 butir e, dikenal dengan istilah pengetahuan tradisional.
Pengetahuan tradisional masyarakat yang ada di Pulau Larat Kabupaten Kepulauan Tanimbar (KKT) yang diangkat dalam artikel ini adalah tradisi bakar batu. Tradisi bakar batu merupakan pengetahuan tradisional orang Larat dalam memanfaatkan bahan-bahan dari alam untuk memasak makanan. Pada zaman nenek moyang dulu pengetahuan tradisional masyarakat adalah salah satu cara mereka dalam mempertahankan kehidupan agar dapat terus berlanjut atau sustainable. Dengan pengetahuan tradisional dan teknologi yang sederhana, mereka berkreasi sehingga menghasilkan sebuah karya genius dalam memasak.
Bakar Batu(taangumun)
Dalam bahasa Larat bakar batu dikenal dengan istilah taangumun. Tradisi unik ini lahir dari sebuah kearifan local para leluhur. Bagaimana mereka memanfaatkan hasil-hasil alam untuk keberlanjutan hidup mereka. Sebagai masyarakat agraris (dan juga masyarakat pesisir) orang Larat mengolah tanah dan berburu di hutan untuk kebutuhan hidup mereka. Mata pencaharian masyarakat ini tergantung musim, apabila musim barat masyarakat akan melaut dan musim timur masyarakat akan berkebun atau mengolah tanah. Kondisi ini terkadang tidak sama, tergantung kecerdasan masyarakat dalam membaca tanda-tanda alam.
Mayoritas masyarakat berkebun dan sebagian berburu hewan seperti babi, rusa, kelelawar. Jenis tanaman yang ditanam adalah ubi, ubi jalar, kumbili, keladi, labu, singkong. Ketika musim panen tiba, pemilik kebun serta keluarganya khususnya perempuan dan anak-anak bergotong royong memanen hasil kebun, sementara kaum laki-laki pergi ke hutan untuk berburu. Hasil buruan dan hasil kebun diolah dengan cara bakar batu.
Bakar batu adalah salah satu cara memasak makanan secara tradisional menggunakan batu panas. Batu-batu yang telah disiapkan akan dibakar bersama dengan kayu (kering), setelah panas baru dimasukan makanan. Sehingga dinamakan bakar batu. Jenis makanan yang dimasak dengan bakar batu adalah ubi-ubian seperti ubi (ena), ubi jalar (tualmala), keladi (ronan), kumbili (tual), dan labu, ikan atau daging babi dan sayur. Konon, bakar batu bermula dari tradisi panen hasil kebun dan panen hasil buruan di hutan. Dan dalam aktifitas panen itu, pemilik kebun dan keluarganya mengolah hasil panen itu agar bisa dimakan di kebun atau di hutan. Tradisi ini dilakukan secara bersama-sama sebagai sebuah keluarga dan dalam hubungan kekerabatan lainnya.
Tradisi bakar batu sebagai hasil cipta dari ide dan gagasan genius para leluhur. Pengetahuan tradisional yang melahirkan sebuah teknik memasak yang unik. Konon, pada zaman dulu ketika orang tatua pergi berlayar ke pulau-pulau seberang mereka membawa makanan bakar batu untuk dijadikan bekal selama perjalanan. Makanan bakar batu dapat bertahan berhari-hari tanpa diawetkan sehingga sangat cocok dijadikan bekal dalam pelayaran. Lamanya berlayar di waktu dulu bisa berhari-hari karena transportasi yang digunakan adalah perahu sederhana tanpa layar yang disebut kumal.
Proses bakar batu
Bakar batu boleh dikatakan simple dan mudah karena hanya membutuhkan batu karang dan kayu saja dalam memasak. Memasak hemat namun menghasilkan makanan yang enak dan bergizi karena tanpa minyak dan penyedap rasa. Berikut tahapan bakar batu :
Menggali lubang untuk tempat bakar. Lubang tidak perlu terlalu dalam, kira-kira tingginya15 – 20 cm dan diameter kira-kira 30 -40. Besar lubang disesuaikan dengan banyaknya bahan makanan yang akan dimasak. Semakin banyak bahan makanannya maka semakin besar pula lubangnya.
Setelah lubangnya siap, susun kayu kemudian bakar. Setelah itu susun batu dari atas dan biarkan sampai kayu terbakar habis dan batu benar-benar panas atau dikenal dengan istilah namteta. Sementara kayu dibakar, siapkan bahan-bahan makanan yang akan dimasak.
Masukan bahan-bahan makanan yang akan di masak, berupa ubi (ena), keladi (ronan), petatas (tualmala), labu, ikan, daging, atau lainnya. Letakan di atas batu-batu yang telah terbakar tadi. Untuk ikan atau daging dibungkus dengan daun pepaya baru dilapisi daun pisang. Dan ditaruh paling atas. Selanjutnya ditutup dengan daun pisang. Pastikan bahwa permukaan tertutup semua. Setelah itu ditutup kembali dengan tanah. Dan biarkan hingga 1 ½ – 2 jam.
Selanjutnya untuk memastikan makanan telah benar-benar matang atau tidak, dengan cara aroma makanan yang tercium. Atau juga dicek menggunakan lidi atau bambu. Ketika ditusuk makanannya masih keras dan sulit untuk tembus pada sisi sebelahnya berarti makanan belum matang. Dan dibiarkan dulu beberapa saat dalam batu panasnya.
Setelah matang, daun pisang dibuka, kemudian makanan yang telah matang tadi diangkat dan dihidangkan.
Biasanya makanan bakar batu disantap bersama keluarga maupun kerabat. Bakar batu dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja, bisa di kebun namun bisa juga di rumah, pada pekarangan rumah. Dalam perspektif kebudayaan simbolik, tradisi bakar batu sebagai cerminan kultur masyarakat agraris yang hidup bergantung pada alam. Kebersamaan yang terbangun dalam bakar batu menjadi cerminan manusia sebagai makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa sesamanya dan alam semesta.
Kini, bakar batu berkembang di seluruh pulau dalam Kabupaten kepulauan Tanimbar artinya tidak hanya orang Larat saja tetapi semua masyarakat Tanimbar. Bahkan tersebar di pulau-pulau sekitar seperti kepulauan Kei dan ke Pulau Ambon. Selain hemat bahan bakar, bakar batu sangat mudah dilakukan dan yang paling penting adalah makanannya sehat dan bergizi. Kini bakar batu makin marak dilakukan. Bakar batu sebagai identitas orang Larat yang harus terus dilestarikan dan kembangkan.
Amanat Undang-undang nomor 5 tahun 2017 tentang pemajuan kebudayaan dalam aspek pelestarian, pelindungan, pengembangan, dan pembinaan menjadi fokus dan perhatian para pemangku kepentingan, budayawan, dan masyarakat untuk tetap menjaga kebudayaan kita. Bakar batu sebagai pengetahuan tradisional mesti terus dipelihara dan dikembangkan di sekolah-sekolah dalam mata pelajaran muatan lokal, dikembangkan menjadi salah satu destinasi wisata kuliner, dan memperkuat sektor ekonomi masyarakat. Ini adalah sebuah upaya dan kerja bersama demi kebudayaan yang kita cintai.