Pluralitas Melayu Dalam Sejarah

0
9492

Penduduk Melayu di Indonesia kini hanya dipandang sebagai bagian kecil dalam konsep nusantara. Padahal, di masa jaya kerajaan Sriwijaya dengan wilayah kekuasaan yang begitu luas, sebenarnya konsep ke-Melayuan itu sempat menaungi sebagian besar wilayah Indonesia di masa silam. Namun, jejak-rekam keperkasaan Melayu (Melayu Nusantara) kini berbekas dalam wujud wilayah geografis yang sempit dengan indikasi-indikasi masih adanya peninggalan adat-tradisi dan nilai-nilai budaya.

Menoleh ke latar belakang sejarah yang panjang, orang-orang Melayu Nusantara yang menghuni sebagian wilayah teritorial di Indonesia berasal dari ras Weddoide yang kini direpresentasikan melalui suku-suku asli yang ada di Riau, Palembang dan Jambi, seperti suku Sakai, Kubu dan Orang Hutan. Setelah itu, antara tahun 2500-1500 SM datanglah golongan pertama ras Melayu dari bangsa Proto-Melayu yang menyeberang dari benua Asia ke Semenanjung Tanah Melayu terus ke bagian Barat Nusantara termasuk Sumatera. Di Riau, keturunan Proto-Melayu ini dapat dijumpai melalui suku asli Talang Mamak dan Suku Laut.

Gelombang kedua kedatangan ras rumpun Melayu ini sekitar tahun 300 SM yang disebut Deutro-Melayu. Kedatangan bangsa Deutro-Melayu ini memaksa bangsa Proto Melayu menyingkir sehingga ada yang menyingkir ke pedalaman dan ada pula yang berbaur dengan pendatang. Bangsa Deutro Melayu inilah yang menjadi cikal-bakal rumpun Melayu yang ada di sebagian wilayah nusantara.

Sementara Prof. S. Husin Ali, Guru Besar dari Universiti Malaya menngatakan bahwa pendatang pertama di Semenanjung diperkirakan berasal dari kelompok Mesolitik dan Neolitik (sering disebut Proto-Melayu) yang berasal dari daerah Hoabinh di Indocina. Perpindahan ke arah selatan itu dimulai kira-kira 3000-5000 tahun yang lalu dan kebudayaan mereka sering disebut kebudayaan Hoabinhiano. Kelompok orang-orang ini terdiri dari orang-orang bertubuh kecil dan kuat, berkulit hitam dan berambut lebat. Mereka menyebar ke arah selatan Semenanjung dan beberapa di antara mereka menyeberang ke Pulau Sumatera, sedangkan lainnya terus ke Selatan sampai ke Kepulauan Melanesia di Lautan Pasifik.

Antara abad VII-XIII pada masa jaya kerajaan Sriwijaya yang pada mulanya berpusat di Muaratakus (Kampar, Riau) kemudian berpindah ke Palembang (Sumsel), wilayah kekuasaannya menyebar di seluruh Sumatera, Selat Melaka dan Semenajung Tanah Melayu. Di ujung kekuasaan Sriwijaya yang kian melemah, salah seorang Dinasti Syailendra bernama Sang Sapurba meninggalkan kerajaan Sriwijaya untuk melakukan perjalanan sambil membangun pengaruh di kerajaan-kerajaan yang sudah ada. Sang Sapurba sampai di Kerajaan Tanjungpura (Kalimantan), Bintan (Riau Kepulauan), Kuantan (Riau Daratan) dan membina hubungan baik dengan mengawinkan putra-putranya dengan putri kerajaan yang dikunjunginya. Selanjutnya, Sang Sapurba mulai membangun Dinasti Melayu melalui kerajaan-kerajaan yang ada seperti Kerajaan Bintan, Tumasik (Singapura), Melaka, Kandis, Kuantan, Gasib, Rokan, Segati, Pekantua dan Kampar.

Di Kerajaan Bintan, seorang anak Sang Sapurba yang bernama Sang Nila Utama dikawinkan dengan putri Kerajaan Bintan yang kemudian dinobatkan menjadi raja. Sang Nila Utama pula yang membangun kerajaan Tumasik. Kerajaan Tumasik dengan raja terakhir, Prameswara saat diserang Kerajaan Majapahit, selanjutnya mendirikan Kerajaan Melaka. Kerajaan Melaka akhirnya ditaklukkan Portugis. Muncullah kemudian Kemaharajaan Melayu dibawah kepemimpinan Sultan Mahmud Syah I yang berkedudukan di Bintan kembali merebut bekas-bekas taklukan Kerajaan Melaka.

Rentetan sejarah masa silam itu, memberikan gambaran bagaimana perkembangan orang Melayu di kawasan Nusantara yang dominan berada di kawasan Semenanjung Tanah Melayu dan pesisir Timur Sumatera. Proses migrasi dari para pendatang yang ada di sekitar kawasan Melayu Riau baik di masa bermunculannya kerajaan-kerajaan Melayu maupun setelah masa kemerdekaan, makin terbuka bagi para pendatang. Proses pembauran atau asimilasi tak terhindarkan sebagai proses alamiah terbentuknya sebuah Orang Melayu Baru. Proses yang sama berlangsung pula di kawasan Melayu terutama di Sumatera dan Kalimantan seperti Palembang, Deli (Medan), Jambi, dan Pontianak. Orang Melayu Baru inilah yang membentuk pluralitas (kemajemukan) Melayu sehingga orisinalitas Melayu sangat sulit ditemukan sejak dulu.

Bila pemahaman ‘putra daerah’ Melayu dimaksudkan asal-usul orang Melayu yang pertama mendiami bumi Nusantara ini, tentulah dari ras Weddoide, Proto-Melayu dan Deutro Melayu yang kini tersisa sebagai suku-suku asli. Tapi pada generasi Melayu Baru, amat sulit mencari orisinalitas Melayu karena pengaruh perbancuhan ras dan suku yang datang silih-berganti di kawasan-kawasan perbatasan.

Bila daerah Melayu-Riau dijadikan studi kasus orang tempatan (penduduk yang menetap lebih awal di suatu kawasan) dengan orang-orang pendatang, maka sebenarnya orang-orang Melayu Riau tersebar dan dipengaruhi sekurang-kurangnya 5 sub-kultur dari hasil asimilasi budaya tersebut. Kelima sub-kultur yang berbancuh dengan kultur Melayu itu adalah: Pengaruh Bugis dengan wilayah sebaran di Riau Kepulauan dan Indragiri Hilir, Pengaruh Minangkabau (wilayah Kampar dan Taluk Kuantan, Kuantan-Singingi), Pengaruh Banjar (wilayah Indragiri Hilir), Pengaruh Mandahiling (wilayah Pasir Pangarayan, Rokan Hulu), Pengaruh Arab (wilayah Siak Sriindrapura, Pelalawan, Indragiri Hulu).

Dilema lain berkaitan dengan penggunaan adat-istiadat atau nilai budaya Melayu yang juga cukup majemuk. Tradisi yang berlaku dalam kehidupan masyarakat Melayu di daerah sebaran dan pengaruh 5 sub-kultur yang ada ternyata sangat berbeda. Sebutlah tradisi nikah-kawin, kelahiran anak, pemberian gelar adat atau pengangkatan pemuka adat ternyata sangat bervariasi di masing-masing daerah di 5 sub-kultur tadi.

Barangkali jadi menarik pernyataan Prof. Tan Sri Ismail Hussein, budayawan Malaysia yang terkenal dengan konsepnya ‘memperbesar bilik-bilik kebudayaan Melayu’. Dalam pandangannya, rumpun Melayu Nusantara harus dipandang sebagai kesatuan budaya Melayu makro. Dalam kaitan ini, orang Minangkabau, Jawa, Sunda, Bugis, Bali di Indonesia dapat dipandang sebagai rumpun Melayu dalam arti yang luas.

Barangkali, konsep pluralitas Melayu menjadi penting untuk memperkecil penyempitan wawasan kebangsaan menurut ras atau suku secara mikro yang selalu ditumpangkan atas nama ‘putra daerah’. Bisa jadi, arogansi ras yang pernah diagung-agungkan Hitler dengan bangsa Aria di masa lalu justru makin memecah belah rasa kesatuan dan persatuan antar bangsa-bangsa dunia. Lebih-lebih lagi, tak ada sebenarnya dominasi suatu ras atas ras lain karena sesungguhnya semua bangsa-bangsa dunia pada mulanya adalah satu.