Sahang Kian Menggoda, Gambir yang Terlupakan

0
1119
Bertani sahang di Lingga. Harganya menjanjikan. f.internet

Masa depan Kabupaten Lingga itu di sektor pertanian. Sejarah masa lampau negeri termasyur yang menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Riau Lingga ini sudah akrab dengan dunia pertanian. Ada dua komoditi utama sektor perkebunan khas Lingga yang sudah ada sejak zaman Kerajaan Riau Lingga dan bertahan hingga saat ini. Lada yang dalam idiom lokal dikenal dengan nama sahang dan gambir. Fakta hari ini posisi keduanya berbeda kontras. Sahang menjadi primadona dan menjadi magnet. Dimana-mana diwilayah di Lingga, masyarakat ramai membudiyakan sahang. Sebaliknya, gambir kondisinya seakan terlupakan.

Booming-nya sahang tak terlepas dari harga sahang yang sangat menjanjikan. Harganya tak pernah melorot dibawah Rp100-an ribu per kilogram. Sahang menjadi angin segar perekonomian Lingga ditutupnya kran ekspor mineral mentah, baik bauksit atau pun biji besi yang selama ini jadi andalan Lingga. Sahang yang dulunya hanya bisa dijumpai di daerah seperti Penarik, Sungai Besar atau pun Berindat, kini sudah merambah ke hampir semua kecamatan di Lingga. Terbanyak tetap di Kecamatan Lingga, Lingga Utara, Lingga Timur dan Singkep.

Masyarakat Lingga seakan lupa dengan gambir. Padahal gambir saat ini kondisi harganya cukup bagus, berkisar antara Rp40-50 ribu per kilogram. Daerah-daerah penghasil gambir utama di Indonesia, seperti Limapuluhkota dan Pesisir Selatan (Sumbar) kini perekonomiannya bangkit. Petaninya bersemangat dengan bagusnya harga gambir beberapa tahun belakangan. Di Lingga, kondisi ini belum terperhatikan, meskipun potensi itu sangat menjanjikan. Komoditi ini bisa menjadi primodona kedua setelah sahang.

Sahang di Lingga

Kalau hari ini di daerah Lingga (Kepri), Belitung, Bangka terdapat kebun sahang begitu luas itu tak sesuatu yang mengherankan. Petani di Jambi, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Aceh dan pedalaman Minangkabau sudah menanam sahang sejak lama.  Awal Abad XV kebutuhan Eropa akan sahang meningkat tiga kali lipat. Hal ini menyebabkan tanaman sahang berkembang pesat di nusantara. Lada atau sahang menjadi produksi pertanian terpenting di Sumatera. Di Pulau Sumatera lada banyak dihasilkan oleh Aceh,  Indragiri, Kampar, Pariaman, Indrapura, Jambi, Palembang, Lampung dan Kepri. Abad XVII  lada merupakan satu-satunya produk paling cocok untuk Eropa. Harga lada pada tahun 1662 mencapai empat real per pikul (ANRI, Bundel Palembang No. 62.2).

Dalam catatan William Marsden dalam bukunya, History of Sumatra (Sejarah Sumatra), lada adalah objek pencarian utama Perusahaan Hindia Timur (EIC), kongsi dagang Inggris awal abad 17. Para raja dan golongan kepala suku di sejumlah daerah yang ada di Sumatera menawarkan untuk bangsa Inggris melalui EIC membuka kantor dagang diwilayahnya. Para pihak kemudian bekerjasama dalam perdagangan lada ini. Perjanjian yang dibuat EIC dengan penguasa ini tujuan lainnya adalah agar petani di Semenanjung Melayu dapat dipaksa untuk menanam lada dan produksinya sesuai dengan harapan sebelum dibawa ke Eropa. Selain itu dengan adanya perjanjian ini, EIC melakukan monopoli karena bangsa-bangsa Eropa lain banyak yang juga mencari pusat rempat-rempah ini. Bagi penguasa lokal, keuntungan dalam perjanjian ini adalah mereka  diberi perlindungan terhadap musuh mereka, dibantu  mempertahankan hak kedaulatan masing-masing dan dibayar berupa gaji dan cukai atas hasil daerah mereka.

Keberadaan sahang di Lingga juga tercatat dalam sejarah. Pada zaman Sultan Abdurrahman Muazzam Syah mengeluarkan kebijakan untuk meningkatkan taraf perekonomian masyarakat dengan menanam sejumlah tanaman, seperti kelapa, sahang, gambir selain sagu. Komoditi ini bertahan hingga saat ini, baik itu sahang, kelapa, sagu dan gambir.  Khusus sahang, dengan harganya yang cenderung bagus, masyarakat semakin banyak yang membudidayakannnya. Meskipun kalah pamor dari sahang di bangka Belitung, sahang di Lingga terlihat semakin berkembang dan menjadi harapan dan andalan perekonomian Lingga di masa depan.

 

Gambir Lingga

Masyarakat Kepri, khususnya Lingga apalagi generasi mudanya tak familiar dengan tanaman perkebunan yang satu ini, gambir. Kalau pun dikenal, itu pun gambir sebagai campuran makan sirih. Padahal sejarah perkebunan gambir di Kepri berusia panjang. Gambir pernah jadi primadona dan dibudidayakan sejak zaman Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah I berkuasa. Saat ini perkebunan gambir di Kepri hanya ada di Desa Sungai Raya, Kecamatan Singkep Barat, Lingga dan Kundur, Karimun.

Gambir adalah sejenis getah yang dikeringkan yang berasal dari ekstrak remasan daun dan ranting tumbuhan bernama sama (Uncaria gambir Roxb). Di Indonesia gambir pada umumnya digunakan pada menyirih. Kegunaan yang lebih penting adalah sebagai bahan penyamak kulit dan pewarna. Gambir juga mengandung katekin (catechin), suatu bahan alami yang bersifat antioksidan. Sekitar 80 persen produksi gambir di Indonesia berasal dari Sumatra Barat. Selain di Sumbar, gambir dikembangkan di Kepri, Riau dan Bangka Belitung.

Banyak catatan sejarah tentang gambir di Indonesia, termasuk Kepri. Perdagangan gambir direkam William Marsden dalam bukunya, Sejarah Sumatra yang dimuat dalam edisi ketiga buku tersebut pada 1811 dan diterbitkan ulang Komunitas Bambu (2013). Marsden menyebutkan, kala itu gambir merupakan komoditas dagang penting termasuk di kawasan timur Sumatera.  Gambir di Kepri ditanam saat Sultan Badrul Alamsyah I (1722-1760) berkuasa (Anastasia Wiwik Swastiwi, 2015).

Bibir gambir didatangkan Daeng Celak, Dipertuan Muda Riau II dari Sumatra . Pekerja gambir didatangkan dari Cina. Pekerja gambir ditempatkan di Senggarang. Gambir saat itu ditanam di daerah Ulu Riau, Batu Delapan, Lagoi, dan Busung. Pusat perdagangan gambir ada di lokasi yang saat ini bernama Jalan Gambir, Tanjungpinang. Gambir menjadi komoditi ekspor dari Kesultanan Riau Johor Pahang Lingga.

Pada masa Sultan Mahmud Syah III, gambir tetap menjadi komoditi perdagangan yang utama. Gambir dijual ke Pulau Jawa. Saat sultan memindahkan pusat pemerintahan ke Daik Lingga, orang-orang Cina yang memiliki kebun gambir dan lada tak ikut pindah dan tetap menetap di Pulau Bintan. Di Lingga, sultan memerintahkan untuk membuka perkebunan gambir. Saat ini gambir di Bintan sudah tak ditemukan lagi. Sebaliknya di Lingga hanya ada di satu daerah, yakni Sungai Raya.

Budidaya gambir di Sungai Raya dilakukan Mongsul Bangsal, usaha perkebunan gambir milik Aleng Loya. Usaha gambir dijalankan secara turun temurun dan ia generasi kelima. Aleng mulai menjalankan usaha sejak 1970 dan kini usaha perkebunan gambir dilanjutkan anak Aleng bernama Agus Sutarman alias Atong. Areal perkebunan semakin berkurang. Kini tinggal 50 hektar saja. Tahun 2006-2008, areal kebun mencapai 200 hektar.

Produk gambir diekspor ke Jepang via Singapura. Ini yang membedakan dengan gambir di Sumbar dan Riau yang diekspor ke India dan bukan ke Jepang. Pengolahan gambir Mong Sung Bangsal dan daerah lainnya di Kepri berbeda dengan pengolahan gambir di Sumatera Barat dan daerah lainnya. Daun gambir dipetik dicincang atau dipotong-potong sebelum direbus di dalam kancah (kuali besar). Sementara, di daerah lain, daun gambir diikat kemudian direbus. Untuk mengeluarkan getahnya, daun gambir tersebut ditekan atau di-press menggunakan dongkrak atau alat lain.

Gambir dari Lingga juga lebih disukai karena kadar katekinnya lebih tinggi ketimbang daerah lain. Gambir lebih bersih dan di Jepang digunakan untuk obat-obatan. Jintan Coorporation di Jepang juga memakai gambir dipakai dalam pembuatan permen khusus bagi perokok yang dapat menetralisir nikotin. Sekali pengiriman bisa 5-8 ton gambir. Selain Mongsul Bangsal, tak ada lagi usaha perkebunan gambir di Lingga. Tahun  2000-an warga sekitar ikut menanam gambir, tapi kemudian kebun gambir dibiarkan. Masyarakat tak sanggup membiayai biaya operasional perkebunan gambir sebelum bisa dipanen.

Luas areal perkebunan gambir semakin lama semakin menyusut. Kebun gambir banyak yang berubah menjadi kebun karet dan tanaman lainnya. Perkebunan gambir di Lingga luput dari perhatian pemerintah. Alasannya, perkebunan gambir yang ada si Sungai Raya hanya diusahakan oleh satu orang yang membudidayakan dan memasarkannya. Padahal dengan potensi lahan di Lingga yang masih luas dan harga gambir di pasaran yang bagus, gambir layak diperhatikan.

Perluasan areal tanam harus dilakukan. Alangkah hebat kalau kembali menghidupkan kembali perkebunan gambir yang pernah jaya di Lingga dan menjadi salah satu komoditi perdagangan andalan dari Kepri.  Perkebunan gambir yang sudah ada ratusan tahun ini jangan diabaikan. Kalau dibiarkan, nasib gambir di Sungai Raya, Singkep Barat akan sama dengan nasib gambir di Pulau Bintan. Gambir kehilangan jejaknya dan tinggal nama. Seperti Jalan Gambir di Tanjungpinang yang dulunya pernah menjadi pusat perdagangan gambir abad ke 19.

Potensi Transmigrasi

Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Kepri, juga menjadikan Kabupaten Lingga sebagai kawasan strategis pertanian dan perkebunan Ditarik cerita ke masa lalu, upaya menjadikan Lingga sebagai sentra pertanian di Provinsi Kepri bukan barang baru. Saat Lingga masih tergabung dalam Kabupaten Kepri, pemerintah pusat telah memiliki program membangun Lingga sebagai kawasan sentra pertanian. Upaya kongkritnya adalah adanya program transmigrasi. Dibangun empat satuan pemukiman (SP) yang menjadi cikal bakal empat desa tahun 1983 dan warga mulai menempati tahun 1985. Transmigran dari Pulau Jawa didatangkan ke Lingga.

Empat SP itu adalah Bukit Langkap, Kerandin, Bukit Harapan dan Linau. Kini desa-desa ini masuk dalam wilayah Kecamatan Lingga Timur dan Lingga Utara. Waktu 30 tahun telah berlalu, program transmigrasi di empat desa ini tak mencapai kesuksesan. Taraf kehidupan transmigrannya tak jauh berubah. Banyak transmigran yang pulang kampung dan ada juga kembali merantau ke Batam dan kota lainnya di Kepri.

Hasil pertanian empat desa transmigrasi itu hanya cukup untuk menyuplai kebutuhan masyarakat Kecamatan Lingga sekitarnya. Sementara, daerah lain di Kabupaten Lingga, seperti masyarakat Pulau Singkep sangat ketergantungan pasokan hasil pertanian dari Jambi dan Tanjungpinang.

Empat desa transmigrasi itu diharapkan menjadi fokus sentra pertanian Kabupaten Lingga. Pemkab Lingga dan Pemprov Kepri melalui Distanbun Kepri harus memiliki visi yang sama dalam membangun Lingga sebagai lumbung pangan. Tak boleh ada ego provinsi dan kabupaten. Kegagalan masa lalu seperti pencetakkan sawah di Singkep Barat, tambak udang di Kerandin, Lingga Timur yang didanai APBD Kepri harus jadi pelajaran. Pemberdayaan masyarakat jangan terjebak dengan kebijakan proyek di daerah yang banyak tak tepat sasaran dan hasilnya tak dinikmati masyarakat.

Nilai lebih desa transmigrasi adalah adanya SMK Pertanian dan Perkebunan yang dibangun melalui dana APBD Kepri tahun 2010 di Desa Bukit Langkap. Ini salah satu potensi karena nantinya bisa melahirkan generasi muda yang mempunyai bekal ilmu pertanian. Pemkab Lingga harus lebih memperhatikan kondisi SDM guru, siswa dan infrastruktur di sekolah ini. SMK ini juga harus lebih aktif mengajak pakar atau praktisi pertanian, perkebunan dan peternakan untuk bisa menularkan ilmunya kepada siswa. Diharapkan ke depannya, semakin banyak anak-anak Lingga yang tertarik sekolah dan kuliah dibidang pertanian dan peternakan. Ini dalam upaya menjadikan SDM pertanian Lingga unggul.

Wacana pemerintah pusat dan Kepri beberapa tahun lalu untuk membuat program transmigrasi di Pulau Singkep juga menarik untuk dikaji. Sejumlah wilayah di Pulau Singkep, khususnya daerah seperti Desa Marok Kecil, Resang (Singkep Selatan), Marok Tua dan desa lainnya di Singkep Barat potensial untuk dikembangkan menjadi kawasan pertanian. Jumlah penduduknya juga masih kecil. Keberadaan transmigran diyakini bisa mengembangkan daerah ini untuk pengembangan pertanian. Daerah ini juga bisa dibuka dan tak terisolir lagi. Hasil pertanian dari desa-desa ini bisa memenuhi kebutuhan pangan masyarakat Pulau Singkep. Masa depan Lingga itu ada di pertanian. Butuh kerja keras, kemauan dan tak hanya slogan.**