Tragedi kelam dialami Masyarakat Rengat, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau, 5 Januari 1949. Saat itu Provinsi Riau belum terbentuk dan Rengat berada dibawah Provinsi Sumatera Tengah. Dalam masa Agresi Belanda II itu, ribuan nyawa masyarakat Rengat melayang saat Rengat diserbu Belanda.
Hari Rabu, 5 Januari 1949 pagi, dua pesawat Belanda jenis Mustang dengan cocor merah di depannya terbang rendah dilangit Kota Rengat yang baru diguyur hujan malam harinya.
Dua pesawat itu melayang-layang diantara kerumunan masyarakat yang akan memulai aktivitas. Sebelumnya sudah tersiar kabar bahwa tentara Belanda akan menyerang Kota Rengat sebagai upaya merebut kembali kekuasannya. Pesawat itu menjatuhkan bom.
Aksi dua pesawat Mustang yang mengebom setiap penjuru Rengat baru berakhir pukul 09.45 Wib. Begitu Pesawat Mustang menghilang dari langit Rengat, muncul kembali tujuh pesawat Dakota yang menerjunkan ratusan pasukan baret merah Belanda atau sering disebut Korp Spesialie Tropen (KST), pasukan terlatih Belanda yang telah mengikuti pelatihan di Batu Jajar, Bandung. Pasukan ini diterjunkan di daerah Sekip yang berawa-rawa dan selama ini tidak begitu terjaga oleh tentara Indonesia.
HM Wasmad Rads, mantan Komandan Markas Bataliyon III, Resimen IV Banteng Sumatera berpangkat Letnan Muda TNI AD yang dituturkan dalam sebuah biografi bertajuk Lagu Sunyi Dari Indragiri menyebutkan, perhatian tentara republik terpecah. Antara menghadang laju pasukan penerjun dengan korban yang bergelimpangan. Seorang ibu memeluk tubuh anaknya yang tercabik-cabik. Ada juga wanita yang berteriak histeris didepan putrinya yang terluka parah. Entah siapa yang mau ditolong terlebih dahulu. Masuk ke lubang perlindungan disana sudah ada mayat-mayat dan korban yang terluka parah. “Terlintas dalam pikiran saya jika serangan itu terus dilanjutkan, maka menjelang petang mungkin seluruh penduduk Rengat sudah musnah,”kata Wasmad.
Menjelang petang, situasi di Kota Rengat terus memburuk. Belanda kembali menurunkan pasukan Baret Hijau dalam jumlah besar. Mereka diperkirakan tiga kompi atau sekitar 350 orang. Pasukan ini datang dari Tembilahan melalui jalur sungai. Banyak yang tentara republik yang terbunuh, sedangkan yang hidup ditangkap. Wasmad berupaya menyelamatkan diri dengan cara bergerilya. Dalam perjalanan menyusuri sungai dan hutan ia bertemu dengan para pejuang lainnya. Namun pada tanggal 11 Januari 1949, Wasmad berhasil ditangkap pasukan Belanda di rumah orangtua angkatnya di daerah Sekip. Wasmad kemudian digelandang ke dalam sel. Dalam tahanan, Wasmad bertemu dengan sejumlah tentara republik yang telah lebih dulu ditangkap. Pejuang baru dibebaskan Belanda pada tanggal 27 Desember 1949 seiring dengan penyerahan kedaulatan Belanda kepada Pemerintah Indonesia. Wasmad dan rekan-rekannya yang ditahan di bawa ke Taluk Kuantan untuk ditukar dengan tentara Belanda yang menjadi tahanan tentara republik.
Tragedi 5 januari 1949 itu saat ini sudah diperingati oleh pemerintah Indragiri Hulu dan masyarakat setiap tahun sebagai hari bersejarah. Peringatan hari bersejarah itu sudah dikenal luas, kisahnya sangat menarik dan bahkan banyak mengundang perhatian serius dari berbagai daerah serta peneliti untuk lebih mendalami kisah peristiwa yang terjadi 66 tahun lalu itu.
Sejarawan Universitas Amsterdam, Anne Lot-Hoek dalam Historia.id menyebut sumber Indonesia dan saksi sejarah yang masih ada menyebut sebanyak 1500 sampai 2000 kematian warga sipil yang turut jadi korban meliputi perempuan dan anak-anak. Berapa jumlah korban dalam operasi militer Belanda di Rengat saat ini masih dalam perdebatan. Sumber-sumber Indonesia yang berasal dari penuturan lisan dan kesaksian menyebut hampir 2.000 orang meregang nyawa. Sementara dokumentasi Belanda dalam Memorandum Excessennota (Nota Ekses) tahun 1969 meyakini keseluruhan korban berjumlah 80 orang. Angka ini didapat dari hasil penyelidikan pemerintah sipil Belanda melalui Karesidenan Riau. Anehnya, cerita kekerasan ini tak menemukan tempat dalam memori nasional kedua negara.
Pemerintah Belanda mengganggap banjir darah di Rengat sebagai “pembunuhan di antara sesama orang Indonesia”. Hal ini mengacu pada banyaknya tentara beretnis Ambon dalam kesatuan KST yang ikut terjun dalam operasi militer ke Rengat. Selain itu, memasuki paruh kedua 1949, kedudukan Belanda secara diplomatik kian terdesak untuk segera melepaskan Indonesia. Sehingga urusan kejahatan perang dibiarkan mengambang atau disembunyikan.
Sementara itu, tak banyak penduduk Rengat berani bersuara mengingat keganasan dan kekhawatiran pembalasan dari tentara Belanda yang masih berjaga. Dari waktu ke waktu peristiwa 5 Januari 1949 hanya menjadi konsumsi lokal. Namun memori itu bukan untuk dilupakan. Setelah Republik berdaulat, masyarakat setempat mengganti nama Kampung Sekip menjadi Sekip Sipayung. Ini mengacu pada kata payung yang bermakna penerjun payung “berdarah” Belanda tatkala menjejakkan kaki dan menoreh noda kelam di tanah itu.**