‘Wanita Publik’ di Zaman Kolonial

0
2977

Prostitusi atau pelacuran fenomena sosial yang telah berumur panjang. Hampir semua kota-kota besar di Indonesia memiliki sejarah tentang lokalisasi, meskipun sebagian besar sudah ditutup. Akar sejarah prostitusi di Indonesia bisa dilihat ke zaman kolonial Belanda. Tak ada isilah
wanita tuna susila (WTS), pelacur, pekerja seks komersial (PSK) atau pun wanita peghibur zaman itu. Di masa kolonial Belanda, wanita penjaja seks disebut wanita publik.

Wanita publiknya tak hanya orang pribumi, tapi juga ada wanita Eropa, Jepang dan Cina. Pada abad XVII, praktek prostitusi tak hanya ada di Pulau Jawa, tapi juga berkembang di kota-kota di Sumatra, seperti Palembang, Jambi, Padang, Tanjungbalai dan Tanjungpinang. Maraknya prostitusi Wanita publik berperasi di rmah-rmah bordil di pusat kota, losmen dan toko-toko kecil.

Masalah prostitusi yang tentu saja berdampak dengan merajalelanya penyakit kelamin. Apalagi peyakit menular kelamin, seperti syphilis dan lainnya belum ditemukan. Pemerintah Belanda mengeluarkan aturan untuk memberantas prositusi ini. Dimulai tahun 1642, VOC mengeluaran aturan keluarga pemeluk agama Kriste dilarang mempekerjakan wanita pribumi sebagai pembantu rmah tangga dan melarang setiap perempuan baik-baik untuk berzinah. (Arsip Nasional, 2001).

Aturan lain juga makin ketat. Peraturan pemerintah tahun 1766 melarang wanita publik memasuki pelabuhan tanpa izin. Tanggal 15 Juli 1852, pemerintah mengeluarkan peraturan baru yang menyetujui komersialisasi indstri seks. Aturan itu tujuannya juga untuk meghindari tindak kejahatan yang timbul akibat dari aktivitas prositusi. Awalnya aturan ini hanya berlaku di tiga kota besar di Jawa kemudian mejalar ke seluruh daerah, termasuk daerah kepulauan.

Berdasarkan surat dari Residen Sumatra Utara pada 9 Desember 1889 diberitahukan sejumlah orang Cina yang bekerja sebagai kuli kontrak di perkebunan tembakau Medan merangkap juga sebagai WTS. Mereka beroperasi sudah sejak lama. Banyak penyakit sipilis dan kelamin berasal dari wanita Cina ini, yang menurut laporan itu umumnya wanita muda.

Di Deli, terdapat 30 ribu pekerja Cina dan mereka datang tanpa istri menyebabkan mereka pergi ke rumah-rumah bordil. Pada 1870, saat perekonomian jajahan terbuka bagi penanaman modal swasta terjadilah migrasi tenaga kerja laki-laki secara besar-besaran. Sebagai dampak dari perluasan areal perkebunan dim Jawa Barat, pertumbuhan industri gula di Jawa Tengah dan Jawa Timur, pendirian perkebunan-perkebunan di Sumatra, pembangunan jalan raya dan jalur kereta api.

Perkebunan yang dikembangkan di Jawa dan Sumatra setelah 1870 merekrut sejumlah besar buruh yang menetap di perkebunan tersebut. Para pekerja diperkenalkan dengan sistem ekonomi baru. Dibayar dengan uang kontan sebagai imbalan jasa. Biasanya setelah menerima pembayaran, mereka mengunjungi perkampungan-perkampungan di sekitar tempat tinggal mereka. Melalui jalur ini banyak perempuan muda dari kampung-kampung itumenjadi wanita publik.

Peraturan 15 Juli 1852, wanita publik diawasi langsung dan secara ketat oleh polisi. Setiap wanita publik wajib terdaftar dan rutin memeriksakan kesehatannya untuk mendeteksi adanya pneyakit menular kelamin atau tidak. Wanita publik yang kena peyakit, diasingkan dan tak boleh bekerja. Dalam memudahkan dalam megontrol keberadaan wanita publik ini,mereka diminta praktek di losmen. Para mucikari juga wajib membayar pajak pada polisi.

Dalam perkembangannya, pengawasan rumah bordil dialihkan ke pemerintah daerah sesuai memory van toelichting tanggal 1 Januari 1873. Penguasa daerah dan lingkungan pemukiman dapat mengontrl keberadaan aktivitas prositusi di daerahnya. Meski ada kontrol pemerintah, namun aktivitas pelacuran semakin lama makin berkembang. Apalagi makin berkembangnya perkebunan skala besar, termasuk Sumatra.

Awal abad XX, tepatnya 1910 pemeriksaan kesehatan secara rutin pada wanita publik dihentikan melalui resolusi Guberur Jenderal Belanda. Namun aktivitas pelacuran tak terkendali. Penyakit kelamin tak terhindarkan. Korbannya terutama serdadu Belanda. Penelitian Belanda, ada 2.000 orang serdadu yang terkena penyakit syphilis setiap tahunnya dan terdapat 5.000-6.000 orang serdadu terkena peyakit kelamin lain.

Sejumlah aturan juga diterbitkan untuk mengontrol prositusi di Sumatra Barat dan Sumatra Timur. Ada surat Direktur Kehakiman 20 Agustus 1891 mengenai peninjauan kembali peraturan prostitusi di kedua kawasan ini. Anak-anak berusia 6-15 tahun dilarang rumah pelacuran. Dalam srafwetboek, untuk anak-anak pribumi disebutkan jika ada anggota berusia 18-21 akan dikenakan hukuman. Banyak aturan yang diterbitkan pemerintah kolonial Belanda yang tak sinkron.

Pengawasan prositusi untuk Palembang, Jambi, Lahat, Tebingtinggi yang masuk karesidenan Palembang juga ada karena daerah-daerah ini rawan prostitusi. Ini diatur dalam staatsblad 1906 No 126.
Untuk daerah Kepulauan Riau, memang tak ada aturan langsung terkait penanganan prostitusi ini. Alasan yang masuk akal adalah jumlah wanita publik di kawasan ini tak sebesar daerah Palembang, Jambi atau pun Padang yang awal abad XII begitu ramai dengan meningkatnya aktivitas perkebunan.

Sampai 1942, saat berakhirnya pemerintah Belanda, di tempat-tempat pelacuran tercantum bahwa militer tidak diperkenankan masuk. Sewaktu- waktu polisi militer melakukan razia-razia. Berakhirya kolonial Belanda tak menghentikan praktek prositusi.Malah sejak era orde lama hingga orde baru, lokalisasi di kota-kota besar menjamur.

Istilah wanita publik pun hilang. Muncullah istilah WTS, PSK atau pun wanita penghibur. Jambi familiar dengan nama lokalisasi Pucuk, Tanjungpinang pun punya lokalisasi di Batu 15 yang kemudian digusur. Batam dengan Lokalisasi Mat Belanda dan kawasan Sintai sekitarnya. Bisnis industri seks sulit dihentikan, tapi bisa dikendalikan. Ganasnya penyakit kelamin yang menular tak bisa membuat insaf. ** (terbit di harian tanjungpinangpos,13 Agustus 2017)