Nada-Nada Purba Alam Raya pada Kelintang Kayu

0
1032
Bambu tulisan Incung disimpan Depati Kuning Payung Negeri Desa Koto Tuo (Foto: M. Ali Surakhman)

M. Ali Surakhman*

Karakter wilayah huluan Jambi yang bergelombang membentuk cekungan-cekungan yang luas, menjadikan lembah pegunungan bukit Barisan Sumatra tempat pemukiman etnis yang disebut orang Melayu Tua atau Proto Malayu, kata yang digunakan oleh para peneliti. Keadaan topografi yang merupakan dataran tinggi berbukit-bukit ini yang dikelilingi gunung-gunung dan hutan lebat Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), memiliki iklim sejuk dan nyaman, dan merupakan ciri khas wilayah yang membedanya dengan wilayah lain di Indonesia. Pada wilayah ini hidup peradaban yang berasal dari ribuan tahun silam, dengan ciri khas dan keunikan tersendiri pula. Perpaduan antara lingkungan  alam dan hasil proses peradaban manusia melahirkan suatu bentuk kebudayaan, yang selanjutnya kita sebut sebagai “budaya etnis lembah pergunungan”. Keberadaan budaya orang huluan Jambi dengan alamnya ini, kita proyeksi kepada aspek seni dan budaya.  

Pertumbuhan dan perkembangan seni budaya di daerah huluan dan dataran tinggi Jambi berawal dari kehidupan tradisi Megalitik (kebudayaan prasejarah/kuno), sampai saat sekarang bisa kita saksikan pada pertunjukan kesenian, dan peninggalan benda-benda bersejarah lain. Sekalipun memiliki hubungan dengan Minangkabau, Hilir Jambi, Sriwijaya dan Jawa Kuno, namun kebudayaan Huluan Jambi memiliki perbedaan dengan daerah-daerah tersebut. Begitu pula masuknya peradaban Islam, kebudayaan lokal nampaknya tidak lenyap sama sekali bahkan memperkaya kreasi seninya. Seni budaya tradisional sudah dipergunakan oleh nenek moyang kita dalam menyampaikan berbagai wujud hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan alam dan hubungan manusia dengan Tuhan.

Terciptanya suatu karya seni berangkat dari latar belakang budaya suatu suku bangsa yang telah diolah, diberi bentuk dan bersifat baku, biasanya sarat dengan nilai filosofis dan simbol etis. Begitupun produk seni budaya daerah Huluan Jambi dengan latar belakang sejarah kebudayaannya yang panjang, membuat sebagian tradisi purba dapat bertahan sampai saat sekarang, sebaliknya pada bagian lain dari tradisi purba itu telah tenggelam oleh arus zaman, dan tidak dikenal sama sekali oleh masyarakat sekarang.

Salah satunya adalah Kelitang Kayu, merupakan alat musik tradisional yang terdapat di Provinsi Jambi. Jenis alat musik Kelintang Kayu seiring waktu alat musik purba ini banyak berkembang di daerah Kabupaten Muaro Jambi, Sarolangun, Bangko dan Kerinci.

Alat musik ini merupakan alat musik yang terbuat dari kayu dan dimainkan dengan cara dipukul. Harmonisasi nada yang dihasilkan merupakan nada pentatonis. Nada-nada tersebut bersumber dari kayu yang ditala sedemikian rupa sehingga menghasilkan bunyi yang bernada do, re, mi so dan la.

Umumnya, alat musik Kelintang Kayu terbuat dari kayu Mahang, yaitu sejenis kayu ringan yang umumnya tidak digunakan sebagai bahan baku bangunan karena memiliki kekuatan yang rendah karena memiliki tingkat kepadatan yang rendah. Karakteristik tersebut membuat kayu Mahang memiliki berat yang lebih ringan dan lebih nyaring serta lebih mudah ditala untuk menghasilkan bunyi yang diinginkan.

Pada masanya Kelintang Kayu di mainkan di tepi rimba, di huma huma tengah padang, sendiri sambil bersyair, mengungkap rasa dan isi jiwa dengan mentala kelintang kayu, syair-syair yang dilantunkan, biasanya syair ratapan, ini dibuktikan dengan isi naskah-naskah kuno Incung yang ditulis di atas ruas-ruas bambu, salah satunya:

Tarabangun alah kau iya tubuh hati dingan ta / rang ih apa sabap karan itu aku handak / mamilang tutur papatah surat icung pa / ranggi ih apa sabap karana itu ih mandang / mandang tarabangur kau iya hati dingan tarang / ih apa sabap karana itu aku manyurat hari / alah patang bangkit alah riyang rindu hati / ih danga ngar nyanyi aku di ka’u hiya / burung harak harak batabung cakur tara / palimbang dingan jawa gumi harak du / hiya hacur kasih aku timbang / dinga nyawa itu kata aku di ka’u / duwa saliringhih ka’u nyanyi baruma di liring bukit habis padi dima / kan hanggang ih kami satana burung / pipit hilir mudik dihalar hu / rang badan aku kasiyan niyan ini.

Keselarasan dengan alam raya di dataran tinggi dan huluan Jambi, membentuk masyarakat dahulunya, peka dan halus isi jiwanya, nilai-nilai yang tumbuh ini menciptakan hubungan yang selaras dan seimbang dengan alam raya dan lingkungan sekitarnya, saling menjaga, saling menghormati, “Mengukur Sama Panjang, Menimbang Sama Berat, Menuai Pada Yang Patut, Mengambil Tuah Pada Yang Menang, Mengambil Bijak Pada Yang Tua, Memuliakan Yang Muda, Mendahulukan Tuo Tangganai”, nilai-nilai kuno ini yang sekarang hilang, sehingga langkanya “Menimbang Rasa”, di kehidupan modern ini, nilai-nilai yang tumbuh di masa lalu dianggap tak patut lagi, kuno, dan tak cocok buat zaman sekarang, padahal nilai-nilai kuno ini yang mengikat hubungan manusia antar manusia, manusia dengan alam raya, manusia dengan Sang Penciptanya, kita terlalu mengagungkan paham-paham modern, mengadopsinya kebablasan, ibarat menyemai bibit tak lagi melihat apakah bibit itu cocok di tanam di tanah kita? atau sebaliknya, arus modernisasi tak bisa kita tolak, karena itu sudah masa dan waktunya, namun dengan nilai-nilai kuno yang sarat akan isi “kearifan” akan membuat kehidupan di masa sekarang bisa “selaras dan seimbang”, bagaimana kita memanfaatkan produk masa modern ini secara bijak dan arif.

Dalam memacu pembangunan kebudayaan di daerah dan memobilisasi pelestarian kebudayaan yang punya nilai, rasanya Kelintang Kayu sebagai produk nenek moyang masa lalu, perlu dilestarikan, salah satunya adalah dengan mengadakan workshop musik yang membahas tentang alat musik Kelintang Kayu serta komposisi yang menyertainya. Untuk itu Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jambi, melalui UPTD Taman Budaya Jambi dan bekerja sama dengan budayawan, seniman dan komunitas seni, berencana akan mengadakan workshop musik Kelintang Kayu pada tanggal 8 s/d 9 Juni 2021.

Kita berharap kepunahan Kelintang Kayu tak terjadi, dan semua stakeholder paham akan kondisi ini, dan Taman Budaya Jambi, sebagai sentra dan laboratorium seni, rumahnya para seniman dapat berfungsi sepatutnya. Karena konsep pembangunan itu bukan hanya fisik, pembangunan kebudayaan dianggap tak seksi selama ini. Namun akar dari proses pembangunan suatu bangsa adalah kebudayaan, bagaimana manusianya bisa berbudaya sehingga tercipta peradaban yang selaras dan seimbang.***

*Penggiat Budaya Kota Jambi