Orang Laut Kepulauan Riau

0
12175

Orang laut atau suku laut adalah kelompok masyarakat yang mempunyai kebudayaan bahari yang semurni-murninya. Kondisi kekinian, orang laut banyak yang hidup menetap. Ini berkembang dari konsep awal kategori orang laut. Menurut Adrian B Lapian (1986 dan 2009), orang laut adalah suku bangsa yang bertempat tinggal di perahu dan hidup mengembara di Perairan Provinsi Kepulauan Riau sekitarnya, dan pantai Johor Selatan.

Berbicara tentang orang laut dapat dipastikan akan berawal dari soal penamaan. Orang suku laut memiliki bermacam penamaan. Penamaan ini muncul dari para peneliti ilmu sosial, masyarakat setempat (orang Melayu), maupun diri mereka sendiri. Di Kepulauan Riau, mereka dikenal juga dengan nama orang pesukuan, yaitu orang yang terbagi dalam berbagai suku. Suku-suku atau kelompok masyarakat ini dahulunya tunduk kepada sultan Kerajaan Riau-Johor yang abad 19 terbagi dua. Orang laut atau pesukuan hidupnya ada yang di darat, teluk, muara sungai dan di laut.

Banyak lagi nama lain. Sebut saja orang sampan atau mengacu pada tempat tinggal, seperti Orang Mantang (mendiami Pulau Mantang, Bintan), Orang Tambus (mendiami Tambus di Galang), atau Orang Mapor (mendiami Pulau Mapor atau Mapur, Bintan). Dalam berbagai literatur berbahasa Inggris, orang laut dinamai juga beragam. Misalnya sea nomads, sea folk, sea hunters and gatherers. Ada juga ditemukan istilah sea forager, sea gypsies dan people of the sea. Meski beragam sebutan, oleh sebagian besar orang Melayu Kepulauan Riau, termasuk oleh orang Riau daratan, nama orang laut yang paling populer.

Di wilayah laut lain, seperti Sulawesi, kelompok yang masuk kategori orang laut juga dikenal dengan berbagai nama. Seperti Bajau atau Bajo, Sama, Samal dan Samal Laut. Disamping itu ada nama suku bangsa Talaud, Tondano, Tolour, Maranao, Ilanun atau Iranun. Artinya kurang lebih sama dengan suku laut. Mereka orang laut atau orang air, meski cara hidup mereka sudah menetap, bermukim dalam rumah dan tidak dalam perahu. Selain itu, ada yang disebut Suku Urak Lawoi’ atau Cho Lai atau Chaw Talay di Kepulauan Andaman (Thailand Barat Daya), Suku Moken (Thailand Selatan, Myanmar, dan Malaysia), serta Sea Gypsies (Filipina Selatan).

Sejarah

Banyak sekali versi mengenai sejarah asal muasal orang Laut. Mulai dari pendapat peneliti asing dan Indonesia, juga berasal dari cerita rakyat yang berkembang di Kepri. BM Syamsuddin (1996) menulis berdasarkan cerita rakyat, asal muasal orang laut berasal dari garam yang diberikan Raja Johor kepada seorang nenek sakti. Garam inilah berkat kuasa Allah kemudian menjelma menjadi orang enam suku. Banyak lagi cerita lisan lain.

Vivienne Wee (1993) berpendapat orang laut adalah keturunan raja-raja Melayu. Ini berdasarkan analisisnya pada naskah Sulalatus Salatin. Seseorang yang disebut Raja Chulan turun ke dalam laut dan kawin dengan putri laut. Kalau putri laut simbolis dari orang laut, maka Sri Tri Buana dan saudaranya adalah anak dari ayah dan ibu yang berasal dari orang laut. Argumen menarik lainnya adalah orang laut di Kepri diduga kuat sejumlah peneliti merupakan suku bangsa asli Melayu keturunan bangsa Melayu tua. Atau, masuk dalam proto Melayu yang menyebar di Pulau Sumatra, melalui Semenanjung Malaka pada sekitar 2500-1500 SM. Dalam perkembangannya kemudian atau pasca-1500 SM, terjadi arus besar migrasi bangsa deutro Melayu ke Asia Tenggara yang membuat bangsa proto Melayu terdesak ke wilayah pantai (pesisir daratan) di Pulau Sumatra. Sebagian dari kelompok yang terdesak inilah yang saat ini dikenal sebagai orang laut.

Asal muasal orang laut tak dapat dipisahkan dari persebaran (migrasi) orang-orang yang tergolong ras Proto Melayu. Orang laut adalah sisa-sisa mereka. Parsudi (1995), menyebutkan, ras Deutro Melayu mendesak orang-orang Melayu ke pedalaman, sehingga terdapat percampuran antara orang-orang dengan ciri-ciri was weddoid dan austroloid dengan ras proto Melayu. Ada juga yang berdampingan dan bercampur dengan orang ras Deutro Melayu.

Orang laut memiliki peranan besar dalam kerajaan sejak Sriwijaya berkuasa hingga Kesultanan Riau-Johor. Loyalitas orang laut terhadap sultan sangat kuat. Menurut Tom Pires, loyalitas orang laut yang disebutnya orang selat telah dimulai sejak di Palembang. Orang laut membantu sultan saat mendirikan Kesultanan Melaka. Beberapa suku orang laut jadi tentara raja. Orang Mepar, Galang, Gelam, Sekanak, Sugi, Bulo menjadi tentara sultan. Pendayung armada sultan dari suku Ladi, Galang, Tambus, Terong, Klong dan Sugi. Orang Mantang sebagai pembuat senjata dari besi. Suku Mepar tugasnya mengangkut duta atau utusan dari luar negeri dan mengurus surat-surat. Orang Moro, Sugi, Terong dan Kasu menyuplai agar-agar dan sangu (semacam rumput laut). Pemimpin suku Mepar di Lingga tugasnya mengatur suku-suku yang mengembara di Perairan Lingga.

Orang laut selalu setia. Saat Portugis menaklukan Melaka 1511, orang laut menjemput sultan di Bintan dan membawanya untuk mengungsi. Peranan orang laut dalam Sejarah Johor menonjol saaat terjadi krisis kerajaan 1688.Orang laut setia pada sultan yang usianya masih muda dan memihak pada sultan saat terjadi konflik dalam istana kerajaan. Orang laut juga setia pada Raja Kecik saat berkonflik dengan Raja Johor yang dapat bantuan dari Orang Bugis. Saat Raja Kecik kalah dan lari ke Siak, peranan orang laut dalam Kesultanan Johor semakin kecil dan hilang. Orang Bugis berkuasa untuk menjabat posisi sentral dalam istana.

Jumlah orang laut di Kepulauan Riau lumayan besar. Data tahun 1972 dari Jawatan Sosial Tanjungpinang, jumlah orang laut di Riau (dimekarkan menjadi Kepri), 5205 orang. Jumlah suku terasing totalnya 21.711 orang. Perinciannya, Suku Sakai 4075 orang, Talang Mamak 6165 orang, Suku Orang Hutan 2938, Suku Bonai 1428 orang dan Suku Akik 1900 orang. Kini 40-an tahun berlalu, orang laut di Kepri masih banyak ditemukan. Ada yang sudah bermukim dan ada yang masih mengembara di laut. Banyak pemukiman orang laut yang dibangun pemerintah. Sebut saja di Pulau Lipan, Kelumu, Sungai Buluh, Tanjungkelit, Kelumu dan Tajur Biru di Kabupaten Lingga. Di Bintan juga ada di Air Kelubi, sementara di Batam, orang laut dibuat pemukiman di Pulau Bertam.

Budaya

Ditilik ditilik dari ragam bahasa yang digunakan, orang suku laut ini dianggap masih serumpun dengan bangsa Melayu. Menurut ahli sosiolinguistik K Alexander Adeelar (2004), orang laut merupakan varian suku bangsa Melayu tua apabila dilihat dari ragam bahasa tutur yang dipakai. Argumen yang dibangun Adeelar merujuk pada pola persebaran elemen-elemen bahasa Melayu pada masa awal abad ke-16 yang hingga kini masih ditemukan dalam ragam percakapan modern bahasa Melayu.

Sementara, bagi Lenhart, yang melihat kebudayaan orang suku laut dari perspektif evolusionis, kebudayaan orang laut secara umum berbeda dengan budaya orang Melayu. Kendati, masih tampak elemen-elemen ‘Melayu’ dalam kehidupan kesehariannya. Hal ini bisa dilihat salah satunya dalam aktivitas orang laut yang mempraktikkan pantun di waktu senggang. Sementara itu, perbedaan kultural yang paling kasat mata, terletak pada stuktur sosial (sistem kekerabatan dan relasi antargender) dan budaya materinya.

Secara struktur sosial, menurut penelitian yang dilakukan Lenhart, orang laut masih hidup dalam lingkup kelompok yang tidak terlalu besar atau sekitar lima sampai delapan keluarga inti. Kelompok yang masih dalam satu kerabat ini dipimpin seorang laki-laki yang ditunjuk melalui sebuah musyawarah. Pemimpin ini berfungsi sebagai perantara ketika menjalin komunikasi dengan suku laut yang tersebar di Kepulauan Riau. Walau pemimpinnya seorang laki-laki, relasi antargender (laki-laki dengan perempuan) cukup egaliter dalam praktik kehidupan sosialnya.

Hal ini didasari kesepakatan bersama, biasanya dimulai dari himpunan keluarga terkecil (nuclear family) yang telah menetapkan pembagian peran secara seksual (division of labour) serta posisi sosial masing-masing.Pada aspek budaya yang lain, seperti sistem religi, budaya materi dan ekonominya, masyarakat orang laut merupakan kelompok masyarakat yang hidup dalam anutan sistem kepercayaan mereka sendiri yang dekat dengan animisme.

Orang laut merupakan suku yang hidup di sampan atau rumah-rumah perahu (boat-dwellings) dengan mata pencaharian utama sebagai pencari ikan dan binatang laut lainnya, seperti tripang (timun laut). Model ekonomi subsistem seperti inilah yang menjadi ciri khas dari kebudayaan mereka.
Namun demikian, dua antropolog, seperti Lenhart dan Chou, menerangkan bahwa sejak diterapkannya kebijakan relokasi (permukiman) oleh Pemerintah Indonesia pada akhir 1980-an hingga periode awal 1990, kebiasaan atau adat orang laut berangsur menghilang.

Sejak lama Orang laut digiring untuk memeluk satu dari lima agama formal di Indoneisa. Tak hanya itu, orang laut lantas mulai hidup di pinggir pantai di rumah-rumah yang terbuat dari kayu yang disediakan pemerintah. Sejak bermukim ini, orang laut hanya pergi melaut untuk mencari ikan pada musim tertentu.
Dari peralihan kebiasaan ini, Chou memaparkan bahwa ikan hasil tangkapan orang laut tidak lagi untuk konsumsi pribadi, tapi dijual kepada para tauke (juragan ikan) untuk ditimbang berat ikan tangkapannya dan ditukar dengan uang.

Bajau

Nama bajau atau Bajo seperti juga nama orang laut adalah exonym, nama yang diberi orang luar. Mereka sendiri menyebut dirinya Orang Sama. Orang Bajau banyak ditemukan di Perairan Selat Makassar (di Pulau Laut dan Pantai Timur Kalimantan), sekitar Bontang, Teluk Bone, daerah Nusatenggara Timur, Kepulauan Banggai, Teluk Tomini, Kepulauan Sulu, dan Maluku Utara. Nama Bajau tak hanya ditemukan di bumi timur Indonesia, tapi juga dibelahan barat, yakni Kepulauan Anambas, Kepri. Jadi dapat dipastikan orang Bajau pernah menjelajahi seluruh perairan nusantara, meski sekarang hanya dikenal di bagian timur Sulawesi, Sabah dan Kepulauan Sulu.

Pengembaraan Orang Bajau di timur nusantara selalu dikaitkan dengan Kerajaan Johor. Salah satu tradisi lisan mengatakan, Orang Bajau di Kalimantan Utara adalah keturunan pelaut Johor yang ditugaskan oleh sultan untuk mengantarkan puterinya, Dayang Ayesha. Ditengah jalan, rombongan diserang oleh kapal Brunei yang menculik Dayang Ayesha dan membawanya ke Brunai. Sejak itu Orang Bajau hidup mengembara karena takut pulang ke Johor atau pulang ke Sulu karena kehilangan putri yang dipercayakan kepada mereka.

Cerita lain mengisahkan, Orang Bajau yang kini hidup di Sulu dahulunya hidup dalam perahu di Semenanjung Melayu. Kepala Orang Bajau mempunyai anak yang cantik dan orang darat mempersuntingnya, sehingga ia menculiknya. Putri itu berhasil meloloskan diri. Sejak itu Orang Bajau berlayar jauh karena takut dikejar orang darat yang ingin mencari putri tersebut. Versi lain menyebutkan, Orang Bajau di Timur Sabah merupakan keturunan dari Puteri Johor yang dalam pelayarannya terbawa angin ribut dan hilang arah. Dalam cerita Bajau di Pantai Kalimantan Timur, pangeran Johor berlayar terkena angin topan dan tak bisa kembali. Sultan Johor memerintahkan pelaut Bajau mencari putranya yang hilang. Mereka berlayar tapi kehilangan arah. Orangh Bajau ini akhirnya memutuskan menetap di perairan antara Kalimantan, Kepulauan Sulu dan Sulawesi.

Pendapat lain menerangkan, konflik kesultanan Johor 1699 menyebabkan, Orang Laut menyebar keluar dari Perairan Johor. Mereka mengembara ke arah timur tapi tetap mengingat turun temuruannya di semenanjung Melayu. Dari berbagai sumber ini, Adrian B Lapian menyebutkan, perlu pengkajian atau penelusuran lebih jauh mencari hubungan antara Bajau dan Johor. Belum ada fakta historis yang menunjukkan pertautan ini. ((Dedi Arman SS, Pamong Budaya BPNB Tanjungpinang)

Sumber: Adrian B Lapian, Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut, Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX. Jakarta: Komunitas Bambu,2009.
Evawarni, Sindu Galba, Kearifan Lokal Masyarakat Adat Orang Laut di Kepri. Tanjungpinang:Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjungpinang,2005.