Perubahan Sosial Masyarakat Melayu Kepulauan Riau Terhadap Keseniannya

0
25312

Oleh:

Anastasia Wiwik Swastiwi (Peneliti Madya di BPNB Kepri)

Abstract: Every society must changing, likewise society Riau islands. A discussion of social change in the Riau Islands begins by observing that changes happen since when tracing the cause of change of society and include the arts. Penetration of the government (state) in Riau Islands through a variety of policies such as economic, political and social changes led to the culture of the society that ultimately form one regenerates the arts i.e. Joget Dangkung in attendance return in accordance with the demands of the community at large and the government (state) .Economic and political policies of the government (state) that carry an impact on changes to the community can be divided into several periods: the period from 1963 to the late 1980s, after the 1980s and after 1998. While government policy (country)-related culture especially in the Riau Islands is policy in 1999 when the community as a performer and owner of art both in individual and together have a responsibility towards the development of the arts of his country.

 

Keyword : Social change, Riau Islands, economic and political policies, Joget Dangkung

Pendahuluan

Masyarakat Melayu Kepulauan Riau mengalami proses perubahan sosial dari semula yang berorientasi pada kelautan tetapi seiring dengan adanya beberapa kebijakan ekonomi oleh pemerintah pusat dan daerah, orientasi mereka tidak lagi berdasarkan pada kelautan saja. Kesenian mereka yang teridentikkan dengan Joget Dangkung pun mengalami perubahan, Joget Dangkung tidak lagi sebagai hiburan tetapi sebagai salah satu sarana untuk kepentingan ekonomis mereka. Perubahan fungsi kesenian Joget Dangkung tersebut juga didukung oleh berkembangnya teknologi dan inovasi-inovasi baru di bidang musik seperti masuknya alat musik keyboard dan adanya Compact Disk (CD), yang memang lebih “segar” dan “murah”.

Masyarakat Kepulauan Riau

Secara umum, perekonomian Kepulauan Riau didominasi oleh etnis Cina. Sektor perdagangan yang merupakan sektor yang terpenting di daerah ini telah secara tradisional menjadi lapangan pekerjaan yang didominasi oleh kelompok etnis Cina. Dominannya kelompok etnis Cina dalam bidang perdagangan ini berakar pada sejarah masa lalu. Dalam fase perkembangan Singapura di masa lampau telah tercipta pembagian pekerjaan atau kerja sama antara pengusaha Eropa, terutama Inggris, dan pedagang Cina setempat. Pedagang Cina menjadi pedagang perantara bagi penyaluran dari dan ke daerah sekeliling yang mencakup Kepulauan Riau. 1

Indikasi penting bahwa dominasi etnis Cina dalam bidang ekonomi perdagangan telah sedemikian kuatnya di daerah ini berkaitan dengan bisa diberlakukannya Peraturan Presiden No. 10 Tahun 1959.2 Apabila dilaksanakan, maka akibatnya ekonomi di daerah ini akan mati. Pedagang Cina menguasai bukan saja perdagangan eceran di desa-desa dalam wilayah Kepulauan Riau, tetapi juga perdagangan pada tingkat kecamatan, kabupaten, dan bahkan jaringan ke Singapura. Dengan demikian pemerintah (negara) tidak mampu menembus struktur sosial ekonomi yang tidak seimbang di daerah ini, sehingga penguasaan sumber-sumber daya ekonomi tetap didominasi oleh kelompok tertentu dan cenderung bersifat akumulatif.

Namun demikian, meskipun pedagang Cina juga menguasai perdagangan di perkampungan, perkampungan di Kepulauan Riau didominasi oleh penduduk tempatan (masyarakat Melayu). Ini merupakan polarisasi yang lebih jauh dari dualitas kampung dan kota. Kampung-kampung dihuni oleh penduduk asli Kepulauan Riau, sedangkan kota-kota dihuni oleh bukan penduduk asli, meliputi ‘orang dari luar’ maupun ‘bangsa lain’. Namun, dualitas ini secara politis tidak simetris. Sebuah kota adalah pusat pemerintahan kabupaten dan kecamatan,sedangkan kampung bahkan tidak menjadi unit pemerintahan bagi dirinya sendiri, namun semata-mata hanya bagian dari kepenghuluan, yang juga menjadi bagian dari kecamatan.

Pola berikut menunjukkan bahwa penduduk asli di kampung-kampung diperintah oleh orang kota yang bukan penduduk asli. Kesadaran mengenai dualitas ini ditunjukkan dengan jelas melalui bahasa. Di kota, orang berbicara dalam bahasa Indonesia, bahasa nasional Indonesia; di kampung-kampung orang berbicara dalam dialek setempat yang tidak dibakukan dan tidak diakui resmi.

Semua kantor-kantor pemerintah berada di kota-kota, aktivitas perdagangan juga cenderung terpusat di sini. Dampak dari peluang kerja yang dihasilkannya, kepadatan penduduk di kota-kota cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan di kampung-kampung. Jika diamati, Kecamatan Bintan Selatan, yang pusat pemerintahannya berada di Tanjungpinang, dapat dilihat perbedaan tingkat kepadatan penduduknya, semakin dekat sebuah kampung ke Tanjungpinang, maka semakin padat penduduknya, dan yang semakin jauh akan semakin jarang penduduknya. Tanjungpinang sendiri sangat padat penduduknya,sehingga terbagi dalam beberapa kepenghuluan, dan dalam begitu banyak wilayah perkampungan.

Dilihat dari empat kepenghuluan, jelas semakin dekat ke Tanjungpinang, penduduknya semakin padat, dan semakin jauh dari Tanjungpinang, penduduknya semakin jarang. Kepenghuluan Penyengat adalah yang terpadat penduduknya, karena cukup dekat dari Tanjungpinang, merupakan daerah pinggiran kota. Berikutnya adalah Kepenghuluan Bintan yang penduduknya cukup padat juga, meskipun jauh dari Tanjungpinang, namun ada jalan darat yang menghubungkannya dengan Tanjungpinang. Kepenghuluan Pangkil, lebih jarang penduduknya, karena terpisah dari Tanjungpinang, dua jam perjalanan dengan motor -boat yang bagus, atau lebih lama lagi jika memakai perahu layar atau sampan. Kepenghuluan Karas adalah yang paling jarang penduduknya, karena berada di perbatasan wilayah Kecamatan Bintan Selatan.

Pola pemukiman seperti tersebut di atas, terkait dengan perkembangan kota Tanjungpinang di Kepuluan Riau. Dalam perkembangan suatu kota ada beberapa faktor pendukung yang mempengaruhi, hal ini tidak terlepas dari situasi dan kondisi tempat tersebut yang secara langsung akan mempengaruhi pertumbuhan kota. Karena ini terlihat dalam suatu perencanaan kota terbentuk dari faktor keadaan geografi kota, dalam Branch, C. MelVille (1945 : 50-52). Perkembangan fisik kota tersebut sebagai tempat pertukaran barang antara daerah pedalaman dan daerah pinggir pantai atau sebagai tempat bongkar muat barang (kota pelabuhan), dan juga di dalam dan juga sebagai kota yang secara fisik berkembang secara linear menerus, mengikuti garis pantai.

 

Proses perkembangan kota, kota mengalami ciri kebudayaan perkotaan yang menurut Harris dan Edward L. Ullman (1945) dalam Budianto (2001) melihat kota sebagai pusat pemukiman dan pemanfaatan sumber daya bumi yang ada oleh manusia, manusia ini menempati dan mengeksploitasi sumber daya sehingga menimbulkan pertumbuhan kota dan berbagai macam masalah sosial, sehingga terdapat interaksi yang sangat kompleks dalam sebuah kota, baik itu organisasi, kebudayaan, pusat pelayaran (perdagangan), penduduk, masalah sosial dan lain-lain.

 

Speare (1975: 67) mencatat, berdasarkan sensus tahun 1971, tingkat migrasi sepanjang masa di Provinsi Riau hanya 9,9%, jauh lebih rendah daripada tingkat migrasi di provinsi lain di Sumatera seperti Lampung (35%) dan Jambi (12,9). Rendahnya tingkat migrasi ini barangkali dapat dikatakan sebagai indikasi bahwa orang Indonesia yang ada di provinsi-provinsi lain memandang Provinsi Riau sebagai pinggiran dan tidak menarik sebagai tujuan migrasi. Walaupun tingkat migrasinya rendah, namun in-migrasi terus berlanjut dari berbagai tempat. Informan-informan saya membedakan ‘penduduk asli’ dengan ‘orang luar’.

Mereka biasanya menempatkan diri mereka dalam kategori pertama, walaupun seperti yang akan kita lihat pada bab berikutnya, siapa yang asli atau yang dari luar bukanlah isu yang dapat dengan jelas terpilahkan. Walaupun, untuk pendatang generasi pertama, perbedaan ini masih mungkin dipakai, yaitu antara yang lahir di Riau dengan yang tidak. Kekaburannya baru dimulai pada generasi kedua dan seterusnya.

Auda Murad (1977: 18) menunjukkan tiga jenis pendatang di Provinsi Riau, laki-laki Minangkabau yang ‘merantau’, ‘pergi mencari penghidupan’,3 transmigran dari Jawa Timur,4 dan pendatang musiman dari Sulawesi.

  • meninggalkan kampung (untuk merantau)
  • sukarela
  • untuk sementara atau jangka panjang
  • dengan tujuan mencari penghidupan, mencari pengetahuan atau pengalaman
  • biasanya dengan maksud untuk pulang…
  • ‘Merantau’ merupakan lembaga sosial yang berpola kultural
  • Transmigrasi sesungguhnya sudah dimulai sejak zaman pemerintah kolonial Belanda, pada awal abad ke-20, yang dikenal sebagai kebijakan ‘kolonisasi’, dengan tujuan untuk menciptakan koloni ‘Jawa’ di pulau-pulau lain. Sepertinya, yang mendorong kebijakan ini adalah sensus Belanda pada tahun 1905 yang menunjukkan jumlah penduduk sekitar 30 juta jiwa di Jawa dan Madura, sedangkan di pualu-pulau lain total hanya berjumlah 7,5 juta jiwa (lihat Hardjono 1977: 16). Kedatangan Jepang pada…1942 mengakhiri semua proyek kolonisasi…Tahun-tahun berikutnya sampai akhir Perang Dunia II, ketika Indonesia masih terlibat dalam perang kemerdekaan melawan Belanda, berbagai rencana disusun untuk memindahkan orang-orang dari Jawa dan Bali ke daerah-daerah lain. (Ibid.: 21-22).

Sejak itu, kebijakan transmigrasi dilaksanakan meluas. Menurut Hardjono (ibid.: 63), terdapat tiga proyek transmigrasi di Provinsi Riau, semuanya berlokasi di bagian Sumatera, dua di kawasan Inderagiri (juga lihat Meyer dan MacAndrews 1978: 97-99 mengenai proyek khusus ini).

Dari penelitian di lapangan, migrasi dari Sulawesi bersifat musiman. Dengan kapal layar, anak buah kapal yang semua laki-laki, berlayar ke barat dari Sulawesi pada musim angin timur laut, berlabuh dan berdagang di berbagai tempat singgah sepanjang jalur pelayaran mereka, termasuk Kampung Bugis yang berhadapan dengan Tanjungpinang. Mereka juga berlayar ke Singapura dan Semenanjung Malaya. Di Singapura, mereka biasanya berlabuh di Barter Trading Station di Pasir Panjang. Mereka tinggal untuk beberapa bulan, bekerja sebagai buruh kontrak, seperti dalam proyek-proyek konstruksi, sampai angin berubah arah ke arah barat daya dan mereka dapat kembali berlayar ke timur. Mereka yang tinggal menetap di bagian barat kepulauan Melayu-Indoensia cenderung menikah dengan perempuan setempat.

Pendatang dari Sulawesi lebih dari sekedar pendatang musiman. Di Kecamatan Bintan Selatan misalnya, terdapat Kampung Bugis yang terletak di dekat Tanjungpinang, yang menjadi tempat tinggal para pendatang dari daerah asal yang sama.

Ciri demografi Kepulauan Riau juga khas. Persebaran penduduk di wilayah ini tidak merata. Sebagian besar hanya bermukim di pinggiran pantai serta di pusat-pusat kekuasaan pemerintah, pada pulau-pulau tertentu. Menurut Sensus Penduduk 1980 (Seri: L No. 2), Kabupaten Kepulauan Riau berpenduduk 422.712 jiwa dan Provinsi Kepulauan Riau berpenduduk 2.168.535 jiwa dengan luas wilayah 94.562 km². Tanjungpinang adalah satu-satunya yang berada di Kepulauan Riau. Dan menjadi pusat di tingkat lokal bagi orang-orang yang tinggal di wilayah ini.

Dua puluh tahun kemudian, berdasarkan data tahun 20006 jumlah penduduk mencapai 798.000 jiwa, dimana 58,73 persen bermukim di perkotaan dan selebihnya tinggal di pedesaan. Sebanyak 72,9 persen dari penduduk Kepulauan Riau masuk dalam usia kerja dengan tingkat pendidikan yang relatif baik dengan komposisi 79 persen berijazah sekolah menengah. Sementara lapangan kerja terbuka luas, khususnya di sektor pariwisata, industri, pengangkutan, pertanian, dan jasa. Apabila diklasifikasikan menurut suku bangsa (etnis) di Kepulauan Riau, pada tahun 2000 terdapat orang Melayu sebanyak 374,436 (37 %), orang Jawa sebanyak 221, 756 (22%), orang Minang 92,245 (9%) dan lain-lainnya sebanyak 311,254 (31%).7 Sepuluh tahun kemudian, tahun 2010 jumlah penduduk Kepulauan Riau mencapai 1.392.918 jiwa, sekitar 50% berdiam di Kota Batam.

Penyebaran penduduk di Kepulauan Riau belum merata, karena masih terpusat di Kota Batam. Penduduk yang tinggal di Batam sebanyak 56,34 persen, sementara sisanya yang masing-masing kurang dari 13 persen tersebar di kabupaten/kota lainnya di Kepulauan Riau. Sebagai provinsi baru, berbagai permasalahan telah muncul yaitu permasalahan ketimpangan baik ketimpangan demografi, ketimpangan ekonomi dan ketimpangan sosial. Kota Batam sebagai maskot sekaligus juga magnet Kepulauan Riau, mempunyai persoalan jumlah penduduk yang cukup besar yang indikasinya dapat dilihat dari banyaknya rumah bermasalah, tingkat kriminalitas, tingkat pengangguran dan tingkat kesejahteraan sosial yang timpang.

Setelah kemerdekaan Indonesia tahun 1945, Kepulauan Riau sebagai bahagian dari wilayah Indonesia merupakan daerah yang unik dan istimewa. Terutama sekali dalam bidang ekonomi. Kepulauan Riau pada saat itu masih menggunakan mata uang asing ringgit dan dollar berdasarkan peraturan pemerintah yang bernama PP. No. 44 Tahun 1952 tentang penggunaan mata uang asing. Kebijakan ekonomi pemerintah itu membawa dampak kemakmuran bagi masyarakat Kepulauan Riau hingga dikeluarkan peraturan pemerintah pada tanggal 15 Oktober 1963 tentang penggunaan mata uang Rupiah Kepulauan Riau.

Tahun 1963, sebagaimana telah disebutkan di atas, merupakan tahun berakhirnya zaman dollar. Dollar sebagai alat tukar yang nilainya lebih tinggi dibandingkan rupiah tidak diberlakukan lagi. Dan, sebagai gantinya adalah rupiah khusus yang hanya berlaku di daerah Kepulauan Riau. Namun rupiah ini juga tidak bertahan lama karena satu tahun kemudian, tepatnya tahun 1964, Presiden menetapkan melalui ketetapan No. 3 tahun 1964, rupiah Kepulauan Riau diganti dengan rupiah Indonesia sebagaimana daerah lainnya di Indonesia. Waktu itu, kurs Rupiah Kepulauan Riau untuk Rupiah Indonesia adalah KR.RP 1,00 sama dengan Rp. 170,00.

Pulihnya perekonomian Tanjungpinang membuat dirinya bagai gula. Banyak penduduk dari daerah sekitarnya berdatangan untuk mengadu nasib dengan harapan dapat hidup lebih baik. Mereka tidak hanya dari wilayah Kabupaten Kepulauan Riau saja tetapi juga dari daerah lainnya seperti Sumatera Barat, Sumatera Utara dan sebagainya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika penduduknya mengalami pertambahan yang cukup pesat. Dimulai tahun 1980-an terjadi perubahan dan perkembangan drastis dalam tingkat penetrasi negara di Kepulauan Riau. Hal itu ditandai oleh indikasi-indikasi sebagai berikut. Pertama, pembangunan daerah industri Batam dan pengembangan daerah Kepulauan Riau dalam kerangka Sijori. Sijori merupakan one investmen region ekonomi global dan jaringan MNC (Multi National Corporation).10 Ini berarti bahwa secara sadar ekonomi kawasan Kepulauan Riau diintegrasikan ke ekonomi global dan kapitalis internasional. Proses inkorporasi daerah ini ke dalam sistem tersebut telah membawa akibat-akibat serius bagi masyarakat dan daerah ini. Sebab KepulauanRiau bukan sekedar unit ekonomi, melainkan juga unit administratif, politik, kultural dan merupakan bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Aliansi yang kompleks antara pengusaha nasional, MNC (Multi National Corporation) dan negara telah terjadi dan hal tersebut lebih banyak merugikan masyarakat.

Proses penetrasi negara di Riau Kepulauan mencerminkan proses masuknya kawasan ini ke dalam sistem kapitalis dunia. Sebagaimana dikemukakan oleh Wallerstein, 11 pemilik modal (negara sentral) memerlukan daerah ekonomi baru untuk memindahkan modalnya dari tempat yang sudah tidak lagi efisien ke tempat baru yang sedang tumbuh, karena ekonomi di negara sentral yang sebelumnya merupakan ekonomi unggul, telah mengalami penurunan atau bahkan kehilangan keuntungan biaya komparatif yang pernah dimiliki. Dalam hal ini menurut Wallerstein diperlukan tempat-tempat baru yang dapat menghasilkan laba optimum, karena laba yang dapat dihasilkan di negara sentral semakin kecil sebagai akibat peningkatan upah yang terus menerus. Tempat-tempat baru ini disebut Wallerstein sebagai negara semi pinggiran.12

Periode Sesudah Tahun 1980-an

Bulan Agustus 1990, Indonesia dan Singapura menandatangani perjanjian untuk membangun bersama Kepulaauan Riau. Untuk kepentingan pembangunan itu, pemerintah telah membebaskan tanah masyarakat di Pulau Bintan Kepulauan Riau melalui ganti rugi dan diserahkan kepada pihak swasta bagi lokasi pembangunan proyek-proyek yaitu untuk daerah tangkap air (catchment area) seluas 40.000 ha, kawasan wisata terpadu 19.000 ha dimana 10.000 merupakan Resort Wisata dan 9.000 hs daerah penyangga. Juga dibebaskan untuk kawasan industri tanah masyarakat seluas 6.000 hs, kawasan agro wisata 7.000 ha. Dengan demikian luas tanah yang dibebaskan adalah 72.000 ha atau 60% dari luas Pulau Bintan itu sendiri. Di samping pembebasan tanah, juga terpaksa memindahkan penduduk dari pemukimannya sebanyak 3,696 Kepala Keluarga dimana sebanyak 1.747 Kepala Keluarga atau 7.932 jiwa diantaranya bermukim selama ini pada area yang direncanakan untuk kawasan wisata dan industri tersebut.

Sejak itu, di Bintan Utara, sebagian kawasannya dijadikan kawasan pariwisata. Oleh karena itu, disana selain dibangun hotel-hotel bertaraf internasional, juga pelabuhan internasional yang diberi nama Bentan Telani. Sebagaimana pelabuhan Sri Bintan, pelabuhan disana juga didampingi oleh pelabuhan domestik untuk menghubungkan antara Lagoi dan Batam.

Sarana atau prasarana transportasi yang terdapat di Kepulauan Riau ini, baik secara langsung maupun tidak langsung, ikut berperan dalam perekonomian masyarakat Kepulauan Riau, karena kapal-kapal yang berlabuh tidak hanya pendudukan Jepang berada di bawah penguasa perang (Angkatan Laut) Jepang di Syonanto (Singapura) pada masa awal kemerdekaan tergabung dalam Bijeenkomst Voor Federal Overleg (BFO) ciptaan Belanda, dan setelah pengakuan kedaulatan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia tanggal 18 Maret 1950. Akan tetapi pengaruh negara tetangga – Singapura dan Malaysia-dalam bidang ekonomi dan mass media tetap kuat, dan sebaliknya pengaruh dan penetrasi negara nasional tetap lemah sampai dengan tahun 1980-an. Setelah tahun 1980-an, terutama sekali tahun 1990 kawasan Kepulauan Riau mengalami anti klimaks dari pengalaman sejarah dan masa lalunya.

menurunkan dan menaikkan penumpang tetapi juga bongkar dan muat barang dagangan. Untuk itu, tidak mengherankan jika sumbangan sektor perdagangan (23,45 %) terhadap pendapatan daerah lebih besar dibandingkan sektor lainnya seperti pertanian yang 17,45 % dan pertambangan (21,72%).14 Seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat, semakin banyak orang Melayu yang meninggalkan profesinya sebagai petani dan nelayan.15 Oleh karena pada dasarnya kegiatan pertanian relatif tidak bisa diandalkan karena kondisi tanah yang kurang subur terutama untuk tanaman padi. Kalaupun ada penduduk yang bermata pencaharian sebagai petani, pada umumnya tanaman yang dikembangkan adalah berbagai jenis sayuran dan buah-buahan, bayam, ubi, bawang merah, pepaya, nenas, pisang, nangka, kelapa, dan sebagainya. Pada umumnya tanaman itu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan sebagian dijual.

Sementara itu, banyaknya kaum pendatang di Kepulauan Riau tersebut menyebabkan warna budaya asli sulit ditemukan terutama pada tata cara upacara adat. Sebagai contoh yaitu pada upacara perkawinan. Pada umumnya tata cara perkawinan Melayu sudah tidak lengkap lagi. Pakaian yang dikenakan pun pada umumnya semakin bervariasi. Bisa terjadi dalam suatu pesta perkawinan, pengantinnya berganti berganti pakaian adat sebanyak 4 kali. Pakaian adat tersebut merupakan pakaian adat dari luar daerah seperti pakaian adat Jawa, Minang, dan lain sebagainya. Menurut anggapan mereka, semakin banyak berganti pakaian adat, maka prestasi keluarga yang mempunyai hajat akan meningkat.

Periode Sesudah Tahun 1998

Menginjak tahun 1997, Indonesia dilanda krisis moneter yang diikuti dengan memanasnya suhu politik dengan tumbangnya rezim Soeharto. Pada masa ini harga barang-barang kebutuhan pokok mengalami kenaikan harga 3 kali lipat. Oleh karena di Kepulauan Riau hampir semua harga barang bergantung pada naik turunnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Singapura. Kepulauan Riau yang sebelumnya dikenal sebagai salah satu pusat barang-barang elektronik, tidak lagi dijumpai. Harga-harga elektronik pun mengalami kenaikan hingga 3 kali lipat.

Ketika situasi perekonomian Indonesia mulai membaik (pada pertengahan tahun 1998-1999), harga barang-barang mulai mengalami penurunan. Sektor industri mulai bangkit lagi. Namun demikian, dapat dikatakan bahwa biaya hidup di Kepulauan Riau tetap tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya.

Tinggi biaya hidup di Kepulauan Riau disebabkan oleh pengaruh hubungan perdagangan dengan Singapura. Hampir semua barang dihargai dengan dollar Singapura. Oleh karena itu, para pedagang di kota Tanjungpinang Kepulauan Riau, khususnya pedagang Cinanya, tidak lepas dari alat hitung (kalkulator) dan senantiasa mencermati gerak dollar. Mahalnya biaya hidup tampaknya tidak hanya disebabkan oleh hubungan perdagangan dengan Singapura semata, tetapi juga kebutuhan pokok seperti beras, sayur, dan buah-buahan didatangkan dari daerah sekitarnya yang transportasi relatif mahal (transportasi laut lebih mahal dibandingkan dengan darat).

Berdasarkan uraian di atas, perubahan ekonomi masyarakat Kepulauan Riau sangat dipengaruhi oleh peranan pemerintah dalam pembangunan ekonomi. Kebijakan ekonomi di Kepulauan Riau ini apabila dikategorikan berdasarkan Chodak (2003)16 Pemerintah sangat terlibat secara langsung dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan ekonomi.

Bila kita ingin melihat peranan pemerintah dalam memempengaruhi jenis perubahan tertentu, segera akan terbukti bahwa peranannya berbeda-beda. Contohnya, bila kita mengarahkan perhatian pada tingkat kelembagaan, dan melihat peranan pemerintah dalam pembangunan ekonomi, Chodak menunjukkan bahwa kita dapat mengenal setidaknya tiga kebijakan politik berbeda yang menentukan pembangunan ekonomi itu.

 

  1. Pemerintah mungkin berperan menciptakan kondisi yang mempermudah pembangunan ekonomi tetapi tidak berperan aktif di dalamnya. Kebijakan ini dapat berarti seperti memberikan jaminan kestabilan sosial dan mendukung berbagai jenis pembangunan perdagangan dan industri yang dilakukan pengusaha swasta.

 

  1. Pemerintah mungkin secara aktif mengatur porses pembangunan hingga taraf tertentu. Sebagai contoh, berbagai kelompok kepentingan mungkin memerlukan perlindungan dalam hal tertentu sehingga mereka tidak dikalahkan oleh kelompok lain yang lebih kuat, dan dengan demikian, suasana kompetisi tetap dipertahankan.

 

  1. Pemerintah mungkin secara langsung terlibat dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan ekonomi melalui mekanisme seperti nasionalisasi cabang-cabang industri tertentu, spesifikasi prioritas dan tujuan nasional, dan menetapkan berbagai jenis sumber daya yang penting bagi pembangunan. Perubahan arus politik Indonesia di akhir tahun 1960-an membuka masuknya pengaruh musik barat yang kuat dengan masuknya penggunaan gitar listrik dan juga bentuk pemasarannya. Instumen keyboard juga memasuki wilayah Kepulauan Riau17. Masuknya instrumen keyboard juga diiringi oleh bergesernya penggunaan piringan hitam ke kaset pada tahun 1970-an. Seiring berkembangnya teknologi dan inovasi-inovasi baru di bidang musik, di pertengahan 1990-an, kaset mengalami masa-masa akhir kejayaannya. Masuknya compact disc (CD) ke Indonesia dan juga Kepulauan Riau menyediakan alternatif baru dan canggih bagi para penikmat musik. Kualitas suaranya yang lebih jernih dan pemilihan pemutaran lagu yang lebih mudah dan cepat menjadi beberapa kelebihan CD dibandingkan kaset. Meskipun begitu kaset tetap diminati karena harganya yang lebih murah dibandingkan CD. Di tahun 2000-an, kaset pun makin tergencet oleh perkembangan CD. Perusahaan-perusahaan rekaman di tanah air telah menjadikan CD sebagai sarana rekaman musik.

 

Perkembangan Industri Muzik Indonesia

Peran Soekarno yang dicemooh sebagai pembelengu kebebasan dalam ekspresi seni pasca keruntuhannya, saat ini justru harus dikaji sebagai orang yang berjasa menggali dan mempertahankan kebudayaan Indonesia dari gempuran budaya asing. Tanpa kebijakannya tersebut, rasanya sulit untuk mengatakan bahwa industri musik Indonesia akan ada pecinta setianya. Meskipun ada faktor-faktor lainnya seperti musisi-musisi Indonesia yang memanfaatkan momentum kebijakan tersebut dengan menciptakan berbagai musik dan lagu yang selaras dengan kebijakan Soekarno.

Untuk menciptakan kecintaan terhadap musik Indonesia, Soekarno juga mendorong kreativitas musisi dengan mendirikan Lokananta. Suatu perusahaan rekaman negara yang mendokumentasikan dan menyebarluaskan musik -musik Indonesia ke berbagai daerah. Kebijakan Soekarno yang antibarat telah mengakibatkan dominannya lagu-lagu berbahasa Indonesia dan lagu-lagu daerah di tanah air.

Era Soeharto, disengaja atau tidak, juga telah melanjutkan ke-Indonesia-an melalui musik terus berlanjut. Pada era pemerintahan Soeharto inilah industri musik Indonesia semakin berkembang. Soeharto tidak mengeluarkan kebijakan anti barat seperti yang dilakukan Soekarno, tetapi melalui kebijakannya yang menetapkan TVRI sebagai satu-satunya stasiun televisi di Indonesia, telah menjaga keberuntungan industri musik Indonesia. Keberuntungan tersebut disebabkan TVRI hanya menyiarkan musik-musik Indonesia. TVRI merupakan media yang paling efektif untuk mengiklankan, secara tersembunyi, musik Indonesia sampai ke pelosok daerah.

Industri musik Indonesia mempunyai modal sumber daya budaya yaitu bangsa Indonesia sebagai konsumen yang setia pada musiknya dan musisi yang kreatif. Akan tetapi, hal tersebut tidak akan menunjukkan tingkat keberartian apabila tidak ditunjang manajemen yang baik dan dukungan pemerintah. Kemunculan televisi swasta lokal di berbagai daerah juga telah menyuburkan industri musik di daerah. Sementara perubahan yang terjadi adalah dalam bentuk wujud musik, masa kaset dan CD hampir berlalu. 18

Media komunikasi yang semakin canggih telah menyebabkan masyarakat masyarakat terintegrasi ke dalam suatu tatanan yang lebih luas, dari yang bersifat lokal menjadi global ( Featherstone,1991; Miller, 1995; Strathern, 1995). Berbagai desa, tidak terkecuali, menjadi bagian dari apa yang disebut sebagai global village yang memperlihatkan betapa nilai-nilai yang dipelajari dan diyakini kemudian bukan hanya berasal dari lokalitas dimana seseorang berada, tetapi juga nilai-nilai dari suatu pusat dunia atau bahkan suatu daerah lain.

Craig Lockhard (1998) juga menunjukkan kesenian populer sebagai budaya massa yang populer di Asia Tenggara dan Indonesia telah berawal sejak abad 19 dengan berkembang pesatnya urbanisasi, terutama dengan penemuan teknologi media massa dan komunikasi. Teknologi mempercepat penyebaran berbagai informasi baru baik tentang pengetahuan umum maupun hiburan massa.

Perubahan Masyarakat Kepulauan Riau

Batam, misalnya, perkembangan industri dan perdagangan yang pesat ternyata tidak dapat dinikmati oleh orang-orang Melayu yang menjadi penduduk asli pulau ini. Mereka terpinggir dari perkembangan tersebut dan hanya menjadi penonton saja. Perubahan yang begitu pesat di wilayah Batam membawa dampak bagi penduduk tempatan. Sebelum wilayah ini digarap untuk dijadikan area industri dan perdagangan, wilayah ini masih berupa hutan yang dikelilingi oleh banyak pulau. Wilayah ini dihuni penduduk warga Melayu yang jumlahnya sangat sedikit, ditambah dengan pendatang yang telah berinteraksi dengan warga Melayu. Mata pencaharian mereka mayoritas adalah nelayan yang mendasarkan kehidupannya dari hasil laut. Selain nelayan, ada di antara penduduk yang memiliki mata pencaharian sebagai pedagang. Kemajuan ekonomi mereka hampir tidak pernah berkembang. Hal ini tampak dari kehidupan ekonomi mereka yang relatif rendah. Sementara itu, diantara penduduk yang berhasil mengenyam pendidikan tinggi direkrut untuk menduduki jabatan dan masuk dalam birokrasi lokal bersama-sama dengan birokrat lainnya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan Batam yang demikian pesat, menimbulkan persepsi baik positif maupun negatif bagi penduduk domestik. Penanaman modal yang demikian besar membuka peluang kerja bagi penduduk domestik, yang berarti mengurangi jumlah pengangguran. Pembukaan lapangan kerja yang menyerap tenaga kerja domestik memberikan kesejahteraan bagi pekerjanya. Namun, bagi mereka yang kurang beruntung, mereka tetap hidup di ambang batas kemiskinan, yang kadang-kadang melakukan tindakan negatif sebagai reaksi dari kecemburuan sosial yang seharusnya tidak perlu terjadi.

Sebagai contoh, penduduk yang tinggal di Kecamatan Belakang Padang. Penduduk dari kecamatan ini hampir tidak menikmati dampak dari kemajuan wilayahnya. Bagi masyarakat Belakang Padang yang secara geografis wilayahnya dekat dengan Batam dan Singapura, wilayahnya masih sangat terisolasi, karena kondisi jalan yang sangat buruk, sehingga kendaraan roda empat tidak pernah mencapai wilayah ini.

Berdasarkan pengakuan warga Belakang Padang ini, mata pencaharian yang dilakukan sebagai nelayan yang mencari ikan di laut, hasilnya belum cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kesenjangan antara mereka dan penduduk pendatang sangat lebar, sehingga menyebabkan terjadinya kecemburuan sosial, yang mengarah pada tindakan yang tidak dapat dikontrol baik oleh pemuka adat maupun pengelola keamanan setempat.

Tradisi melaut yang diwariskan oleh nenek moyang mereka sangat sulit untuk ditransformasi. Mereka masih memelihara tradisi melaut ini secara turun temurun. Akibat langsung dari kondisi ini adalah kekalahan bersaing dalam dunia kerja. Berdasarkan hukum alam, mereka akan termarginalkan, kalah bersaing, dengan pekerja pendatang. Kondisi ini tidak hanya menimpa sebagian besar penduduk di wilayah ini. Mereka yang mendapatkan keuntungan untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi daripada warga lainnya, juga harus menerima kekalahan melawan tenaga kerja pendatang ini, yang secara khusus didatangkan ke wilayah ini. Kekalahan bersaing ini disebabkan oleh banyak faktor seperti kalah bersaing dalam kualitas, kreativitas, maupun kegigihan dalam menjalankan tugas.

Di Lobam dan Lagoi, penduduk setempat teraniaya karena tanah-tanah mereka diambil untuk lokasi pembangunan kedua pusat industri dan pariwisata ini dengan ganti rugi yang merugikan.20 Sementara, ketika pusat industri dan pariwisata itu telah berdiri, mereka pun sulit masuk ke dalamnya dan mendapatkan keuntungan sebagai pekerja. Baik di Batam, Lobam maupun Lagoi, para pekerjanya lebih banyak berasal dari luar daerah, dibandingkan dari wilayah Kepulauan Riau sendiri.

Oleh karena itu, keberhasilan pembangunan ekonomi di Kepulauan Riau pada masa Orde Baru hanya dapat dilihat dari perspektif pusat, tidak bagi daerah. Hal ini menegaskan keterpinggiran Kepulauan Riau secara politis dalam kerangka pemerintahan Provinsi Riau, dan terlebih-lebih dalam kerangka Indonesia. Agenda pembangunan ekonomi yang dicanangkan pemerintah pusat di Kepulauan Riau seakan-akan memperlakukan kawasan ini sebagai kawasan tak bertuan, tanpa penduduk, tanpa sejarah. Kebijakan-kebijakan yang diambil tidak pernah melibatkan masyarakat tempatan. Karenanya, pusat-pusat pertumbuhan ekonomi yang dibangun pun menjadi ruang-ruang eksklusif yang sulit untuk diakses oleh masyarakat tempatan.

Jadi, kerjasama ekonomi regional seperti Sijori yang pada mulanya untuk memanfaatkan keunggulan masing-masing daerah—dimana Kepulauan Riau dilihat memiliki kelebihan dalam sumber daya manusia dan lahan—ternyata tidak sepenuhnya dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat Melayu Kepulauan selama 24 jam. Di Lagoi, selain pagar dan penjaga, mata uang yang beredar adalah dolar Singapura, sehingga kuat mengesankan kehadiran ‘negara lain’ di wilayah Kepulauan Riau yang tidak tersentuh.ng-kan para pemiliknya. Sedangkan, sumber daya manusia tidak dapat turun andil dalam gerak ekonomi tersebut karena keterbatasan pendidikan dan keterampilan yang diakibatkan oleh kurangnya pembangunan di bidang peningkatan kualitas sumber daya manusia. Akibat lainnya, terjadi pendangkalan di kawasan pesisir pantai dan kerusakan terumbu karang karena masuknya kapal-kapal pengangkut pasir. Seperti yang terjadi di Teluk Bintan yang merupakan kawasan keluar-masuk kapal-kapal pasir. Nelayan-nelayan yang tinggal di perkampungan sepanjang garis pantai Teluk Bintan ini bahkan pada tahun 2000-an sudah sangat menurun hasil tangkapannya. Sebagai nelayan-nelayan kecil, kondisi ini memperburuk tingkat ekonomi mereka.

Perubahan Politik Terhadap Budaya

Reformasi di Indonesia yang terjadi di penghujung abad ke-20 membawa perubahan yang amat besar dalam kehidupan bangsa Indonesia, termasuk kehidupan kebudayaan. Kehidupan kebudayaan pada masa orde baru merupakan kebudayaan yang memaksakan ke-eka-an, sehingga harus diubah menuju kepada “Kehidupan Kebudayaan yang Bhineka”. Penekanan kebijakan terletak pada pemahaman dan upaya untuk hidup dalam konteks perbedaan sosial-budaya dan tidak terjebak pada primordialisme dan eksklusivitas kelompok atau etnisitas yang sempit (Shahab, 2004 :7).

Karena pengaruh globalisasi, para seniman di Indonesia memiliki kebebasan untuk menampilkan gaya yang mereka inginkan. Akibatnya, timbul semacam arus perkembangan seni yang disebut sebagai multikulturalisme atau plurarisme yang menghargai karya seni dengan gaya apapun dan dari negara manapun. Seni istana sudah tidak menjadi kiblat lagi, demikian juga aliran-aliran seni dari mancanegara. Dalam bidang seni pertunjukan, setiap kelompok etnis di Indonesia ingin menampilkan jatidiri mereka. Hal ini tampak sekali apabila (TMII) dan pemerintah menyelenggarakan Festival Kesenian Daerah Tingkat Nasional yang diadakan setiap tahun, dan juga Parade Tari Daerah yang selalu dipanggungkan dalam acara menyongsong hadirnya Tahun Baru (Soedarsono, 2002 : 112).

Sejalan dengan diberlakukannya Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 di Indonesia, tentang otonomi daerah, peran lokal diberikan tempat, sehingga warna daerah sebagai wilayah masyarakat Melayu tidak akan hilang dari akar wilayahnya.22 Di era otonomi daerah ini, di mana setiap provinsi ada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Taman Budaya dan Dewan Kesenian Daerah diharapkan dapat lebih fokus melakukan pelestarian kesenian di daerahnya masing-masing. Sementara peran pemerintah pusat dalam hal ini Departemen Kebudayaan dan Pariwisata memberikan fasilitasi berupa bimbingan, dorongan, bantuan. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata melalui Direktorat Kesenian, Direktorat Jenderal Nilai Budaya Seni dan Film melakukan kegiatan merajut kembali dalam bentuk fasilitasi kegiatan berskala nasional seperti Festival Seni Pertunjukan Indonesia (FSPI), Lomba Cipta Seni, dan Art Summit.

Terkait dengan Undang-Undang nomor 22 tahun 1999, kesenian yang hidup dan berkembang di daerah merupakan kekayaan bangsa yang tak ternilai harganya. Melalui kesenian, sebagai bangsa dapat menunjukkan jati dirinya. Agar keberadaannya sebagai unsur budaya dapat memberikan sumbangan terhadap kehidupan bangsa baik secara jasmani maupun rohani. Masyarakat sebagai pelaku dan pemilik seni baik secara perseorangan maupun bersama-sama memiliki tanggung jawab terhadap maju-mundurnya kesenian daerahnya.

Perubahan Ekonomi Terhadap Budaya

Mayoritas penduduk di Kepulauan Riau adalah suku bangsa Melayu, beragama Islam, dan mengandalkan laut sebagai sumber mata pencaharian. Masyarakat di wilayah ini tinggal di sepanjang pesisir pulau. Sehingga pengetahuan masyarakat tentang lingkungan, teknologi tradisional, dan tradisi-tradisi yang berhubungan dengan lingkungan, biasanya berkaitan dengan mata daripada yang didapatkan melalui jalur birokrasi dari pemerintah pusat. Dna tersebut memungkinkan pemerintah lokal medorong pembangunan daerah serta membangun promosi kebudayaan dan juga pariwisata.

Terkait hal itu, Meutia Farida Hatta (1999) mengemukakan bahwa dalam dimensi pengembangan kesenian, dapatlah dikemukakan proposisi derivatnya: “Pembangunan kesenian adalah pembangunannilai -nilai seni dan apresiasi seni untuk meningkatkan kemartabatan seniman dan masyarakat, sekaligus juga meningkatkan mutu seni dan apresiasi terhadap kesenian”. Dengan demikian, dalam PembangunanNasional, kesenian sebagai bagian dari Kebudayaan Nasional memperoleh maknanya dalam kaitan dengan pemahaman dan apresiasi nilai-nilai kultural. Oleh karena itu, untuk meningkatkan ketahanan budaya bangsa, maka Pembangunan Nasional perlu bertitik-tolak dari upaya-upaya pengembangan kesenian yang mampu melahirkan “nilai-tambah kultural”. Pakem-pakem seni (lokal dan nasional) perlutetap dilanggengkan, karena berakar dalam budaya masyarakat. Melalui dekomposisi dan rekonstruksi, rekoreografi, renovasi, revitalisasi, refungsionalisasi, disertai improvisasi dengan aneka hiasan, sentuhan-sentuhan nilai-nilai dan nafas baru, akan mengundang apresiasi dan menumbuhkan sikap posesif terhadappembaharuan dan pengayaan (atau enrichment) karya-karya seni. Di sinilah awal dari kesenian menjadi kekayaan budaya dan “modal sosial-kultural” masyarakat.

pencaharian mereka sebagai nelayan. Pengetahuan tentang gejala-gejala alam memperlihatkan bahwa keberadaan alam dan lingkungan mempengaruhi pula aktivitas mereka sehari-hari, demikian pula halnya dengan pengetahuan tentang lingkungan biologis. Pengetahuan terhadap laut diperoleh secara turun-temurun, hal-hal yang dirintis dan diketahui oleh orang dahulu terhadap lingkungan yang dijadikan sebagai pegangan pada masa sekarang. Pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat Kepulauan Riau masih bersifat tradisional, walaupun demikian pengetahuan ini dapat membentuk pola pikir dalam menanggapi alam dan sekitarnya, sehingga membentuk kearifan tradisional. Pengetahuan orang dahulu masih tetap terpelihara walau tidak seluruh pengetahuan tersebut diwarisi oleh penerusnya.

Kebudayaan juga merupakan proses keterkaitan pengaruh subsistem atas subsistem lainnya. Begitu juga ketika mereka di dalam kehidupan ekonominya terkait dengan alam yang tidak mampu ditundukkan dengan akalnya, mereka ciptakan upacara-upacara sebagai suatu cara untuk menguasai alam. Begitulah manusia selalu berada di dalam kehidupan yang bercorak fungsionalitas antarsubsistemnya. Agama, ekonomi, seni, teknologi, dan sebagainya memiliki kaitan fungsional dengan kehidupan umat manusia (Ridlwan, 2007).

Pertumbuhan industri di perkampungan nelayan memungkinkan perkampungan tersebut tumbuh menjadi daerah industri dengan segala akibat positif dan negatifnya. Hal tersebut akan membawa perubahan-perubahan dalam masyarakat, termasuk di sini adalah masyarakat di perkampungan nelayan Kepulauan Riau. Perkembangan industri di pesisir pantai Kepulauan Riau tersebut membawa dampak dalam kehidupan budaya masyarakat nelayannya.

Perubahan sosial yang terjadi di dalam kehidupan bermasyarakat, dan kehidupan tradisional menuju kehidupan modern akibat perkembangan ekonomi telah menyebabkan semakin memudarnya nilai-nilai tradisional termasuk dalam bidang berkesenian.25 Kesenian masyarakat Melayu yang salah satunya teridentikkan dengan kemajuan Joget Dangkung juga mengalami perubahan fungsi, struktur persembahan, struktur tari, dan masyarakat pendukungnya. Kemajuan prasarana ekonomi di Kepulauan Riau ini pada kenyataannya tidak disejajarkan dengan pembangunan dalam bidang kebudayaan, sehingga identitas kemelayuannya makin memudar (Azhar 1997:768)

Perubahan sosial di Kepulauan Riau mengikut teori evolusioner Comte yaitu merupakan perubahan yang evolusioner. Auguste Comte melihat jalannya perubahan secara berlainan yaitu menurut garis lurus (linear) yang dikenali dengan teori perkembangan evolusioner. Comte memandang perubahan menurut kemajuan. Ia melihat kemajuan terjadi di setiap segi tata masyarakat, termasuk segi fisik, etika, pikiran, dan politik. Menurut Comte, ada tiga faktor yang mempengaruhi tingkat kemajuan manusia. Pertama, rasa bosan. Seperti teoritisi modern, Comte melihat hirarki kebutuhan manusia. Sekali kecakapan yang lebih rendah telah digunakan, manusia akan terdorong untuk menggunakan kecakapannya yang lebih tinggi. Semakin besar penggunaan kemampuan yang lebih tinggi, semakin tinggi tingkat kemajuan. Faktor kedua, lamanya umur manusia. Comte menanggap umur meningkatkan konservatisme, sedangkan kemudaan ditandai oleh ”naluri mencipta”. Faktor ketiga, faktor demografi pertambahan penduduk secara alamiah. Sumbangan pengaruhnya terhadap percepatan kemajuan, melebihi faktor lain manapun. Semakin tinggi tingkat konsentrasi penduduk di suatu tempat tertentu, akan menimbulkan keinginan dan masalah baru, dan karena itu akan menimbulkan cara-cara baru untuk mencapai kemajuan dengan menetralisir ketimpangan fisik dan akan menghasilkan pertumbuhan kekuatan intelektual dan moral di kalangan segelintir penduduk yang tertindas (Laurer, 2003 : 71).

Perubahan Politik dan Ekonomi Terhadap Kesenian

Berdasarkan pernyataan di atas, Pemerintah daerah Kepulauan Riau juga memberi perhatian kepada kesenian daerahnya. Pemerintah daerah Kepulauan Riau mengangkat dan melestarikan kesenian daerahnya. Diantaranya, yang selalu rutin dilaksanakan sejak tahun 1999 adalah diadakannya Festival Tari dan Musik Tradisional. Salah satu daerah di Kepulauan Riau yaitu Kabupaten Karimun bahkan memberikan perhatian khusus pada Joget Dangkung. Bentuknya adalah mengadakan Festival Dangkung. Joget Dangkung dianggap sebagai sebuah kesenian daerah yang dimiliki oleh masyarakat Kepulauan Riau dan merupakan cerminan daripada pola kehidupan atau sistem budaya masyarakat Melayu Kepulauan Riau.

Festival Dangkung pada akhirnya menghasilkan budaya hibrid. Budaya hibrid senantiasa terkandung dalam karnaval, parade budaya, dan sejenisnya yang menampilkan terutama berbagai unsur seni pertunjukan (Turner 1987 :124). Hibridisasi mengacu pada sensibilitas perjalanan budaya postmodern26 yang merupakan campuran antara macam-macam tradisi dan masa lalu. Ciri khas karya-karyanya adalah makna ganda,ironi, banyaknya pilihan, konflik, dan terpecahnya berbagai tradisi, karena heterogenitas sangat memadai bagi pluralisme.

Kesenian Joget Dangkung dalam perkembangannya juga mendapatkan patron27 dari pemerintah di Kepulauan Riau28untuk menghidupkan kembali Joget Dangkung yang semula berkembang di perkampungan nelayan pesisir pantai untuk mengukuhkan eksistensi kebudayaan Melayu dalam konteks kebudayaan Indonesia yaitu menegakkan identiti Melayu dan mengangkat harkat kebudayaan Melayu di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk. Sehingga masyarakat pendukungnya dapat menikmati kesenian Joget Dangkung ini tidak hanya di ruangan terbuka seperti di tepi laut maupun di halaman rumah penjemput, tetapi dapat menikmatinya di ruangan tertutup seperti gedung kesenian yang disediakan oleh pemerintah. Berikut adalah event-event yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah Kepulauan Riau dan memberikan kesempatan Joget Dangkung untuk tampil sebagai persembahan pentas dan merupakan identiti kesenian Melayu Kepulauan Riau. Dalam perkembangannya, Joget Dangkung menjadi persembahan bagi event-event kebudayaan.

Pada tahun 2008, Gubernur Kepulauan Riau (Kepri) saat itu, Ismeth Abdullah berencana mendaftarkan budaya asli Kepri ke Badan Hak Cipta Dunia, untuk menghindari pengakuan (klaim) oleh negara lain seperti terjadi pada beberapa kesenian Indonesia. Menurutnya hal itu sangat penting menyangkut ancaman globalisasi. Joget Dangkung adalah salah satu kesenian Kepulauan Riau yang akan dipatenkan selain kesenian lainnya seperti mendu, bangsawan, dan gubang. Karena warga pulau banyak terinspirasi laut yang tak pernah kering. Selain kekhawatiran pengakuan budaya Kepri oleh negara lain, Gubernur juga mencemaskan budaya lokal yang tergerus asing pascapemberlakuan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).

Penutup

Penetrasi pemerintah (negara) di Kepulauan Riau pada tahun 1963, membawa dampak jatuhnya perekonomian di daerah ini. Meskipun kendali utama pemegang perekonomian di Kepulauan Riau tetap didominasi oleh orang Cina. Orang Cina sebagai pemilik modal sedangkan masyarakat nelayan Kepulauan Riau sebagai pekerjanya dengan pola patron client. Perubahan drastis yang membawa perubahan di segala aspek kehidupan adalah pada tahun 1990, ketika masyarakat Melayu Kepulauan Riau yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan termajinalkan akibat kebijakan pemerintah (negara). Sebagian besar dari nelayan beralih profesi, sedangkan mereka yang tetap berprofresi sebagai nelayan mengalami perubahan dalam memandang kerarifan lokalnya. Laut bukan lagi sebagai “ruh” kehidupan tetapi hanya sebagai tempat sumber kehidupan (ekonomis).

Tahun 1999, ketika pemerintah (negara) mengeluarkan kebijakan yang memungkinkan “bangkit”nya kesenian yang berkembang di daerah, termasuk Kepulauan Riau. Joget Dangkung sebagai salah satu kesenian yang merupakan cerminan daripada pola kehidupan atau sistem budaya masyarakat MelayuKepulauan Riau diangkat kembali dengan menghadirkannya kembali di tengah masyarakat luas tidak hanya dalam komunitas nelayan.

Perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat Kepulauan Riau apabila dikategorikan merupakan perubahan sosial yang linear. Menurut Auguste Comte (2003) yang melihat jalannya perubahan sosial yaitu menurut garis lurus (linear) yang dikenali dengan teori perkembangan evolusioner, memandang perubahan menurut kemajuan. Ia melihat kemajuan terjadi di setiap segi tata masyarakat. Demikian juga dengan proses perubahan sosial di Kepulauan Riau yang dalam intinya adalah perubahan norma-normanya. Dimana perubahan norma-norma dan proses pembentukan norma-norma merupakan inti dari kehidupan mempertahankan persatuan kehidupan berkelompok, maka dengan sendirinya bahwa proses perubahan masyarakat adalah proses disintegrasi dalam banyak bidang, sehingga demi proses, maka harus diusahakan adanya re-integrasi kembali, yaitu penampungan dalam suatu kehidupan bermasyarakat yang lebih cocok dengan masyarakat yang baru, dimana norma-norma yang lebih cocok inilah akan merupakan ikatan dari masyarakat yang baru atau lebih luas.

Daftar Pustaka

Anderson, John. Mission to the East Coast of Sumatra in 1823. London.1826 Anderson, John. Acheen and the Ports on the North and East Coasts of Sumatera. London.1840

Anastasia Wiwik Swastiwi. Sejarah Joget Dangkung di Kepulauan Riau 1913-1963. Universiti Malaya.Kuala Lumpur. Malaysia. 2007

  1. Samad Ahmad. Kerajaan Johor-Riau. Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pelajaran Malaysia. 1985.

Berkhofer, JR. 1971. A Behavioral Approach to Historical Analysis. New York. Bellwood, Peter. Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia. Gramedia. Jakarta. 2000 B.M. Syamsudin. Dondang Sayang Lagu Ciptaan Puteri Bintan.(t.t.)

Dibyo Harsono, T. Drs. Dinamika Sosial Masyarakat Melayu Dilihat Dari Kesenian Joget Dangkung. Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjungpinang. 1995 Edi Sedyawati. Kumpulan Makalah (1993-1995). Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1995/1996

Edy Sedyawati & Sapardi Djoko Damono. Seni Dalam Masyarakat Indonesia Bunga Rampai.PT. Gramedia. Jakarta. 1983

Ediruslan Pe Amanriza. Seni Pertunjukan Tradisional (Teater Rakyat) Daerah Riau.Pekanbaru. 1993

E.R MBY. Seni Tari. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjungpinang.

Felfoldi, Laszlo. “Structural Approach in Hungarian Folk Dance Research” dalam Dance Structure Perspesctives on the Analysis of Human Movement. Akademiai Kiado Budapest. 2007

Giurchescu, Anca. ”Theory and Method of Dance Form Analysis” dalam Dance Structure Perspesctives on the Analysis of Human Movement. Akademiai Kiado Budapest. 2007

Heni Winahyuningsih. “Dance Of Yogyakarta : A Strategy For Local Cultural Identity Within A National Contex” Dalam Independence & Identity. Faculty of Dance Akademi Seni Budaya Dan Warisan Kebangsaan & The Ministry of Unity, Culture, Arts And Heritage Malaysia.2008

Hasan Junus, dkk. Pengungkapan dan Pengkajian Naskah Syair Pekawinan Anak Kapitan Cina dan Syair Perkawinan Anak Si Komen. Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Melayu Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pekanbaru. 1989/1990

Hooker, Virginia Matheson. Tuhfat Al-Nafis Sejarah Melayu – Islam. Penterjemah Pengenalan Ahmad Fauzi Basri. Dewan Bahasa dan Pustaka. Kementerian Pendidikan Malaysia. Kuala Lumpur. 1992

Hendry Juliardian. Suara Anak Negeri Menyongsong Provinsi Kepulauan Riau. UNRI Press.2000

Iwan Irawan Permadi. Pembaharuan Tari Riau :Sebuah Harapan.1992

Irham Mas dkk.Deskripsi Tari Joget. Proyek Pembinaan Kesenian Riau Kantor Wilayah Departemen Dikbud Propinsi Riau. 1991-1992

Ismail Hamid. Masyarakat dan Budaya Melayu.Dewan Bahasa dan Pustaka. Kementerian Pendidikan Malaysia. Kuala Lumpur.1988

Jaafar Mampak. “Seni Tari Melayu dalam Usaha mengwujudkan indentiti kebangsaan” dalam Asas Kebudayaan Kebangsaan. Kementerian Kebudayaan Belia dan Sukan. Kuala Lumpur.1973

Kaeppler, Adrienne L.. “Method and theory in analyzing dance structure with an analysis of tongan dance dalam Dance Structure Perspesctives on the Analysis of Human Movement. Akademiai Kiado Budapest. 2007

Koutsouba, Maria. “Structural Analysis For Greek Folk Dances : A Methodology’ dalam Dance Structure Perspesctives on the Analysis of Human Movement. Akademiai Kiado Budapest. 2007

Koentjaraningrat. Pengantar Antropologi.Aksara Baru. Jakarta 1974

Koleksi Etnografi Daerah Riau. Proyek Pengembangan Permuseuman Riau Tahun 1982/1983. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Riau.

Lotfi Ismail. Sejarah Malaysia 1400 – 1963. Utusan Publication & Distributors. Kuala Lumpur.1974

Laurer, Robert H.. Perspektif Tentang Perubahan Sosial. PT Rineka Cipta. Jakarta. 2003

Mohd Anis Md Nor. “Dance Research : Transference And Reconstruction In Contemporary Malaysian Dance” dalam Diversity in Motion. The Cultural Centre University of Malaya. Kuala Lumpur. Malaysia.2003.

Matheson Hooker, Virginia. Tuhfat Al-Nafis. Sejarah Melayu Islam. Penterjemah Pengenalan Ahmad Fauzi Basri. Dewan Bahasa dan Pustaka. Kementerian Pendidikan Malaysia Kiala Lumpur.1991

Marsden, William. Sejarah Sumatera. Bandung : Remaja Rossdakarya. 1999

Mubyarto, dkk. Riau Menatap Masa Depan. Yogyakarta : Aditya Media. 1993.

McKie, J.A.C. Konfrontasi : The Indonesia – Malaysia Dispute, 1963-1966. Kuala Lumpur. Oxford University Press.1974

Mohammad Nordin Soppie. From Malayan Union in Singapura Separation. Kuala Lumpur. Malaya University.1974

Mohd. Ghouse Nasarudin. The Malay Dance. Dewan Bahasa dan Pustaka. Kementerian Pendidikan Malaysia. Kuala Lumpur. 1995

Mohd. Anis Md Nor. Asian Dance Voice Of The Millenium. Asia Pasific Dance Research Society Cultural Centre. University of Malaya. Kuala Lumpur. 2000 Mohd. Taib Osman. Masyarakat Melayu Struktur, Organisasi dan Manifestasi. Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia. Kuala Lumpur. 1989

Muchtr Lutfi.et.ed. Sejarah Riau. Pekanbaru. Percetakan Pekanbaru. 1977 Mohd. Daud Kadir. Lagu-lagu Joget Tradisional Daerah Riau. Pekanbaru. 1994 Netscher,E., ”Beschrijving van een gedeelte der residentie Riouw”,

TBG.II.1854.hlm.108-270

Netscher,E., “Togtjes in het gebied van Riouw en onderhoorigheden”, TBG.XII.1862. Hlm. 1-23; 340-351

Netscher, E., De Nederlenders in Djohor en Siak. Batavia.1987

Refrisul. Kesenian Rakyat Daerah Kepulauan Riau.Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjungping 1993/1994

Read,Herbert. Art and Society.London.Faber and Faber,1995 Reid, Anthony. The Contest for North Sumatra.Kuala Lumpur.1969

Rookmaker,H.R. Modern Art and The Death of a Culture. England. Inter Varsity Press.1970

Rahman dkk. Sejarah Kota Tanjungpinang. Dep P & K Tanjungpinang.1992 Sita Rohana. Tari Melemang : Mencari Identitas Di Tengah Puing-Puing Sejarah. Laporan Penelitian Kebijakan Kebudayaan Di Masa Orde Baru Kerjasama Pusat

Penelitian dan Pengembanan Kemasyarakatan dan Kebudayaan – LIPI dengan Ford Foundation. Jakarta.2001

Sumantri Ardi. Amuk Melayu. Dalam Tuntutan Propinsi Kepulauan Riau. UNRI Press Pekanbaru.2002

Said Parman. Modernisasi dan Pemasyarakatan Tari Riau.Makalah Panel Diskusi Pengembangan Kesenian Daerah Dalam Rangka Menunjang Kepulauan Riau Sebagai Daerah Tujuan Wisata. 5 Januari 1990

Selo Soemardjan. Perkembangan  Kebudayaan  Nasional  dan  Daerah  di  Indonesia.

Budaya Jaya, No. 131 Th. Kedua belas. April. Jakarta : Gramedia. 1979. Sumadi Suryabrata. Metodologi Penelitian. Raja Grafindo Persada. Jakarta.2000. Schadee, W.H.M. Geschidenis van Sumatra’s Oostkust. 2 vols.Amsterdam.1918

Schot,J.G. “Bijdrage tot de kennis va Oud Bintan”.TBG.XXXII.1889.hlm.602-61

Sal Murgiyanto, MA . Seni Tari Melayu : Struktur dan Refleksi Keindahan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Jakarta (t.t)

Soedarsono. R.M. Seni Pertunjukan Indonesia Di Era Globalisasi.Gadjah Mada University Press. 2002

Tengku Lukman Sinar, SH. Pengantar Etnomusikologi dan Tarian Melayu. Medan. Percetakan Perwira.1990

Wulandari, Triana.dkk. Sejarah Wilayah Perbatasan Batam – Singapura 1824-2009 :

Satu Selat Dua Nakhoda.Depok. Gramata Publishing.2009

Wee, Vivienne. Melayu: Hierarchies of Being in Riau, disertasi untuk memperoleh gelar Doktor, Australia: Australian National University. 1985