Oleh : Evawarni
Provinsi Jambi terletak di pesisir Timur bagian tengah Pulau Sumatra dengan ibukota Jambi. Provinsi Jambi ini dihuni oleh berbagai macam suku bangsa yang terdiri dari penduduk asli dan pendatang. Salah satunya adalah suku bangsa Melayu (penduduk asli). Suku bangsa Melayu atau masyarakat Melayu Jambi dalam kehidupannya memiliki tradisi berseloko. Berseloko dilaksanakan pada pertemuan-pertemuan adat, pelaksanaan upacara daur hidup ( seperti upacara perkawinan) dan sebagainya.
Kata seloko (dalam dialek Jambi) identik dengan kata seloka dalam bahasa Indonesia. Menurut Djamil Bakar (1981), dalam teori sastra seloko dikenal sebagai salah satu bentuk sastra lisan, yaitu suatu bentuk kebudayaan daerah yang diwariskan secara turun temurun. Bentuk satra lisan tersebut berkaitan erat dengan tradisi suatu masyarakat. Salah satu hubungannya adalah berupa ditampilkannya sastra lisan itu dalam upacara atau acara-acara tradisional masyarakat yang bersangkutan. Hubungan lain ialah bahwa sastra lisan itu juga bersumber dan sekaligus mengandung adat dan kebiasaan, tingkah laku dan kepercayaan masyarakat pemakainya. Lebih lanjut Tabran Kahar (1986) mengemukakan, melalui ungkapan tradisional atau seloko dapat diketahui latar belakang kehidupan sosial budaya masyarakatnya, karena ungkapan tradisional itu juga menggambarkan segala aspek kehidupan masyarakat. Junaidi T. Noor (2013) lebih spesifik mengemukakan, seloko bagi orang Melayu (termasuk Jambi) memiliki makna yang dalam, makna yang jauh lebih penting dari hanya sebagai sebuah “keistimewaan” semata. Seloko :
– mengandung pesan atau nasihat yang bernilai etik dan moral
– sebagai alat kontrol sosial-kemasyarakatan, bahkan politik serta penjaga keserasian dengan alam
– sebagai pandangan hidup (weltanschauung, way of life)
– dan sebagai tuntunan hidup.
Dalam pembacaan seloko, penyeloko biasanya menggunakan pantun atau sejenisnya yang diiringi dengan rima dan metrum yang mantap sehingga tidak jarang menarik perhatian bagi sebagian orang yang mendengarkan. Namun demikian, tidak semua orang bisa memahami maksud seloko tersebut karena dalam pemilihan diksi cendrung manggunakan majas perbandingan atau perumpamaan (Mislan, 2012). Hal senada juga dikemukakan oleh H. Junaidi T. Noor (2013), seloko bagi masyarakat Ras Melayu sudah tidak asing lagi. Seloko merupakan tradisi lisan yang terwariskan dari kakek ke bapak, dari bapak ke bisa ke aku atau yang lain atau bisa terhenti atau tersamar karena jarang didengar, jarang diungkapkan diruang publik atau antar lingkungan keluarga. Masyarakat awam hanya dapat mendengar seloko dalam upacara adat terutama dalam prosesi adat perkawinan. Dalam acara itu mulai dari runutan prosesi perkawinan sampai pengantaran ke pelaminan ada dilantunkan seloko itu. Itu pun berlaku dan didengar pada upacara adat penuh.
Sejatinya memang agak susah menangkap makna yang terkadung dalam seloko sebagaimana telah disebutkan di atas, tetapi kata orang tua-tua untuk dapat memahami makna yang terkandung dalam seloko dapat dilakukan dengan cara :
a. Mempelajari kebudayaan Melayu yaitu tempat dimana seloko itu tumbuh dan berkembang, terutama bahasa dan lambang-lambangnya.
b. Belajar dan bergaul dengan guru atau orang tua yang arif serta berpengetahuan luas dibidang agama maupun adat istiadat Melayu.
c. Sering mengikuti momen-momen dimana seloko tersebut disampaikan. Umpamanya pada pelaksanaan upacara-upacara adat, upacara perkawinan, pertemuan-pertemuan tokoh adat dan sebagainya.
Jadi dengan demikian, untuk menjaga agar seloko tidak salah dalam menafsirkan dan mengetahui makna yang terkandung dalam seloko tersebut, dianjurkan agar selalu mendengar petuah-petuah yang berkaitan dengan seloko tersebut.
Perhatikan seloko berikut ini,
1. “ Lembai Sekepeh Entak Sedegam” ( Lembai sekipas hentak sebunyi)
Arti dari seloka ini adalah seia sekata dalam mengerjakan suatu pekerjaan.
Orang yang berjalan bersama akan kelihatan indah apabila ayunan tangan sama dan bunyi hentakan kakinya seirama. Disamping itu, jarak yang jauh tidak akan terasa karena dilalui bersama-sama. Seloko ini menggambarkan bahwa manusia dalam kehidupan sehari-hari selalu kompak dan bersatu.
Setiap manusia atau warga masyarakat dalam kesehariannya memiliki masalah dan kepentingan yang berbeda. Namun untuk suatu pekerjaan yang menyangkut kepentingan orang banyak, hendaklah bersatu/ dimusyawarahkan. Sekecil apapun permasalahan, apabila diselesaikan dengan cara musyawarah akan memberi dampak positif terhadap semua pihak.
Suatu pekerjaan apabila dikerjakan secara bersama-sama dan seia sekata akan berhasil dengan baik. Keberhasilan tersebut diperoleh tentunya karena suatu pekerjaan dari awal sudah direncanakan dengan tepat, kemudian proses pelaksanaannnya didiskusikan atau dimusyawarahkan secara bersama serta adanya pembagian tugas yang jelas. Sehingga masing-masing individu menjalankan tugasnya dengan penuh rasa tanggungjawab. Satu sama lainnya saling membantu dan saling menghargai serta seia sekata. Apabila ada masalah, dibicarakan dan diselesaikan secara bersama, sehingga beban yang berat menjadi ringan dan masalah yang rumit menjadi mudah. Dengan demikian, akan tercipta suasana kerja yang tenang dan damai yang pada gilirannya akan menghasilkan masyarakat yang bersatu, seia sekata dan hidup yang rukun.
2. “ Mudik Setanjung Ilir Serantau” ( Mudik setanjung hilir serantau)
Arti dari seloka ini adalah sesuatu pekerjaan hendaklah diselesaikan secara bertahap.
Seseorang ataupun sekelompok orang (masyarakat) apabila melaksanakan suatu pekerjaan, haruslah punya perencanaan yang matang baik dari segi pendanaan maupun mekanisme pelaksanaannya. Untuk mendapatkan hasil yang baik, perencanaan harus dibuat dengan sebaik-baiknya, kemudian pelaksanaannya dilaksanakan sesuai dengan tahapannya. Pekerjaan yang dilakukan secara bertahap sebagaimana diisyarakatkan dalam seloka di atas dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari orang tua-tua kita di pedesaan. Diantaranya waktu turun ke ladang. Setelah ada perencanaan dan kesepakatan untuk turun ke ladang (menetapkan hari baik bulan baik), tahapan yang mereka lakukan adalah menebas dan menebang kayu dan berikutnya membakar dan membersihkan areal yang akan ditanam, terus menanam, menyiangi dan terakhir menuai. Hal senada juga tampak dalam pelaksaan upacara tradisional. Terlihat adanya tahapan-tahapan, seperti tahapan persiapan, tahap pelaksanaan dan tahap sesudah pelaksanaan. Semua itu menunjukkan bahwa manusia dalam hidup itu hendaklah teratur dan tertib.
3. “ Ambil Benih Campaklah Sarap” ( Ambil benih buanglah sampah)
Arti dari seloko ini adalah ambillah sesuatu yang baik dan bermanfaat kemudian buanglah sesuatu yang tidak baik.
Pada seloko ini, benih melambangkan sesuatu yang baik dan bermanfaat dalam kehidupan masyarakat, sedangkan sampah melambangkan sesuatu yang tidak baik. Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, mereka sering dihadapkan pada pilihan baik dan buruk. Untuk itu, masyarakat dituntut untuk dapat membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik (buruk). Apabila pekerjaan itu atau sesuatu itu baik maka ambil dan perbuatlah sesuai dengan yang sepatutnya, tetapi apabila perbuatan itu atau sesuatu itu tidak baik maka tinggalkanlah atau buanglah. Apakah pekerjaan atau sesuatu itu menyangkut diri sendiri ataupun berhubungan dengan masyarakat luas.
Pada umumnya masyarakat Melayu beragama Islam, maka ukuran baik dan buruk (tidak baik) nya segala sesuatu haruslah mengacu kepada ajaran Islam dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Seseorang tidak bisa mengatakan sesuatu itu baik atau buruk hanya berdasarkan pendapatnya saja atau hanya dilandasi oleh kepentingan pribadi. Oleh karena itu, untuk bertindak seseorang haruslah memikirkannya dengan sebaik-baiknya apakah yang dilakukannya baik atau tidak.
4. “ Dikit menjadi pembasuh banyak menjadi musuh” ( sedikit menjadi pembasuh banyak menjadi musuh).
Arti dari seloko ini adalah segala sesuatu tidak boleh berlebihan.
“Dikit menjadi pembasuh” melambangkan bahwa segala sesuatu apabila dipergunakan sewajarnya atau sesuai dengan kebutuhan akan memberikan manfaat kepada semua orang (air sedikit dapat dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia), “banyak menjadi musuh” melambangkan bahwa segala sesuatu dikerjakan atau dipergunakan secara berlebihan akan merugikan diri sendiri dan orang lain (air yang banyak /banjir dapat menjadi musuh manuasia karena tidak bisa dikendalikan).
Melalui seloko ini dapat dipetik pengajaran bahwa dalam hidup, manusia harus berbuat secara wajar dan tidak berlebihan/ sederhana. Sedehana dalam bergaul, sederhana dalam berpakaian, sederhana dalam mencari rezeki dan sebagainya. Hal ini bukannya berarti seseorang tidak boleh giat berusaha untuk mendapatkan hasil yang banyak, tetapi dalam pemanfaatan apa yang sudah diperoleh haruslah sesuai dengan kebutuhan dan selalu berhati-hati dalam bertindak ( tidak tergesa-gesa dan tidak berlebih-lebihan). Kekayaan yang banyak dapat membahagiakan seseorang/ pemiliknya dan tidak tertutup kemungkinana juga bahwa kekayaan tersebut akan mengganggu ketengan hidup pemiliknya karena dia tidak merasa puas terhadap apa yang sudah dimilikinya.
Memperhatikan beberapa seloko di atas, penyeloko melambangkan prilaku seseorang dengan lambang-lambang yang ada dalam kehidupan masyarakat seperti prilaku manusia sesama manusia, prilaku manusia terhadap alam dan prilaku manusia terhadap sang pencipta-Nya ( hablumminannas wa hablumminallah). Dengan kata lain, dalam seloko tergambar interaksi masyarakat dalam kehidupan baik hubungan masyarakat secara horizontal maupun secara vertical.
Dalam seloko tersebut, terdapat tuntunan yang harus menjadi panutan dan dilestarikan oleh masyarakat dalam kehidupanya sehari-hari. Kekompakan dan persatuan terlihat dalam kehidupan masyarakat yang cinta damai. Hidup teratur tergambar pada cara kerja yang sesuai dengan tahapan-tahapan yang harus dilaksanakan. Sederhana atau tidak berlebih-lebihan dalam bertindak dan memiliki sesuatu. Kemudian yang tidak kalah penting adalah manusia harus dapat membedakan mana yang baik dan mana yag tidak baik dalam hidup karena dalam hidup manusia selalu dihadapkan pada pilihan. Semua tindakan ini merujuk kepada seloko adat yang berbunyi “ Adat besendi syarak , syarak bersendikan kitabullah”.
Seloko ini masih relevan untuk diimplementasikan dalam kehidupan masa kini. Kalau pada masa lalu orang tua-tua atau penyeloko mengambil perlambang kepada keadaan social kemasyarakatan yang hidup agraris, maka pada masa sekarang masyarakat yang hidup pada era kemajun teknologi dan informasi namun makna yang terkandung dalam seloko tersebut masih tetap terpakai.
Kemajuan teknologi dan informasi yang telah dinikmati oleh masyarakat sampai ke pelosok desa dan kampung, tidak semuanya baik dan tidak semuanya juga tidak baik ( buruk). Tergantung kepada manusia (masyarakat) yang memanfaatkannya. Apakah dimanfaatkan untuk kebaikan atau tidak, sebagaimana terdapat dalam seloko di atas “ ambil benih, tampaklah sarap”. Umpamanya saja media internet. Internet dalam kehidupan masyarakat pada masa kini (terutama generasi muda), sangat penting dan bisa berdampak positif dan negatif. Apabila dipergunakan untuk hal-hal yang baik, maka akan memberikan manfaat umpamanya menambah ilmu pengetahuan disegala bidang, alat pemersatu untuk bersosialisasi dengan sesama dan sebagainya. Sedangkan sebaliknya bisa berdampak negatif, merusak moral, kerukunan, melahirkan masyarakat yang konsumtif (berlebih-lebihanan) dalam segala bidang yang pada akhirnya akan menggoyahkan jati diri dan kepribadian masyarakat.
Dari pembahasan di atas, dapat diketahui bahwa seloko berperan penting dalam kehidupan masyarakat Melayu Jambi. Salah satunya seloko dapat dijadikan sebagai tuntunan dalam hidup bermasyarakat.
Sumber Pustaka
1. Bakar, Djamil, dkk. 1981. Sastra Lisan Minangkabau: Pepatah, Pantun, dan Mantra, Jakarta, P3B Depdikbud.
2. Kahar, Thabran dkk. 1984. Ungkapan Tradisional Sebagai Sumber Informasi Kebudayaan Daerah Jambi, Jakarta, Depdikbud.
3. Lembaga Adat Provisi Jambi,2001. Pokok-Pokok Adat Pucuk Jambi Sembilan Lurah4. Mislan, 2012. Nazharat “ Kandungan Nilai Dalam Seloko Adat (Fungsi dan Peranannya dalam Kehidupan Masyarakat Melayu Jambi”, Jambi, Fak. Adab IAIN STS Jambi
5. Noor, Junaidi T, 2013. Seloko; Tradisi Lisan Masyarakat Melayu Jambi ( ditinjau dari sudut pandang sosbud), makalah