Menggali Nilai Filsafat Kalwedo Di Maluku Barat Daya

0
11176

Prof. Dr. Aholiab Watloly ( Guru Besar Filsafat UNPATTI Ambon)

Melacak Akar Semantic dan Akar Historis Kalwedo dalam Tradisi Adat Maluku Barat Daya

 Kini, agak sulit[1] dicari akar semantic (etimilogis) maupun historis dari kata Kalwedo, meskipun Kalwedo itu telah begitu mem-buming dalam sebuah percaturan budaya yang luas. Akar kesulitannya, mungkin karena ia tertanam dalam sebuah bahasa tanah atau karena kelemahan budaya tutur (bukan budaya tulis). Salah satu ciri bahasa tanah adalah cenderung bersifat tertutup (rahasia) karena tidak digunakan sebagai bahasa komunikasi harian, tetapi bahasa fungsional dalam konteks khusus, seperti dalam perjumpaan, perpisahan, jamuan adat, atau dalam penyelenggaraan adat yang magis, yang semuanya dengan penuturan lisan penuh daya eksotik dan misterius bagi public karena berhubungan dengan otoritas sang penuturnya. Meskipun demikian, upaya untuk melacak jejak semantic maupun historis kata Kalwedo itu sendiri  —sebagai sebuah jangkar identitas dan obor peradaban— harus terus menjadi tugas pencaharian kita sebagai anak adat maupun ilmuan. Pada kesempatan ini, kami hanya baru bisa memulai “proyek tugas” besar itu (harapannya, semoga ada temuan lain yang lebih valid dan memuaskan), dengan melihat jejak-jejaknya pada korelasi makna katanya secara analog, yang masih bisa dilacak dengan menggunakan kesamaan akar katanya dari aneka bahasa yang diwarisi di setiap pulau di MBD. Misalnya; Kalyel = tidak kuat, keras (babar Timur), Kale = tidak ada (Kisar/Meher). Secara filsafati, akar semantic dari kata-kata ini hendak memastikan adanya sebuah sikap ketiadaan kekuatan atau kekerasan, atau sikap menyerah (pasrah dengan keyakinan akan sebuah kebaikan) untuk menyerahkan sebagian hidup (cinta kasih dan ketulusan) sebagai tanda adanya jaminan kondisi yang aman, damai, nyaman, selamat, atau kondisi kehidupan yang bae-bae (baik terhadap minuman sopi yang disuguhkan untuk diminum atau untuk kehidupan persaudaraan yang mau dijalani bersama). Kata-kata itu, secara semantic, memiliki kemiripan (analogi) makna dengan kata Kalwedo di dalam tata perilaku adat orang MBD, yang  hendak memberikan sebuah kepastian jiwa, hati, pikiran dan sikap perbuatan yang saling menjamu dan saling berbagi kebaikan atau keselamatan hidup. Ada sumber (informan) yang menjelaskan bahwa kata KALWEDO tidak memiliki akar kata dalam bahasa asli di MBD tetapi sebuah kata sifat murni yang berarti SELAMAT, DAMAI, dan HIDUP BAE-BAE dalam segala hal.

Kata Kalwedo, sebagaimana akar kata-kata Kalyel atau kata Kale, hendak memastikan bahwa TIDAK perlu ada curiga atau prasangka tentang adanya racun, jimat, atau doti-doti atas minuman sopi yang disuguhkan atau TIDAK ADA rencana penganiayaan atau pembunuhan dengan kekerasan fisik atas sebuah perjumpaan kedatangan atau perpisahan, karena dengan minuman yang disertai dengan Kalwedo atau dengan pertemuan dan kedatangan yang disertai dengan Kalwedo maka kita dipersatukan oleh minuman adat sopi dalam sebuah ikatan janji persaudaraan, atau janji untuk hidup bae-bae tanpa saling menyusahkan, tanpa saling menyerang secara fisik dan psikis. Rupanya, itulah yang kemudian menjadi tradisi dan adat kebudayaan untuk menerima atau melepaskan sesama saudara, baik yang datang bertamu atau berjumpa maupun yang berpisah atau pergi meninggalkan kita. Sehingga hal itu, mentradisikan sebuah Kalwedo sebagai sebuah tradisi dan adat kehidupan.

Artinya,  semua akar semantic itu memiliki makna sinonim sebagai tanda dan sikap persahabatan atau persaudaraan tanpa curiga, tanpa kekerasan, tanpa kekuatan fisik yang semuanya memaknakan adanya sifat tanpa kekerasan (un violence), sifat tanpa kekejaman yang melukai, atau sifat  keramatamahan dan kelemahlembutan hati, tanpa menyakiti, tidak mendustai, tidak menyerang, serta tidak menghianati dengan intrik kekerasan akal maupun perilaku buruk. Jadi, makna hakiki  (essensi) dari kata-kata itu hendak menggambarkan adanya sikap keterus-terangan (tidak ada yang tertutup), kemurnian hati, kelembutan jiwa dan kelegahan pikiran di dalam diri mereka (leluhur dan anak adat MBD) untuk saling menerima, saling melindungi, saling menyatu rasa, dan saling hidup se iya-se kata, sebagai orang bersaudara.

Selain factor semantic (bahasa), kesulitan berikutnya adalah, melacak jejak-jejak historis pemunculan dan penggunaan kata Kalwedo itu sendiri, yang hampir belum ada se titik data pun untuk hal dimaksud. Meskipun demikian, ada kuat dugaan bahwa, kata Kalwedo itu muncul sebagai tanda (kata tanda) dimulainya sebuah paradigma peradaban asli orang -orang di bumi kepulauan MBD, yaitu; PERADABAN TANPA KEKERASAN. Tanda peradaban baru yang pro hidup (pro live) di mana orang pada setiap basis ego individu maupun basis sosialnya, mulai meninggalkan budaya saling menyerang, saling mengalahkan dan saling menaklukkan (pro hero), saling mencurigai, dan saling mendendam untuk memasuki atau menggantikannya dengan sebuah fajar peradaban baru yang luhur mulia,  yaitu; budaya hidup kelemah-lembutan, tanpa kekerasan dan kekejaman, tanpa kekejaman, serta budaya saling menyerang dan penghianatan di antara leluhur saat itu, maupun sampai ke anak cucu MBD, baik dalam perjumpaan antar pribadi, antar warga matarumah (Rosno, Asurang, Rom, luwu), antar negeri (letu, leka, lete, ilih), antar pulau, dan antar warga marga, baik di darat, di laut, maupun di rantau sekalipun. Jadi watak kebudayaan MBD adalah kebudayaan KALWEDO, yaitu budaya tanpa kekerasan (un violence), budaya keramahan, kelemahlembutan hidup, budaya saling menjaga dan menghidup-hidupkan (sintesis bipolar), budaya hidup (Honoli atau Hioly) sebagai saudara (inanara-amasiali). Budaya MBD (budaya Kalwedo) anti kekerasa (budaya Triumvalistic), yang selalu muncul menggoda dalam sikap perilaku busuk yang saling mencelaa, saling memangsa sebagai koruptor, penghasut (provokator), dan pengaduk racun kekerasan, kemabukan dendam dan pemicu penyerangan (agitator). Jelas bahwa Kalwedo, bukan sekedar permainan kata dan bibir, tetapi kata hati yang bersinar sebagai tanda dan penanda peradaban asli dari komunitas adat di kepulauan MBD, yaitu peradaban keramahtamahan hidup, suatu peradaban asli (otentik) yang tahu menghargai hidup diri dan sesama dan mau bertanggungjawab untuk merawat serta memeliharanya.  Konsekuensinya, akar semantic maupu historis Kalwedo itu hendak memastikan adanya sebuah kondisi peradaban baru, dari kehidupan semula yang saling menyerang dan saling mengalahkan dengan berbagai intrik kekerasan (fisik dan psikis) ke dalam sebuah sikap hidup yang beradab penuh kejujuran, keiklasan dan ketulusan tanpa ada kekuatan yang menantang atau kekerasan dan penyerangan fisik atau pemaksaan psikis, atau intrik kebohongan atau kepalsuan yang membahayakan. Perkembangannya dalam sebuah konstelasi tradisi menuju taraf pembudayaan Kalwedo menjadi spesis kebudayaan masyarakat adat (bumi Kalwedo), hendak menegaskan sebuah sikapanti dan sinis akan perilaku kemunafikan, perilaku ketidakjujuran, ketidaktulusan, ketidaksantunan dalam hidup pribadi dan bermasyarakat. Sehingga ketika seseorang anak adat MBD mengucapkan Kalwedo maka ia hendak menegaskan sebuah kemurnian hati atau kejujuran jiwa dan sikap perilaku untuk tidak melakukan tindakan yang tidak senonoh (tercelaah), seperti; munafik, suka berbohong, suka menipu, suka korupsi, mencuri, membunuh, mengniaya, mencai maki, dan meracuni masyarakat dengan intrik dendam, provokasi, adu-domba, dan sebagainya yang membuat kondisi masyarakat menjadi buta hati dan buta nilai (anomie), dan kehilangan rasa saling percaya (trust) untuk membangun diri sebagai ciri masyarakat beradat, beradab dan bermartabat.

 B.Kalwedo Sebagai Pusaka Kemanusiaan Masyarakat adat MBD (Orang MBD).

Artinya, kata Kalwedo yang sinonim dengan akat kata lainnya itu memaknakan arti kesucian dan keluhuran hidup, atas dasar nilai-nilai kemanusiaan (human habit and human value) yang tertanam dalam diri pribadi leluhur dan generasi masyarakat adat MBD. Kata Kalwedo menegaskan bahwa ciri otentik (habitat asli) dari masyarakat adat MBD adalah habitat hidup bersaudara sebagai sebuah pusaka kemanusiaan yang asli dan otentik, serta bernilai luhur mulia (tiada duanya). Pusakan kemanusiaan itu harus dijaga, dipelihara dan terus ditumbuh suburkan dalam kehidupan setiap generasi yang melintasi zaman yang terus berubah. Pusaka kemanusiaan itu harus dijaga bae-bae dengan tradisi; Honoly, Hioli, Nyola, liyola,dsb.

Warisan Pusakan kemanusiaan itu harus dijaga, dipelihara dan terus ditumbuhsuburkan oleh pemimpin adat (baptua, bapkai, leleher, gareng, saniri, kepala soa, mataruma), pemimpin pemerintahan di aras kabupaten MBD (Bapak Bupati dan Wakil, Bapak ketua DPR, pimpinan SKPD, anggota legislative), pimpinan kecamatan sampai ke negeri (letu, leta, leka, ili). Warisan Pusakan kemanusiaan itu harus dijaga, dipelihara dan terus ditumbuhsuburkan  oleh mereka (para actor) dengan kebudayaan KALWEDO agar tetap terpelihara habitat asli orang MBD sebagai HABITAT ORANG BASUDARA dengan tabiat-tabiat hidup adat kebudayaannya yang telah diurapi secara penuh dengan kemurnian hati dan kejujuran pemikiran serta sikap perilaku tulus setia. Bahwa ketika diberkati sebagai seorang pejabat (negara maupun adat), mereka memegang sebuah amanat suci untuk bekerja setulus-tulusnya dan semurni-murninya untuk tetap menjaga, memelihara dan menumbuhsuburkan kesejahteraan, kedamaian, dan kecerdasan habitat asli orang basudara, tanpa mementingkan diri atau kelompoknya. Bahwa mereka memiliki kedaulatan atas teritori (bumi MBD) maupun kultur MBD sebagai Pusaka kemanusiaan yang tidak saling menyusahkan, tidak saling meracuni dengan kebohongan dan intrik kepalsuan.  Sehingga dengannya, terbangun sebuah budaya yang berbasis nilai pada kelembutan hati, kejujuran, ketulusan, dan keiklasan dalam membina kehidupan bersama yang berperi kemanusiaan.

Jadi, dengan demikian dapat dimaknakan bahwa Kalwedo bukan sekedar sebuah kata, tetapi sebuah tanda peradaban asli dan kebudayaan yang otentik dengan sifat-sifatnya yang murni, yaitu; sifat kesucian dan keluhuran, kelemalembutan dan keramatamaan, tanpa kekerasan, kerendahan hati, tanpa egoisme diri (keangkuhan, kejahatan, kekejaman, dan keserakahan hidup = sifat babar) untuk menerima, menampung, menjamu, dan menjamin sesama, dalam sebuah pola kehidupan tradisi adat istiadat (kebudayaan) yang saling menjaga dan menghidup-hidupkan sebagai saudara (inanara-amasiali). Mereka, dengan ini, menemukan sebuah spirit hidup yang asli yang diabadikan dalam budaya Honoli, Hioli, atau Sioli yang semuanya analog dengan arti cara hidup atau pola hidup. Konstruksi semantic maupun historis dari Kalwedo tersebut nampak pula nilai-nilai yang berkorelasi secara sosiologis dengan teori-teori Sosiologi yang berkembang di dalam peradaban-peradaban maju. Misalnya, dalam alam pemikiran filafat sosial klasik di dunia Barat (Eropa), baik dari pandangan Hegel maupun Hobbes, Comte dan Durkheim bahwa, sosialitas selalu berkembang dari alam realitasnya yang bersifat anarkhisme atau pertentangan (dishormoni) dan akhirnya bermuara pada alam kerjasama (harmoni) atas bimbingan roh absolute sebagai sebuah wujud sosialitas yang sempurna. Hal mana sama pula dalam filsafat eksistensialisme yang mengkonstruksikan sebuah hakikat keberadaan (eksistensi) dari realitas-realitas ko eksistensi kepada pro eksistensi, atau unity dalam diversity.

  Kalwedo sebagai Sukma Eksistensi Masyarakat Kepulauan MBD.

Kalwedo bukan sekedar permainan kata yang kosong dan mati (tautology) yang sekedar memiliki makna semantic yang berbasis masyarakat continental dan bersifat homogen. Justru Kalwedo adalah sebuah daya sukma eksistensi masyarakat kepulauan MBD yang tertambat dalam hati, pikiran, dan sikap. Kalwedo sebagai nilai cultural yang otentik, bersifat tanda dan penanda kesukmaan dari peradaban dan kebudayaan yang asli orang MBD sebagai masyarakat kepulauan (pulau-pulau kecil). Hasil penelitian dan pengamatan yang kami lakukan, menunjukkan bahwa Kalwedo memiliki makna cultural yang berbasis pada masyarakat kepulauan (archepelagi), karena ia adalah kebudaayaan yang bersifat lintas pulau dan lintas bahasa dan budaya, dengan penghayatan yang total. Ia lahir dari sebuah pentas hidup masyarakat kepulauan di bumi MBD, yang semulanya hidup dalam kebiasaan saling mencurigai, memusuhi, menyerang dan saling merebut dengan kekerasan. Mereka dulunya, dengan armada tradisional (belang), saling saling berjuang merebut supremasi atas pulau atau wilayah kepulauan tertentu dengan sikap memusuhi, baik secara fisik maupun psikis, baik secara nyata maupun dengan doti-doti atau mawe-mawe.

Inti nilai kesukmaannya itu pada kedalaman nilai kejiwaan (life spirit), yang hakiki dan fungsional, laksana “tenaga peradaban dan kebudayaan” yang menggerakkan, menyemangatkan, menggiatkan, menghangatkan, mengarahkan dan mengendalikan alam pemikiran dan perilaku hidup mereka dalam upaya memberadabkan dan memartabatkan hidup mereka pada basis-basis kepulauannya yang tersegregasi secara fisik dalam sebuah sosialitas yang beradat dan bermartabat. Kalwedo, karenanya merupakan sebuah sukma (kedalaman hati dan jiwa) dari manusia dan masyarakat adat (komunitas adat) di kepulauan MBD. Kalwedo sebagai sukma, menjadi “cermin hati dan jiwa” manusia dan masyarakat adat (komunitas adat) MBD yang penuh keramatamahan hidup, kerendahan hati, dan persaudaraan yang saling menjaga, memelihara dan menghidup-hidupkan. Itulah sukma eksistensi masyarakat kepulauan MBD.

Kedalaman nilai jiwa dan hati (sukma hidup) yang semulanya bersifat subyektif itu kemudian berkembang dan makin mewujud dalam berbagai tatanan obyektif dalam hidup bermasyarakat. Karena, dalam perkembangannya, nilai kejiwaan itu berwujud menjadi tanda atau patokan yang berharga, sebagai sebuah harga diri (martabat diri) yang melekat pada diri dan masyarakatnya, dan seterusnya berkembang menjadi norma (hukum adat) dan ideologi hidup (ideologi pemersatu) yang mengikat dan mewajibkan bagi setiap komunitas adatnya di setiap pulau di setiap waktu dan tempat. Sehingga mereka wajib hidup beramatamah, rendah hati, saling melayani, dan wajib hidup saling menghidup-hidupkan dalam sebuah tabiat kesehari-harian. Bahkan, nilai-nilai kejiwaan (kesukmaan) yang semulanya bersifat rasio alami (cosmical conciounsness) itu makin merambah dalam sebuah sistim rasionalitas yang kritis dan terbuka (critical consciousness) di tengah percaturan peradaban dunia untuk menyumbang bagi kedamaian dan ketenteraman dunia. Sehingga realitas kosmik kepulauannya yang sulit penuh tantangan alam, berubah menjadi sebuah realitas kulrural yang berharga dan bermartabat. Daya sukma (jiwa hakikai yang menggerakkan) yang merangkul, menghimpun, mempersaukan, dan terus menegur, menasihati, dan membina mereka dalam cermin kedamaian dan persaudaraan yang luhur, sacral, dan abadi. Kalwedo sebagai daya sukma, menciptakan sebuah rumah (nilai) bersama yang dihuni oleh seluruh komunitas adat MBD di setiap pulau, dengan perbedaan bahasa maupun status sosialnya. Ia membuat kepulauan MBD yang saling berjarak dengan lautannya menjadi sebuah istana diri, dengan kedalaman penghayatan yang penuh nilai kejiwaan dan hati yang terus mengalir membentuk ruang perceptual (persepsi diri), ruang kognitif (pengetahuan akan keberadaan diri), ruang adat (nilai dan norma diri), serta ruang sosial (konsep kemasyarakatan) yang khas MBD.

 Artikel Ini Telah Di muat Dalam Buletin Kanjoli Volume 6 No 5 2012. Untuk mendapatkanya Silakan Download klik link ini.