Pulau Penyengat Jadi Pulau Tahfiz Quran

0
1354
Masjid Sultan Riau di Pulau Penyengat yang begitu indah. (foto)wacana.co)

Pulau Penyengat ditetapkan menjadi Kawasan Cagar Budaya Nasional oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), April 2018 lalu.
Penetapan itu dituangkan dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.112/M/2018 tentang Kawasan Cagar Budaya Pulau Penyengat sebagai Kawasan Cagar Budaya Peringkat Nasional. Pulau mas kawin Sultan Mahmudsyah III kepada Engku Putri Raja Hamidah itu ditetapkan Pemprov Kepri sebagai pulau tahfiz Al Quran.

Penetapan itu dilakukan sempena HUT Provinsi Kepri ke 16 tanggal 24 September 20178 lalu. Gubernur Kepri mengatakan Pulau Penyengat merupakan pulau religi yang menyimpan sejarah kejayaan Kerajaan Riau-Lingga-Pahang, yang layak menjadi pusat menghafal Al Quran. Ia menginginkan seluruh anak-anak, remaja, dan orang tua dapat menimba ilmu pengetahuan tentang Islam di pulau itu.
“Kami mengharapkan di pulau ini akan lahir para tahfiz muda yang berbakat, memiliki pengetahuan agama yang baik dan berkualitas,” katanya.

Sejumlah aktivis mahasiswa dari organisasi yang berbasis Islam sejak beberapa tahun lalu sudah mendirikan Rumah Tahfiz di Pulau Penyengat. Mereka menjadi relawan yang mengajar Al Quran kepada anak-anak dan remaja. Ia berharap, kelak Pulau Penyengat menjadi terkemuka karena melahirkan banyak tahfiz. Anak-anak dan remaja dari daerah lain dapat menimbah ilmu di pulau itu.

Pulau Penyengat memang identik dengan Islam. Pulau mungil yang luasnya kurang lebih 3,5 kilometer ini mempunyai pemandangan yang indah dan berbukit-bukti. Di Pulau Penyengat ini dapat dijumpai bangunan-bangunan bersejarah, peninggalan raja-raja Melayu. Menurut cerita rakyat setempat nama penyengat diberikan oleh para pelaut yang singgah di pulau tersebut untuk mengambil air bersih. Para pelaut itu diserang oleh sejenis lebah hingga jatuh korban, sejak saat itu para pelaut menyebut pulau mungil itu dengan sebutan Pulau Penyengat. Ketika pusat pemerintahan Kerajaan Riau berdiri di pulau tersebut, nama pulau itupun dikenal dengan nama Pulau Penyengat Indra Sakti.

Karena letaknya yang strategis untuk pertahanan pada abad lalu Pulau Penyengat berkali-kali menjadi medan pertempuran. Tercatat antara lain, perang Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah dengan Raja Kecil dari Siak. Demikian juga ketika terjadi perang antara Riau dengan Belanda tahun 1782-1784. Sisa-sisa pertempuran berupa benteng pertahanan masih dapat disaksikan sampai saat ini. Tahun 1803 dari pusat pertahanan Pulau Penyengat dibina menjadi sebuah negeri yang berkedudukan sebagai Yang Dipertuan Muda Kerajaan Riau Lingga, sedang Sultan berkedudukan di Dalik Lingga. Baru tahun 1900 Sultan pindah ke Pulau Penyengat.

Sejak saat Pulau Penyengat berperan sebagai pusat pemerintahan, pusat adat istiadat, pusat agama Islam dan pusat kebudayaan Melayu. Peranan tersebut berakhir tatkala Sultan Abdurrachman Muazamsyah meninggalkan pulau mengungsi ke Singapura karena tidak bersedia menandatangani kontrak dengan Belanda yang dianggap merugikan. Menghadapi ancama Belanda yang akan merampas segala harta benda termasuk istana, Sultan memerintahkan kepada rakyat yang tinggal di Pulau Penyengat agar menghancurkan apa saja yang kiranya akan dirampas oleh Belanda. Sejak itu beberapa bangunan pun menjadi puing.

Menelusuri pulau penyengat masih dapat disaksikan antara lain sebuah mesjid yang dirawat dengan baik, empat kompleks makam raja, dua bekas istana, sumur, taman, dan beberapa gedung lainnya. Masjid yang disebut Mesjid Raya layak dibanggakan sebagai cermin keagungan agama Islam. Kubah, menara, dan mimbar semuanya serba indah. Mesjid ini didirikan tahun 1249 Hijriah bertepatan dengan tahun 1832 Masehi, atas prakarsa Raja Abdurrachman Yang Dipertuan Muda VII yang juga disebut Marham Kampung Bulang. Di Pulau Penyengat ini pula lahir dan meninggal pujangga besar Raja Ali Haji, cendekiawan Islam Melayu ternama dengan warisan Gurindam 12 yang begitu tersohor. **