Visi Kebudayaan masih Sebatas Pajangan

0
635

Pendahuluan

            Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)  visi bermakna kepada penglihatan; pengamatan, kemampuan untuk merasakan sesuatu yang tidak tampak melalui kehalusan jiwa dan ketajaman penglihatan, kemampuan untuk melihat pada inti persoalan, pandangan atau wawasan ke depan. Secara umum visi itu merupakan serangkaian kata yang menunjukkan impian, cita-cita atau nilai inti sebuah keinginan sekelompok orang atau secara pribadi dengan pandangan yang jauh ke masa depan demi mencapai sebuah tujuan yang diinginkan.

Pada dasarnya visi dijadikan sebagai panutan gambaran akan situasi dan karakteristik mengenai arah kemana tujuan perjalanan selanjutnya. Sehingga dengan adanya visi bisa menjadi alarm untuk selalu mampu eksis, antisipatif dan inovatif. Visi itu dapat berubah dan berkembang sesuai pengaruh dan perkembangan zaman yang tidak bisa diprediksi kedepannya. Oleh karena itu visi sering kali tidak ditulis secara detail, namun digambarkan menerangkan detail gambaran sistem yang menjadi tujuannya. Ada beberapa syarat sebuah kata atau kalimat bisa dikatakan memenuhi kriteria visi yaitu tidak dibuat berdasarkan kondisi pada saat ini, berorientasi ke depan dan mengekspresikan kreativitas dan berdasarkan pada prinsip nilai-nilai yang mengandung penghargaan bagi masyarakat.

Misi lebih fokus ke bagaimana langkah-langkah demi mencapai visi yang sudah ditentukan. Dengan kata lain, arti misi adalah prioritas, metode, atau nilai-nilai kerja yang menjadi landasan untuk memberi petunjuk garis besar dalam mewujudkan sebuah visi. Setiap negara, daerah baik provinsi atau pun kabupaten/kota memiliki visi dan misi. Sederhananya, visi misi merupakan perwujudan dari janji politik dari kepala negara atau kepala daerah saat kampanye.

Visi Kebudayaan di Kepri

            Kalau dilihat visi Provinsi Kepri dan kabupaten/kota se-Kepri sangat kental dengan ‘visi kebudayaan’. Bidang kebudayaan menjadi sesuatu yang menjadi titik perhatian dalam visi setiap setiap daerah. Visi Provinsi Kepri periode 2016-2021 adalah: ”Terwujudnya Kepulauan Riau sebagai Bunda Tanah Melayu yang Sejahtera, Berakhlak Mulia, Ramah Lingkungan dan Unggul di Bidang Maritim”.  Bunda Tanah Melayu menjadi ikon Kepulauan Riau. Budaya Melayu menjadi ciri khas dan kekuatan Kepulauan Riau. Selain Kepri, Provinsi Riau juga memiliki visi Kemelayuan.  Visi Riau adalah Terwujudnya Provinsi Riau sebagai Pusat Perekonomian dan Kebudayaan Melayu dalam Lingkungan Masyarakat yang Agamis, Sejahtera Lahir dan Batin di Asia Tenggara Tahun 2020.  Di masa kepemimpinan Gubernur Syamsuar, Visi Riau dikembangkan menjadi Terwujudnya Riau yang berdaya saing, sejahtera, bermartabat dan unggul di Indonesia.

            Kota Tanjungpinang juga memiliki visi yang kental berbau kebudayaan. Visinya adalah “Tanjungpinang Sebagai Kota yang Maju, Berbudaya dan Sejahtera dalam Harmoni Kebhinekaan Masyarakat Madani”. Dalam mewujudkan visi ini, salahsatu misinya adalah Mengembangkan dan melestarikan khasanah budaya lokal dan nusantara untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang harmonis.  Kabupaten Bintan juga memiliki visi yang berkaitan dengan kebudayaan. Visi Bintan adalah Terwujudnya Kabupaten Bintan yang Madani dan Sejahtera Melalui Pencapaian Bintan Gemilang 2025 (Gerakan Melangkah Maju di Bidang Kelautan, Pariwisata, dan Kebudayaan).

            Visi Kabupaten Kepulauan Anambas adalah Kabupaten Kepulauan Anambas Sebagai Kabupaten Maritim Terdepan yang Berdaya Saing, Majudan Berakhlakul Karimah ” disingkat menjadi” ANAMBAS BERMADAH 2021″. Sementara, Kabupaten Natuna memiliki visi Masyarakat Natuna yang Cerdas dan Mandiri dalam Kerangka Keimanan dan Budaya Tempatan.  Visi Karimun adalah terwujudnya Kabupaten Karimun sebagai Pusat pertumbuhan Ekonomi berbasus Maritim yang terdepan Berlandaskan Iman dan Taqwa.

            Lingga sebagai kabupaten yang dijuluki Bunda Tanah Melayu, juga memiliki visi budaya. Kabupaten Lingga Sebagai Bunda Tanah Melayu Berbasis Kepada Kepulauan dan Agrominawisata Menuju Masyarakat Sejahtera. Batam sebagai kota metropolis juga memiliki visi kebudayaan. Visi Batam adalah Terwujudnya Kota Batam Sebagai Bandar Dunia Madani yang Modern dan Menjadi Andalan Pusat Pertumbuhan Perekonomian Nasional”.

Visi masih Pajangan

            Dalam merumuskan visi misi, kepala daerah telah menghabiskan energi, waktu dan tentu juga biaya. Biasanya mengandeng konsultan atau tenaga ahli sehingga didapatkanlah visi dan misi yang bahasanya indah dan enak didengar. Apalagi saat disampaikan dengan retorika yang bagus tentu saja memikat bagi siapa saja yang mendengar dan membaca. Masalahnya adalah boleh saja visi dan misi begitu hebat, namun yang terpenting adalah realisasi atau program dalam mewujudkan yang dicita-citakan dalam visi yang agung itu.

            Miris kata yang tepat untuk mengambarkan keberpihakan pada bidang kebudayaan dari pemerintah kabupaten/kota di Kepri maupun Provinsi Kepri, minus Kabupaten Lingga. Sederhana saja, hal ini dapat dilihat dari politik anggaran. Di Batam  misalnya boleh saja masyarakat Batam tepuk dada APBD-nya hampir menyentuh Rp3 triliun tahun 2020 dan 2021. Visi  daerahnya mantap menjadikan Batam Dunia Madani, tetapi boleh Tanya alokasi anggaran untuk bidang kebudayaan yang ada di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Batam. Dalam Rakor Kebudayaan yang digelar Balai Pelestarian Nilai Budaya Kepri tahun 2019 di Batam, betapa ironis saat disampaikan anggaran untuk kebudayaan sekitar Rp300 juta. Bayangkan dari APBD hampir Rp3 triliun, namun alokasi untuk kebudayaan hanya ratusan juta.

            APBD Kepri 2021 sebesar Rp3,9 triliun. Anggaran untuk Dinas Kebudayaan sebesar Rp21,3 M. Angkanya setara dengan Dinas Perpustakaan dan Arsip dan juga Dinas Kominfo. Dalam beberapa tahun terakhir, juga belum terlihat program atau kegiatan yang berbau kebudayaan yang digelar Pemprov Kepri di bidang kebudayaan. Festival Bahari Kepri yang sebelumnya rutin digelar setiap tahun, lebih kental dengan unsur pariwisata ketimbang kebudayaan. Event itu belakangan juga batal dilaksanakan karena kondisi Covid 19.

            Kepri sebelumnya pernah pengalaman menggelar event besar lain, seperti Festival Tamadun Melayu tahun 2013 dan kini tak ada kelanjutannya. Acara gaung besar dan kini tak berbekas. Tanjungpinang juga membuat gebrakan Festival Pulau Penyengat yang gaungnya juga besar dan diharapkan berkelanjutan. Event seremonial tetap penting dilaksanakan, selain memberi manfaat pada masyarakat, juga menjadi warna kehidupan kebudayaan di sebuah daerah. Mustahil disebuah daerah kebudayaannya maju kalau tidak ada event budaya.  

            Pengalaman selama ini setiap datang ke Bidang Kebudayaan yang ada disetiap daerah, hal pertama yang selalu terucap adalah minimnya anggaran. Tidak ada perhatian pada kegiatan kebudayaan. Kalau dinas kebudayaan digabung dengan pariwisata, anggaran terfokus ke bidang pariwisata. Begitu juga kalau kebudayaan digabung ke dinas pendidikan, kebudayaan jadi pelangkap. Ini fenomena yang jamak terjadi. Tidak aneh kalau dalam setahun, ada daerah yang tidak ada kegiatan kebudayaan yang tidak ada anggaran.

            Fenomena ini hendaknya jadi renungan bersama khususnya pihak eksekutif, legislatif dan juga penggiat kebudayaan. Sebuah daerah janganlah menjadikan visi kebudayaan hanya sebatas pajangan. Visi hanya penghias ruangan-ruangan rapat di kantor pemerintah, iklan-iklan atau pun hanya sebatas diucapkan saat penyampaikan visi misi saat kampanye.  Visi jangan hanya retorika belaka. Sebatas pajangan. **