Perkebunan sawit, bangunan-bagunan hingga pertambangan merusaknya. Pendangkalan dan kualitas air sungai menjadi masalah. Adalah Musri Nauli, aktivis lingkungan dari Walhi membuat catatannya selama berkeliling di desa-desa di Jambi. Catatan pentingnya adalah empat taman nasional di Jambi punya peran penting menyumbang air ke Sungai Batanghari.
Dia mengatakan menurunnya kondisi taman nasional akan menyebabkan turunnya juga debit dan kualitas air Sungai Batanghari. Selain itu dia mengatakan sungai bagi masyarakat Jambi menjadi penanda. Seperti untuk penamaan tempat.
“Seperti Sungai Jernih, Sungai Keruh, Sungai Bungur Sungai Bertam dan sebagainya,” kata Nauli, pada Senin (20/2) dalam diskusi buku Sungai dan Sejarah Sumatra
Yang ditulis akademisi Unand, Gusti Asnan.
Selain penanda, masyarakat Jambi, kata Nauli sangat menghormati sungai. Bagaimana hulu sungai tidak diboleh dibuka, disebut dengan kepala sauk. “Lalu untuk penunjuk arah masyarakat Jambi kan tidak tahu mana mata angin. Maka mereka menggunakan patokan matahari hidup yang mewakili timur dan matahari mati mewakili barat.
“Matahari hidup ditandai dengan adanya ikan-ikan seperti gabus dan toman. Sedangkan matahari mati ada tandanya ikan semah,” ungkapnya.
Lalu Ramli, Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jambi yang jadi pembicara mengatakan ada dua warisan yang disisakan dari peradaban sungai di Jambi. Yaitu bangunan sakral seperti candi, menhir dan semacamnya. Serta benda profa seperti untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, misalnya tranportasi, rumah dan sebagainya. Dia kemudian bertanya, mengapa Sungai Batanghari atau Situs Percandian Muarjambi menjadi penting. Ia menjawab sendiri pertanyaan itu. Bahwa ada kajian di Jambi ada perdagangan merica, sirih, damar hingga emas. Kata Ramli ini adalah hasil penelitian soal pelabuhan-pelabuhan kuno di Indonesia.
Dedi Arman yang merupakan peneliti dari Balai Pelestarian Nilai Budaya Kepulauan Riau bilang belum banyak riset yang fokus soal sungai. “Nyaris belum ada yang membahas soal sejarah sungai,” imbuhnya.
Ujang Hariadi, Plt Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi mengatakan pihaknya sempat memiliki riset soal pola pemukiman di pinggir sungai. “Pola pemukiman itu ikut ke arah sungai, sejajar sungai. Tapi itu belum tuntas, belum ada kesimpulan,” kata Ujang.
Wenny, salah satu dosen STISIP NH, tempat diskusi diadakan, mengatakan sebuah cerita saat pihaknya mengadakan Rural Community Development Desember 2016 lalu. Dia mendapat cerita dari masyarakat bagaimana sungai sudah terdegradasi.
“Ketika mereka bercerita sungguh menyakitkan bagaimana sungai dikhianati oleh daratan,” kata Wenny.
Dia menambahkan sejak 90-an banyak illegal loging, perkebunan hingga pertambangan. Sungai yang awalnya jadi pusat kehidupan terkena pencemaran. Saat ini Sungai Batanghari tidak bisa dibuat minum, apalagi mandi. “Ada juga cerita-cerita warga yang mencari saudaranya mengikuti alur sungai,” katanya.
Nukman, salah seorang peserta kemudian berbisik kalau batang itu sendiri artinya sungai yang besar. “Kalau di Kerinci nggak pakai sungai lagi,” ungkapnya terkekeh.
Jumardi Putra selaku moderator dari Jurnal Seloko berseloroh tentang penggunaan kata Batanghari. “Lah penggunaan nama Batanghari saja belum konsisten, apakah batang dengan hari digabung atau dipisah,” katanya sembari disambut tawa kecil peserta diskusi di salah satu kelas STISIP Nurdin Hamzah bilangan Sipin ini. (tribunjambi).