Sensasi Aroma Pala Banda di Jalur Rempah-rempah

0
943

Penulis : Santy Nurlette, S.Sos – Pamong Budaya Ahli Pertama

                Kepulauan Banda di masa perdagangan kuno merupakan sebuah daerah yang terpencil. Letaknya jauh dari pusat pemerintahan  Iklim yang ekstrem disertai gelombang laut yang ganas, membuat Banda sulit dikunjungi dan menjadi terpencil. Di tengah-tengah kesendiriannya aroma buah palanya menyengat hidung melampaui samudra dan daratan mengundang kunjungan pedagang untuk melakukan perdagangan. Terjadilah perdagangan nusantara sampai perdagangan internasional yang membawa kemakmuran dan kebahagiaan bagi masyarakat Banda. Kepulauan banda dengan aroma yang khas membuat pedagang Eropa menyebutnya sebagai the spice island, kepulauan rempah-rempah.

               Sejak dikenal sebagai rempah, pala (myristica fragrans)  menjadi komoditas perdagangan. Orang orang Cina, India, Arab dan Persia yang terlibat dalam perdagangan di Nusantara sejak abad 15-17 membawa pala sampai ke bandar-bandar niaga di Asia hingga Eropa. Pala menjadi komoditi primadona yang sangat dibutuhkan. Nilai komersilnya mampu melampaui harga emas di pasar perdagangan global.  Kebutuhan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar lagi maka wilayah sumber rempah ini paling dicari oleh orang-orang Eropa. Dalam proses pencarian yang panjang akhirnya mereka  menemukan kepulauan Banda. Sejak itu orang-orang Eropa terutama Belanda bertekad untuk membangun sebuah  koloni dagang disana. 

             Pada tahun 1621 kepulauan Banda dikuasai oleh Jan Pieter zoon Coen Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Berubahlah nasib -orang orang Banda. Kehidupan yang gemerlap dari buah emas ini kini berganti menjadi kesengsaraan akibat praktek penindasan, monopoli perdagangan yang diterapkan. Kebebasanpun terbelenggu. Walaupun orang-orang Banda berusaha melepaskan diri dan keluar dari tindakan yang tidak manusiawi ini kenyataannya belenggu kekejaman tidak dapat dipatahkan. Korban terus berjatuhan, dibunuh dan mati kelaparan. Ada juga yang berusaha lari keluar pulau  menuju pulau-pulau sekitarnya yaitu Seram, Nusa Laut,  Kepulauan Kei  (Banda Eli, Elat) dan ada juga yang diangkut ke Batavia, tetapi ada juga yang tak sampai tujuan, diterjang oleh ganasnya gelombang  laut. Pulau Banda menjadi kosong, kebun-kebun pala terbengkalai tiada penghuni.

      Mengatasi kekosongan pulau dan kebutuhan tenaga kerja maka  VOC mendorong perpindahan penduduk ke Banda. Mereka berasal dari latar belakang social dan etnis yang berbeda-beda. Ada orang Cina, Arab,  mantan pegawai VOC tingkat bawah, pensiunaan serdadu dan kelasi, orang buangan, budak dan juga kuli kontrak yang berasal dari berbagai suku di nusantara dan diangkut ke Banda. Para pendatang akan menjadi alat produksi utama. 

         Tindakan radikal selanjutnya adalah mengambil alih kebun-kebun pala milik rakyat. Mereka yang tidak sempat lari ke luar dipaksakan untuk mengajari pendatang, perkeniers untuk membudidayakan pala  mulai dari proses menanam sampai cara memanen, pengasapan dan pengepakan pala dan fuli. Jan Pieter Zoon  Coen yang dibantu oleh Jacques I’hermite de jonge  merencanakan untuk menjadikan Banda sebagai salah satu koloni dagang Hindia Timur. Untuk itu Coen menerapkan dan mengembangkan managemen perkebunan modern yang didasarkan pada kerja budak.    

              Kebun-kebun pala yang ada di seluruh pulau Banda dibagi menjadi 68 perk dan disewakan  kepada perkenier melalui sistem kerja. Dalam kontrak kerja itu kepentingan monopoli perdagangan VOC menjadi prioritas.  VOC mengatur jumlah produksi, harga jual sampai jumlah tenaga kerja tersedia pada sebuah perk. Biasanya 25 orang pekerja di kerjakan pada sebuah perk, Dalam prakteknya kaum perkeniers ini bersikap sebagai tuan-tuan tanah kecil yang bertindak semena-mena. Mereka membangun pesanggrahan sebagai istana dan mendeklarasikan diri menjadi tuan dan penguasa istana. Para abdi adalah budak-budak dan orang buangan yang mereka beli dari VOC yang  berasal dari berbagai suku di nusantara. Para budak ini tinggal di dalam lingkungan pesanggrahan dan terikat oleh hubungan patronasi majikan dan hamba.


Gambar Buru Atau Kuli Lontrak Permpuan Yang Sedang Memanen Buah  Dengan Menggunakan Galah
Sumber: Koleksi Tropenmuseum

           Lokasi permukiman  atau pasanggrahan masing-masing perkeniers beserta  dipagari dengan tembok-tembok yang tinggi. Tembok-tembok ini dipakai untuk melindungi diri dari  perkeniers dan para pekerja yang lain, namun ditujukan pula untuk melakukan pengawasan.  Hampir sebagaian besar permukiman pekerja dan pasanggarahan berdekatan dengan kebun-kebun pala, sehingga mudah untuk mengontrol dan mobilisasi kerja.  


Gambar Rumah Perkeniers pada Salah Satu Lokasi Perkebunan di Banda
(Sumber: Koleksi Tropenmuseum)

Ibarat pepatah sesuatu itu ada masanya, begitu pula dengan Perkenier. Sejak awal perkeniers selaku institusi personal telah mengalami berbagai macam kendala dan cobaan antara lain kebijakan VOC yang menyulitkan, kondisi geografis (cuaca ekstrim dan gempa bumi) serangan wabah penyakit. Sejak runtuhnya VOC tahun 1799   titik perubahan belum  dirasakan. Dalam tahun 1815 terjadi penghapusan perbudakan. Pemerintah kolonial yang mengendalikan kekuasaan di Banda menerbitkan berbagai regulasi terkait dengan perbaikan system kerja di perkebunan pala. Namun  belum berdampak baik bagi nasib masyarakat Banda. Kaum perkeniers masih tetap melakukan aksi perbudakanya dengan mendapat dukungan tidak langsung dari pemerintah kolonial Belanda yang sengaja tidak segera menerbitkan undang-undang penghapusan perbudakan. Nanti sampai  tahun 1910 barulah masyarakat di kepulauan Banda betul-betul bebas dari tindakan perbudakan.

               Dihapusnya perbudakan membawa persoalan baru bagi Perkeniers. Mereka kekurangan pekerja. Produksi dan keuntungan yang biasa di capai menjadi berkurang.  Pemerintah kolonial  yang menjadi pelindung segera bertindak cepat dengan mengeluarkan sejumlah aturan yang bersifat kampanye untuk menjaring tenaga kerja kontrak. Masyarakat terpengaruh dengan bujuk manis pemerintah  colonial, mereka bersedia lagi bekerja. Dalam perkembangannya komoditi rempah-rempah tidak lagi menjadi primadona. Pasar minat rempah-rempah menurun tersaingi dengan komoditi lain. Keuntungan perkenier merosot jatuh,  tidak sebanding dengan beban hipotek yang tinggi.  Akibatnya perkebunan diambil alih oleh bank-bank. Penjualan melalui pelelangan sering terjadi. Tanah-tanah diambil oleh orang asing Perkebunan pala dan ekonomi Banda merosot bahkan runtuh di tengah peralihan kekuasaan antara pemerintah Belanda kepada pemerintah Indonesia.

            Runtuhnya perdagangan pala membawa perubahan dalam kehidupan masyarakat Banda. Para pendatang dan keturunan dari berbagai suku bangsa dengan berbagai latar belakang social yang berbeda menjelma menjadi masyarakat Banda baru. Mereka membuat permukiman pada tanah-tanah yang dahulu status kepemilikannya berada pada orang-orang kolonis dan perkeniers. Pasanggarahan dan barak barak serta eks perkebunan pala diambil alih. Hiduplah masyarakat Banda baru. Mereka yang  dahulu tinggal di perk pada akhirnya tinggal dan membaur satu sama lain. Inilah ciri khas masyarakat Banda di masa sekarang ini. Mereka menjadi orang Maluku dengan etnis yang unik. Keberagaman dalam kesatuan.

Sumber :

Usman Thalib, & La Rahman. (2015). Banda Dalam Sejarah Perbudakan Di Nusantara
Swastanisasi dan Praktik Kerja Paksa di Perkebunan Pala Kepulauan Banda tahun 1771-1860. Yogyakarta : Ombak