Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing) adalah salah satu kabupaten di Provinsi Riau, Indonesia. Kabupaten Kuansing disebut pula dengan Rantau Kuantan atau sebagai daerah perantauan orang-orang Minangkabau. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Kuansing menggunakan adat istiadat serta bahasa Minangkabau. Kabupaten ini berada di bagian barat daya Provinsi Riau dan merupakan pemekaran dari Kabupaten Kampar. Rantau Kuantan merupakan suatu daerah yang yang memiliki ciri budaya tersendiri. Daerah ini secara sederhana, meliputi perkampungan sepanjang batang Kuantan mulai dari Lubuk Ambacang di hulu sampai Cerenti di Hilir.
Ragam budaya Melayu masih cukup banyak dijumpai, mulai dari budaya yang masih bersifat Animisme-Hinduisme seperti Balian, Jalur, Mebuang Lancang, Sima (Sema), Menjemput Padi, dan Ratib Berjalan. Sedangkan yang bernafaskan Islam seperti Randai, Tomat Kaji, Dikir, Ruda (Berdah), dan Kayat. Selain itu masih ada lagi yang lain, seperti Tobo (organisasi tani tradisional), yang biasanya diiringi dengan kesenian Celempong Onam. Tetapi dari berbagai ragam budaya tersebut ada satu yang menarik dan cukup khas, yaitu silat.
Silat di perkampungan sepanjang batang Kuantan itu telah bercabang menjadi dua makna. Pertama untuk pendidikan rohani yang diwujudkan dalam sifat kejujuran, kerendahan hati dan ketaatan kepada ajaran Islam. Kedua, sebagai latihan jasmani untuk menghadapi kehidupan duniawi, yang diwujudkan dalam ketangkasan diri. Silat di Rantau Kuantan sering juga disebut dengan Silat Pangean. Namun nama silat Kuantan masih lebih dikenal luas dan masih cukup disegani.
Jika diperhatikan, maka para pewaris guru silat dirantau itu, maka sampai tahun 1980-an, sudah ada 4 generasi yang meneruskan budaya tersebut. Jika satu generasi memegang jabatan guru silat sekitar 25 tahun, maka silat Rantau Kuantan telah mempunyai sejarah sepanjang 100 tahun yang lalu. Ada 3 pewaris silat di Rantau Kuantan yang masing-masing menerima gelar tradisional (dari pendahulunya) yaitu Sutan nan garang, Bromban dan Jiusu. Ketiga tokoh ini mendapat jabatan secara garis keturunan dan diangkat sebagai guru setelah guru (tokoh) yang tua meninggal atau mengundurkan diri.
Silat Rantau Kuantan diajarkan atau dimainkan secara tradisional pada malam hari dalam bulan Ramadhan, selepas Shalat Tarawih sampai pada waktu dini hari (sahur). Permainan ini diiringi dengan rarak gondang-gondang atau rarak jalur. Permainan dimulai dengan duduk bersujud menghadap kiblat sambil membaca doa (Al Fatihah) dan menyalami guru serta tokoh-tokoh yang berada di dalam halaman serta diakhiri dengan bersalam-salaman sesama yang bersilat.
Cerita Rakyat/Legenda Silat Rantau Kuantan
Seorang lelaki dari daerah Rantau Kuantan (yang dikemudian akan menerima gelar Sutan Nan Garang) awalnya berguru silat ke daerah Lintau Buo Pangean Minang Kabau. Guru silat di lintau Buo itu kemudian berhiba hati karena tingkah laku anak buah (murid-muridnya) yang ingin berebut kekuasaan menggantikan gurunya. Dalam keadaan serupa itu maka lelaki asal Rantau Kuantan tersebut sang Guru pergi ke Rantau Kuantan. Sang Guru menerima tawaran itu, maka berangkatlah mereka berdua menuju Rantau Kuantan. Dalam perjalanan itu daerah yang dituju ialah Koto Tuo Siberakun, suatu kampung asal yang terletak di daerah yang cukup tinggi. Untuk mencapai Koto Tuo itu, mereka mengikuti aliran Batang Kuantan lalu kemudian naik di Gunung Kesiangan ini dengan mudah mereka sampai ke Koto Tuo (Konon dari riwayat itulah Laman Silek Jiusu di negeri Siberakun dibuat setentang atau menghadap ke Gunung Kesiangan sebagai tanda penghormatan atas kedatangan guru silat itu di Koto Tuo Siberakun).
Setelah tiba di Koto Tuo maka didirikanlah oleh Guru tua itu laman silek dengan bantuan muridnya tadi. Maka bergurulah kembali sang murid (yang kemudian bergelar Sutan Nan Garang) kepada guru asal Lintau Buo tersebut. Berselang kemudian maka Sang Guru terpanggil ke hadirat Illahi, maka tinggallah sang murid menggantikan guru dengan gelar Sutan Nan Garang. Kepada Sutan Nan Garang, bergurulah seorang lelaki dari negeri Pangean (di Rantau Kuantan Sekarang) yang kelak menjadi guru silat pula dengan gelar Baromban. Disamping itu ada lagi seorang murid dari negeri Siberakun, yang juga kemudian menjadi guru silat pula dengan gelar Jiusu (Konon singkatan dari Haji Yusuf).
Setelah Barombang dan Jiusu selesai berguru kepada Sutan Nan Garang di Koto Tuo, mereka kembali ke kampung halaman masing-masing menjadi guru untuk mengajarkan silat. Tetapi terhadap Jiusu dianjurkan oleh Sutan Nan Garang agar berguru lagi kepada Baromban, sebab beliau khawatir jika pelajaran yang diberikannya kepada Barombang jauh melebihi pelajaran yang diberikannya kepada Jiusu.
Atas anjuran sang Guru, bergurulah Jiusu kepada Baromban dengan cara menyamar sebagai orang kebanyakan. Pada suatu hari Barombang mencoba menguji kesetiaan murid-muridnya dengan cara pura-pura sakit perut. Beliau pergi keatas loteng kemudian pura-pura mengerang kesakitan. Dalam tipu daya seperti itu beliau memanggil murid-muridnya minta tolong tampungkan kotorannya dari bawah karena beliau tidak sanggup lagi turun kebawah. Tidak ada seorangpun diantara muridnya mau kecuali Jiusu. Setelah Jiusu menyatakan kesediaannya maka ternyata bukan kotoran yang jatuh dari atas, tetapi “godok pisang” (makanan yang digoreng terbuat dari pisang yang diremas dan diaduk) hangat. Dengan ujian tersebut terbuktilah bagaimana Jiusu berkhidmat begitu rupa kepada sang guru sehingga dia menjadi murid kesayangan yang pada akhirnya dia menjadi pewaris semua ilmu itu.
Mengadu langkah
Silat Rantau Kuantan selalu dimulai dengan langkah empat, yaitu 4 kali melangkah. Langkah pertama dimulai dengan kaki kanan (lambang kebaikan). Sementara itu tangan dan jari tangan digerakan sehingga tampak gerakan yang lemah lembut. Ketika kita atau pihak lawan hendak memberikan serangan maka diucapkan kata hak, sebagai benda atau simbol bahwa semua tindakan atau serangan hanya dilakukan atas dasar kebenaran. Jika pada suatu waktu ada pihak yang benar-benar memandang kita sebagai musuh, maka orang itu boleh dikatakan hendak mengadu langkah dengan kita. Jika terjadi keadaan yang demikian, maka ucapkanlah ke dalam hati “ompek kek awak duo ke enyo” (empat padaku dua pada anda). Dalam mengadu langkah maka dalam langkah pertama disarankan agar menaikkan telunjuk ke atas sebagai tanda untuk pedang Jibril, lalu turunkan kebawah dalam langkah keempat sebagai pertanda kehadiran malaikat maut yang membawa kehancuran.
Jika seseorang penuntut ilmu silat berhadapan dengan lawan dalam keadaan terdesak, maka dia dapat melakukan dengan segera membuat garis di tanah atau dihadapan dirinya. Setelah dibuat garis, maka hendaknya membaca:
Pasu bumi pasu tanah
Tibo ditana aku barisan
Kalau ongkau mau langka
Ka pintu ongkau mati
Diri yang benar itu tidak akan melangkah melewati garis tersebut untuk melakukan serangan, sebab kebenaran bagaimanapun juga tidak dipaksakan sebagaimana telah difirmankan Allah dalam kitabNya, yang kurang lebih dapat disalin dengan kalimat “tidak ada paksaan dalam agama, karena sesungguhnya telah nyata kebenaran dan kebathilan….”.
Jika lawan mencoba melampaui garis itu, ini berarti ia mencoba melanggar hak, dia menjadi orang yang melampaui batas atau melangkahi kebenaran. Kalau sudah begitu, maka silat sudah dapat dipergunakan, karena memang telah dirancang begitu rupa untuk melindungi diri dari penganiayan agar kebenaran atau yang hak tetap dapat dibela.
Yang lebih tinggi lagi daripada mengadu langkah ialah keputusan silek. Keputusan silek pertama dapat dilakukan melalui alam nyata. Caranya, carilah satu titik yang paling terang dalam cermin setelah cermin itu dihadapkan kepada cahaya matahari. Jika titik itu sudah dijumpai, maka diri yang benar itu dapat memutuskan itikadnya. Cara yang kedua adalah melakukan sembahyang (shalat) sunat 2 rekaat.
Organisasi Silat
Organisasi silat terdiri dari pihak guru, urang tuo laman, urang barompek dan murid. Dalam tradisi silat di Rantau Kuantan, maka yang berhak menjadi guru silat ialah Baromban dan jiusu. Baromban untuk kenegerian Pangean dan sekitarnya, sedangkan Jiusu untuk negeri Siberakun dan sekitarnya. Setiap mati atau mengundurkan diri Baromban dan Jiusu yang bertugas menjadi guru, maka segera akan tampil penggantinya dari garis suku yang telah menjadi tradisi. Guru silat diluar dari yang dua ini, baru dapat menjadi guru setelah memperoleh kata mufakat dari Sutan nan Garang, Jiusu, dan Baromban yang nanti juga ditanam oleh meraka untuk mengokohkan dia menjadi guru tradisional yang berdua itulah:
– Pendekar Alam Kotorajo (guru silat untuk daerah Basrah)
– Jibarahim (guru silat untuk negeri Benai)
– Jiali dan Tuk (datuk) Godang Jolelo (guru silat untuk daerah Teluk)
Guru silat tradisional Baromban dan Jiusu, boleh dikatakan sebagai lambang daripada dunia persilatan. Secara utuh lambang persilatan di Rantau Kuantan itu sebenarnya berada dalam pimpinan Sutan nan Garang, Baromban dan Jiusu. Karena Sutan nan Garang tidak punya Laman Silek, maka beliau merupakan guru tetapi tidak menggurui. Karena itu, maka Sutan nan Garang tidak mempunyai Urang Tuo Laman, dan Urang Barompek secara tersendiri. Beliau juga tidak menerima murid yang akan masuk silat, seperti yang dilakukan oleh Baromban dan Jiusu (serta guru silat yang ditanam atas 3 guru tradisional itu). Tetapi meskipun begitu, Sutan nan Garang berhak memakai atau menggunakan tenaga Urang Tuo Laman dan Urang Barompek, kepunyaan Baromban dan Jiusu.
Meskipun Baromban dan Jiusu sebagian besar menampakkan diri sebagai lambang persilatan atau lambang kepemimpinan pada laman Silek yang dibinanya, namun mereka juga bisa memberikan silat dalam tingkat kebatinan, yang sering disebut dengan lemu silek (ilmu silat). Ilmu silat dapat diberikan oleh Baromban dan Jiusu, pertama-tama tentu saja kepada Urang Tuo Laman dan Urang Barompek. Setelah itu baru kepada murid yang dipandang mempunyai kualitas, sehingga diperkirakan mampu memegang ilmu yang memerlukan pribadi yang tangguh antara Urang Tuo Laman dan Urang Barompek, disamping membedakan tugas dan jabatan, juga menggambarkan perbedaan tinggi rendahnya ilmu silat yang dimiliki
Dalam kegiatan persilatan boleh dikatakan Baromban dan Jiusu tidak pernah bermain silat dengan murid-muridnya di Laman Silek, kecuali tempat-tempat bersifat rahasia untuk memberikan ilmu silat kepada seseorang. Sang guru ini biasanya tampil sekali dalam setahun, bersilat di laman silek dihadapan masyarakat luas. Dalam kesempatan itu sang guru dikepung oleh tidak kurang 12 orang murid, dan beliau lolos dari kepungan itu. Urang Tuo Laman ialah orang-orang yang dituakan dalam suatu laman silek. Kedudukan dan juga ilmu silatnya diatas daripada Urang Barompek, tetapi dibawah daripada gurunya. Tugasnya ialah mengawasi dan memimpin anak buahnya, dengan pertimbangan:
– Alif (lurus/jalan yang benar)
– Ba (berpihak pada yang berhak)
– Ta (tawakal, berserah diri kepada Tuhan)
Pada sisi lain Urang Tuo Laman berhak memberhentikan Urang Barompek, lalu kemudian melaporkan kepada guru. Urang Tuo Laman biasanya dipilih dari kalangan suku yang tanahnya dipakai untuk laman Silek. Jika laman silek ada dalam tanah suku Kampung Tonga, maka Urang Tuo Laman akan diambil pula dari kalangan suku itu. Urang Barompek ditunjuk atau diajukan oleh Urang Tuo Laman. Setelah itu melalui kata mufakat ditanam menjadi Urang Barompek, dengan disaksikan oleh para pemuka silat dan pemuka suku. Urang Barompek mempunyai tugas melatih semua murid yang belajar silat. Semua penyelenggaraan para calon murid diurus oleh Urang Barompek. Kebanyakan murid terdiri dari kalangan pemuda dan remaja. Bagi mereka yang akan menjadi murid disebut “masuk silek”. Mereka harus mencari masing-masing sebuah limau godang (sejenis jeruk Bali), dan tiap 4 orang murid menyediakan satu ekor ayam, kelapa setali (2 buah), dan beras satu gantang. Disamping itu, kadang ada tambahan kain putih 3 hasta dan sebelah pisau untuk guru. Limau itu akan dibelah dua oleh guru sewaktu upacara penerimaan murid. Setelah dibelah dua, kemudian dimasukkan ke dalam tempurung lalu dikuburkan 3 hari di dalam tanah laman silek. Setelah itu diambil kembali dan dibuka oleh guru dihadapan murid. Tanda-tanda pada limau dipandang memberikan perkiraan bagi masa depan si murid dalam dunia persilatan. Ayam, kelapa dan beras dimasak, kemudian makan bersama-sama dalam upacara penerimaan murid menjadi anak silek. Dalam upacara ditegaskan bagaimana prinsip-prinsip silek penuh dengan sandaran rohani, sehingga diharapkan anak silek tidak akan mempergunakan silatnya untuk maksud-maksud yang tidak baik. Silat tidak boleh digunakan untuk kejahatan.