Pemerintah saat ini sibuk menggalakkan tol laut, pembangunan tol Sumatra, membuka trans Kalimantan, Sulawesi, Papua dan daerah lain. Hebatnya upaya membenahi kemaritiman, kementrian koordinator kemaritiman pun dibentuk. Meski begitu ada yang terlupakan dalam perhatian kita. Kemaritiman itu selalu dianggap berhubungan dengan kelautan, kebaharian. Sungai yang pernah menjadi urat nadi transportasi dan perdagangan masa lampau, kini seakan terlupakan. Padahal siapa yang bisa membantah sungai bagian dari dunia kemaritiman.
Tak hanya terlupakan dalam segi kebijakan, sungai dalam kajian atau penelitian sejarah di Indonesia juga belum banyak tergarap atau kajiannya masih terbatas. Sungai dalam panggung sejarah penulisannya masih gelap dan belum banyak terjamah. Kebanyakan penelitian maritim yang ada di Indonesia masih memfokuskan diri pada ruang perairan yang luas seperti samudra, laut, selat dan teluk. Padahal dalam dinamika sejarah sendiri, proses perdagangan dibeberapa pulau di nusantara mengandalkan sungai sebagai sarana transportasi utama wilayahnya. Terutama pulau Sumatra dan Kalimantan yang dialiri oleh banyak sungai besar. sungai-sungai tersebut menentukan proses sejarah yang terjadi di kedua pulau tersebut.
Banyak sejarawan Indonesia yang disertasinya tentang maritim, tapi fokusnya tentang laut. Sebut saja AB Lapian yang dianggap sebagai sejarah maritim Indonesia. Disertasinya “Orang Laut – Bajak Laut – Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX” dianggap telah membuka lembaran baru dalam penulisan sajarah maritim dan sejarah kawasan di Indonesia.
Susanto Zuhdi menulis Labu Rope Labu Wana: Sejarah Butun Abad XVII-XVIII, 1999. Gusti Asnan juga menulis disertasi tentang maritim, berjudul Trading and Shipping Activities: The West Coast of Sumatra, 1819–1906″. Edward L. Poelinggomang
karyanya tentang maritim, Makassar Abad XIX: Studi Tentang Kebijakan Perdagangan Maritim. Karya lain ditulis M Nur tentang Bandar Sibolga di Pantai Barat Sumatra pada Abad Ke-19 sampai Pertengahan Abad Ke-20. Masih banyak disertasi dan buku yang terbit menulis tentang sejarah maritim.
Berbeda dengan kajian sungai begitu minim. Penelitian tentang kajian sungai khususnya di Sumatra sangat langka dan terbatas. Baru Gusti Asnan yang menerbitkan bukunya Sungai dan Sejarah Sumatra yang terbit akhir 2016 lalu dan diterbitkan Penerbitan Ombak. Menurut penulisnya, dasar pemikiran penulisan dan penerbitan buku ini karena masih minimnya perhatian sejarawan terhadap sungai-sungai di Sumatera. Melalui buku ini, Gusti sedang mengisi ruang kosong. Inilah satu di antara sedikit buku yang mengkaji sungai-sungai di Sumatera berikut peranan historisnya.
Pandangan Gusti Asnan, setiap kegiatan manusia di Sumatra, itu tidak terlepas kaitannya dengan sungai. sejak berabad-abad sebelum abad ke-20, sungai menjadi tempat sentral berbagai kegiatan manusia mulai dari mandi, mencuci, sumber air utama, hingga nanti pada perkembangan berikutnya menjadi sumber energi (PLTA). Namun peran besar sungai ada pada bidang transportasi dan ekonomi, dimana ketika memasuki abad ke-20 sungai menjadi dominan sekali untuk mendistribusikan barang komoditas dari pedalaman. Peran yang menyerupai “jalan raya” ini hanya terdapat dibelahan timur Sumatra.
Sungai merupakan rupa bumi yang sangat dominan di Sumatra. Di masa lalu, sungai adalah jalan raya tempat sebagian besar warga Sumatera berlalu-lalang atau membawa barang. Sejumlah permukiman tertua di Sumatera juga ditemukan di kawasan (aliran) sungai. Ada ribuan sungai dengan berbagai ukuran yang mengalir di seantero Sumatra. Dalam perjalanan sejarahnya yang panjang, kehidupan warga Sumatera, secara langsung atau tidak, dipengaruhi oleh sungai.
Keberadaan buku Sungai dan Sejarah Sumatra ini sangat dirasakan manfaatnya. Nanda Julian Utama dalam tesisnya berjudul Perdagangan dan Pelayaran di Sungai-Sungai Keresidenan Palembang 1900-1930 yang selesai Januari 2017 lalu menyebut, buku karya Gusti Asnan itu merupakan buku yang khusus yang mengkaji masalah sejarah sungai di wilayah Sumatra. Kajian yang dilakukan oleh Gusti Asnan bisa dibilang pula merupakan salah satu yang pertama membahas masalah sungai di Sumatra. Hanya saja bahasan yang diberikan masih umum. Hal ini mungkin dapat dimaklumi karena ada begitu banyak sungai yang akan dibahas di wilayah Sumatra ini. Umum dalam kaitan hanya membahas kulitnya saja walaupun cakupannya berupa sejarah sungai, budaya masyarakat yang dipengaruhi sungai, dan perkembangan transportasi air.(Nanda,2016:15).
Meski dipuji, Gusti menilai masih banyak tabir sejarah Sumatra dalam kaitannya dengan dunia sungai yang belum terungkap dalam buku ini diharapkan, penerbitan buku ini akan merangsang minat sejarawan dan peneliti untuk mengkajinya lagi secara komprehensif. Kajian mengenai sungai juga kompleks seperti halnya perairan lain yang lebih luas. Gusti telah memulai dan terbuka lebar kajian sejarah tentang Sungai Musi, Batang Hari, Kuantan (Indragiri) dan sungai-sungai lainnya. Sumber-sumber kolonial Belanda terkait kondisi sungai masa lampau juga cukup mendukung.
Orang melihat setiap sungai memiliki karakternya masing-masing, sebagian tua dan lamban, sebagian lainnya muda dan penuh semangat. Sungai Musi lebar dan pengeluh bagaikan orang tua, Kampar gemerlapan dan penuh dengan kicauan burung. Sementara, Batanghari ganas dan membara. Panei bagaikan ular naga yang misterius, tenang dan indah.
sungai memiliki iramanya masing-masing, dan sering dalam tidurnya seseorang mendengar bunyi arusnya, bagaikan nyanyian bisu. Gusti Asnan merujuk buku Schnitger, The Forgotten Kingdoms in Sumatra.
Sungai di Kepri
Berbeda dengan sungai di Sumatra yang lebar dan panjang, seperti Batang Hari yang panjangnya 850 kilometer atau Musi 750 Km, sungai di Kepri tak ada yang panjang. Namun, bukan berarti sungai-sungai di Kepri tak memiliki sejarah yang terkait dengan dunia perdagangan. Sungai Carang (Hulu Riau) menjadi bandar dagang yang maju pada abad ke-17. Sejumlah literatur menyebutkan, betapa riuh dan megahnya Sungai Carang abad ke-7.Namun, kajian mengenai Sungai Carang lebih banyak pada kondisi Sungai Carang sebagai bandar dagang. Minim sekali data tentang profil Sungai Carang dari segi kondisi sungai, panjang, hulu dan hilir, serta kondisi pemukiman sepanjang sungai.
Selain Sungai Carang, sungai lain yang bisa dilayari kapal adalah Sungai Daik (Lingga). Sungai bisa dilayari dari muaranya di laut hingga ke pusat perkampungan di Lingga. Sungai ini hulunya adalah Gunung Daik. Disepanjang Sungai Daik banyak ditemui peninggalan zaman Kesultanan Riau Lingga. Hingga saat ini, kebutuhan masyarakat Daik Lingga didatangkan melalui transportasi lewat Sungai Daik ini. Kebutuhan sehari-hari masyarakat didatangkan dari Jambi, Batam, dan Tanjungpinang. Begitu juga hasil bumi Lingga berupa sagu dijual transportasinya juga via sungai ini.
Belum ada kajian sejarah yang mengupas peranan Sungai Daik ini pada masa lampau. Padahal jejak-jejak sejarahnya masih dijumpai hingga saat ini. Di Sungai Daik, perekonomian Lingga dibangun. Lancarnya trasnportasi sungai menyebabkan penduduk pendatang berdatangan membaur dengan Orang Melayu. Di Daik dijumpai kampung bernama Kampung Bugis, Cina, Siam, Keling, Jawa, Bangka, maupun Pahang.
Di Pulau Bintan juga ada sejumlah sungai kecil selain Sungai Carang, seperti Sungai Bintan, Gesek, Sungai Jago, Sungai Ekang Anculai, Sungai Bintan, Sungai Kangboi, Sungai Gesek, Sungai Kawal, dan Sungai Lagoi. Sungai Bintan patut menjadi perhatian karena di hulunya menjadi pusat Kerajaan Bentan. Sementara sungai-sungai lainnya hingga saat ini rata-rata bisa dilewati transportasi air. Masyarakat memanfaatkan akses sungai untuk transportasi yang cepat dari satu daerah ke wilayah lain. Selain itu, nelayan banyak memngantungkan hidupnya dari mencari ikan di sungai-sungai ini.** (dimuat di harian tanjungpinangpos, 19 Februari 2017).