Cerita ini berasal dari proses penurunan masyarakat kelima negeri yang berada di sekitar lereng pegunungan Wawane. Proses penurunan itu sendiri terjadi pada 1664 dan tahun itulah ditetapkan sebagai tahun berdirinya Negeri Kaitetu . adapun negeri-negeri yang turun itu adalah negeri Nukuhaly, Atetu, Wawane, Essen dan Tehala.
Tersebutlah bahwa dari masyarakat yang turun ke pesisir pantai itu ada sebuah keluarga dari kampong Tehala. Keluarga itu terdiri dari Bapak, Ibu dan dua orang anak kembar. Yang kakak bernama Pui Siti dan sang adik bernama Pui Raja. Mahubessy ayah mereka sedangkan ibunya bernama Nyai Tuni. Waktu itu Pui Siti dan Pui Raja sudah beranjak menjadi gadis –gadis yang sangat cantik. Di luar sana kalian berdua menjadi buah bibir para pemuda yang ada di negeri Kaitetu. Bahkan kabar tersebut terdengar sampai ke telinga para petinggi Belanda yang berada di benteng Amsterdam.
Suatu pagi setelah selesai sarapan pagi, Pui Siti dan Pui Raja serta kedua orang tua mereka berkumpul di ruang rengaah, terasa hening sekali, tetapi kemudian Bapak Mahubessy berkata kepada kedua anaknya “ berkata Bapak, Anakku Pui Siti dan Pui Raja kalaian berdua sekarang telah menjadi gadis-gadis yang cantik. Diluar sana kalian berdua menjadi buah bibir para pemuda , apalagi di dalam kota sana para pembesar Belanda sedang membicarakan kalian berdua, oleh karena itu hati-hatilah kalau keluar rumah nak”. Pui Siti dan Pui Raja mendengar nasehat pak Mahubessy Bapak mereka dengan seksama.
Seminggu setelah terjadi percakapan mereka di ruang tengah rumah pak Mahubessy, datanglah seorang pemuda hendak menengok pamannya Bapak Mahubessy. Pemuda itu ternyata sepupu dari Pui Siti dan Pui Raja, namanya Pinansuri Pemuda Pinansuri itu sangat tampan sekali serta pergaulannya baik dan berakhlak mulia. Ketika ia masuk ke dalam rumah serta dilihat oleh kedua gadis kembar itu , rasa suka keduanya kepada Pinansuri sangat hangat sekali , “ kenapa kakak lama sekali baru muncul ke rumah kami , “ Tanya Pui Raja, “ justru kakak datang kesini mau memberi tahu kepada adik berdua bahwa sekarang sedang musim kenari, bagaimana kalau lusa nanti, kita bertiga manjat kenari ’. mereka sangat suka dan gembira mendengar ajakan sepupu mereka. Percakapan mereka mulai beralih kepada isu tentang kecantikan kedua gadis itu,
Pinansuri bertanya kepada kedua gadis itu . “ wahai adiku berdua , apakah kamu sudah mendengar pembicaraan diluar sana terhadap diri kamu beradua? .” Kami telah mendengarnya kak, tapi kami tidak meladeninya. Kami masih belum memikirkan hal-hal rumah tangga kami masih mau bebas, kak, “ mendengar jawaban kedua sepupunya , Pinansuri bangga sekali dengan kedua adiknya. Tak lama kemudian Pinansuri pamit kepada paman dan kedua adik sepupunya.
Pada hari yang telah disepakati yakni dua hari kemudian pada hari Selasa , Pinansuri bersiap-siap ke rumah pamannya Mahubessy untuk menjemput kedua saudaranya untuk memanjat kenari. Ketika tiba di rumah pamannya ternyata kedua adik sepupunya sudah siap menunggu Pinansuri
Setelah pamit kepada pak Mahubessy dan ibu Sania orang tua mereka, ketiganya bergegas ke hutan , sambil bersanda gurau merka mulai terasa lelah karena jalan mulai menanjak. Pohon-pohon kenari milik ayah Pinansuri agak jauh dan berada di balik bukit.. pembicaraan pun sudah tak terdengar karena nafas semakin ngos-ngosan tak lama kemudian sampailah mereka ke hutan kenari.
Setelah melepaskan lelah, Pinansuri berkata kepada kedua sepupunya “Pui Siti dan Pui Raja, sekarang kakak mau memanjat kenari. Kamau berdua
jangan jauh dari pohon kenari ini’, setelah berkata kepada keduanya iapun memeanjat. Pinansuri dan memilih pohon yang paling tinggi dan buahnya sangat lebat lalu dipanjatlah kenari itu.
Sesampai di atas iapun memetik buah kenari. Serangkai demi serangkai dimasukkan ke dalam bakul dampai penuh. Berteriaklah pinansuri kepada kedua adiknya yang ada dibawah pohon. “Pui Siti dan Pui Raja, bakul ini sudah penuh, saya akan menurunkan bakul ini. Masukkan kenari itu ke karung, lalu kaitkan bakul itu kembali ke tali. Saya akan menariknya ke atas untuk mengisinya kembali”. Setelah bakul itu berada di tanah, diambilah Pui Siti bakul yang penuh berisi buah kenari itu. Pui Raja membuka karung dan tumpahkan kenari itu ke dalam karung. Setelah kosong, bakul itu kemudian dikaitkan Pui Siti ke tali. Pinansuri menarik bakul itu ke atas pohon kemudian dipetiklah buah kenari. Bakul yang sarat dengan buah kenari diturunkan kembali. Ditumpahkan kenari itu ke dalam karung kemudian dikaitkan bakul kosong itu kedua tali dan ditariklah Pinansuri bakul itu ke atas pohon.
Hari sudah menjelang sore. Disekitar pepohonan mulai gelap. Suara jangkrik mulai kedengaran, Pui Siti dan Pui Raja mulai gelisah. Di atas pohon pinan suri makin asik memetik kenari. Makin hari makin tinggi dia memanjat. Pui Siti sang kakak berteriak dari bawah pohon. “Kak Pinansuri, cukuplah sudah kenari ini kak, hari sudah gelap, nanti kita kemalaman. Bapak dan ibu pasti gelisah menunggu kita. “jawab Pinansuri dari atas pohon,” Pui Siti adikku yang lebat buahnya. Kaki kanan dilangkahkan lebih dahulu, kemudian dia memegang dahan yang ada diatas kepalanya. Karena hari sudah gelap Pinansuri tidak melihat bahwa dahan yang akan dipegangnya itu dahan yang sudah kering. Ktika kaki kirinya mau menginajak ke dahan yang sama, dahan yang kering diatas kepala Pinansuri itupun patah.
Piannsuri pun jatuh dari atas pohon kenari dan tergeletak diatas tanah tak sadarkan diri. Melihat saudara sepupu mereka tak sadarkan diri Pui Siti dan Pui Raja menangis sambil dan memeluk tubuh kakak mereka yang terbujur. Menagis sambil berteriak di tengah hutan itu tak ada seorangpun yang mendengar. Mau pulang keduanya sendiri ke kampong untuk memberitahukan kepada orangtua, tak tahu jalan ke kampong. Kedua adik berkakak menangis sampai tertidur karena pingsan. Keduanya sadar ketika mendengar samar-samar adzan shubuh dari kampung.
Ketakutan makin menghantui diri keduanya. Pui Siti berkata kepada Pui Raja. “adikku Pui Raja, bagaimana dengan jenazah kakak kita? Jarak dari sini ke kampung kita sangat jauh. Lalu bagaimana caranya kita membawanyaketika keduanya sedang merenung, sari jauh mereka mendengar suara orang banyak berteriak memanggil nama mereka bertiga, apakah kalian baik-baik saja? Mendengar nama mereka dipanggil timbul rasa takut diantara kedua gadis itu. “Pui Raja adikku, lebih baik kita lari jangan sampai orang-orang itu membunuh kita”. Jawab Pui Raja, “jangan kak, kalau kita lari mereka pasti menyalahkan kita, bahwa karena kitalah sampai kakak Pinansuri meninggal.”. orang-orang yang itu makin hari makin dekat, suara mereka makin ahri makin jelas teriakan mereka.
Pada saat itu Pui Siti berkata kepada adikknya.” Pui Raja, kalau kau tak mampu mengikuti saran kakak, biarlah kakak sendiri yang lari”. Mendengar kata Pui Siti, Pui Raja pun mengikuti kakaknya. Mereka berdua berlari semakin hari semakin jauh sampai tak terdengar suara orang kampung itu lagi. Hari semakin siang, sampai mereka merasa lapar, karena sejak pagi tak ada makanan sedikitpun yang masuk kep pereu mereka pun tak ada seteguk air pun yang mereka minum. Akhirnya merekapun pingsan di atas sebuah batu.
Sampai haru-hari mereka mencari, tapi tak pernah menemukan Pui Siti dan Pui Raja. Dua bulan kemudian, ketika sekelompok orang kampung ke hutan mengambil rotan, ditemukan dua tubuh manusia yang sudah menjadi rangka lengkap dengan pakaiannya. Itulah rangka dari Pui Siti dan Pui Raja.
Tersebulah dari kedua gadis itu, kini di hutan pada saat-saat tertentu, di saat cuaca dalam keadaan hujan rintik-rintik disertai keluarnya matahari, bilamana ada seorang pemuda atau laki-laki yang masuk hutan, kadang-kadang mereka menanpakkan diri dengan berpakaian yang b agus dengan daya tarik kedua gadis itu, lalu mengajak sang pemuda berjalan mengikuti mereka. Yang Nampak oleh pemuda itu seperti berjalan di jalan yang lurus. Dan tiba-tiba kedua gadis itu menghilang dan yang dilihat oleh pemuda tersebut bukan jalan yang seperti dilihatnya semula tapi berada di tengah hutan yang lebat. Itulah kisah cerita tentang Pui Siti dan Pui Raja.