Setiap bulan Desember ada tiga momen hari besar nasional yang ‘bersejarah’ yang diperingati. Yakni, Hari Nusantara, Hari Bela Negara dan Hari Sejarah Nasional. Ironisnya, tiga momen hari besar nasional yang heroik ini kurang gaungnya. Terkesan belum familiar, belum banyak yang tak tahu dan nyaris terlupakan. Sungguh ironis dan amat langka kalau ada lembaga, pemerintah daerah, ormas atau organisasi kepemudaan yang merayakan tiga hari besar nasional ini.
Pengamatan penulis, kondisi ini juga terjadi di Kepulauan Riau. Masyarakat lebih hafal dan ingat bulan Desember ada momen peringatan hari anti korupsi internasional yang diperingati setiap 9 Desember. Selain itu juga lebih hafal perayaan hari ibu yang setiap 22 Desember dirayakan.
Beberapa hari lalu, hari anti korupsi diperingati meriah. Dimana-mana ramai digelar seminar anti korupsi, bagi-bagi stiker anti korupsi atau pun penyuluhan tentang korupsi. Di tingkat nasional sampai daerah, momen hari anti korupsi internasional lebih dikenal dan familiar. Hari anti korupsi mungkin lebih seksi isunya. Padahal dari segi historis, jauh rendah nilainya dari momen hari nusantara atau hari bela negara.
Hari nusantara diperingati setiap tanggal 13 Desember berdasarkan Keppres No.126/2001. Hari nusantara perwujudan dari Deklarasi Djuanda yang dianggap sebagai deklarasi kemerdekaan Indonesia kedua. Melalui deklarasi itu, Indonesia merajut dan mempersatukan kembali wilayah dan lautannya yang luas, menyatu menjadi kesatuan yang utuh dan berdaulat. Peringatan hari nusantara mempunyai makna yang penting karena mengingatkan pada konsep wawasan nusantara.
Deklarasi Djuanda menjadi ingatan kolektif bangsa yang sepenuhnya belum disadari karena bernilai penting dan bermakna bagi kehidupan bernegara. Peristiwa ini tak hanya sebagai tonggak, melainkan juga menjadi penggerak utama (prime mover) terciptanya sebuah wilayah negara: wawasan nusantara. Deklarasi Juanda menjadi satu tongak yang sarat makna dalam sejarah tegaknya Republik Indonesia, terutama bertambahnya luas luas. (Zuhdi, 2015). Pada saat proklamasi kemerdekaan luas laut Indonesia hanya 100.000 Km persegi. Setelah Deklarasi Djuanda bertambah menjadi 3 juta Km persegi.
Hari Bela Negara (HBN) menjadi hari besar nasional dasarnya tak kalah heroik. HBN diperingati setiap 19 Desember karena peristiwa Mr Syafruddin Prawira Negara memproklamirkan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Tanggal 19 Desember 1948, Belanda melancarkan Agresi II dan Yogyakarta jatuh. PDRI diproklamirkan di Sumatera Barat. PDRI dijuluki penyelamat republik. Meski Soekarno-Hatta ditawan Belanda, RI masih eksis dengan mengambil lokasi “somewhere in the jungle” di Sumbar. PDRI selama delapan bulan melanjutkan eksistensi RI sebagai bangsa yang sedang mempertahankan kemerdekaan dari agresor Belanda yang ingin kembali berkuasa. (Asvi,2005).
Sayangnya, sama halnya dengan haru nusantara, HBN juga kurang dihargai. Secara nasional, pemerintah daerah maupun masyarakat kurang merespon HBN ini. HBN sendiri dikukuhkan sebagai hari besar nasional sejak 2006 oleh Presiden RI saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono.Kalau tak ada PDRI, RI akan lenyap dalam peta politik dunia. Belanda mudah eksis kembali karena pemimpin RI telah berhasil ditawan dan ibukota serta sejumlah daerah telah jatuh ke mereka. Inilah arti penting PDRI. Jadi dosa sejarah dari rezim orde lama, orde baru maupun penguasa sekarang kalau menghilangkan peristiwa PDRI dalam pentas sejarah.
Satu lagi hari besar lainnya adalah hari sejarah nasional. Dirayakan setiap tanggal 14 Desember. Maklumat Hari Sejarah Indonesia tahun 2014. Ditetapkan hari sejarah nasional merujuk pada peristiwa Seminar Sejarah Nasional pertama yang dimulai 14 Desember 1957 di Yogyakarta. Seminar sejarah ini sebagai mercusuar lahirnya historiografi modern Indonesia (tradisi Indonesia sentris). Momen hari sejarah nasional bermakna penting dalam mengembangkan kesejarahan baik secara kuantitas dan kualitas dalam meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara.
Kondisi peringatan tiga hari besar nasional yang terlupakan ini tak terlepas dari kebijakan pemerintah pusat dan daerah. Ambil contoh Hari Santri Nasional yang belum lama ditetapkan Presiden Joko Widodo. Hari santri yang diperingati setiap 22 Oktober dan tahun pertama 2016 ini berlangsung secara meriah dari tingkat nasional hingga daerah. Meski penetapan hari santri jadi perdebatan dan ada pro kontra, namun pemerintah tetap menjalankannya dengan argumen untuk memperkuat kebangsaan.
Campur tangan pemerintah dan dukungan yang kuat akan menjadikan perayaan hari besar nasional lebih punya gaung. Banyak cara lain merayakan hari nusantara, hari bela negara dan hari sejarah nasional agar lebih meriah, selain upacara bendera. Harus ada upaya untuk menggelorakan momen itu agar tak hilang dari memori anak bangsa. Bisa melalui pameran, napak tilas, membuat film dokumenter atau sosialisasi ke masyarakat melalui televisi, radio atau media cetak.
Belajar dari sejarah itulah ungkapan yang selalu didengungkan kepada masyarakat bangsa. Belajar dari sejarah maka anak bangsa akan merasakan hayat kontinuitas yang lalu, masa kini dan masa akan datang. Pada akhirnya menjadi Indonesia yang punya cita identitas sesuai cita-cita kemerdekaan. Kita tunggu gebrakan pemerintah daerah, ormas, OKP dan organisasi profesi, serta masyarakat untuk membuat kegiatan memeriahkan tiga hari bersejarah ini. Mengutip pidato Bung Karno 1966, jangan sekali-kali meninggalkan sejarah, jas merah. ** (terbit di harian Tanjungpinangpos, 15 Desember 2016)