Mendu merupakan karya budaya yang ditetapkan jadi warisan bersama antara Provinsi Kepri dan Kalimantan Barat. Mendu ditetapkan jadi warisan budaya tak benda (WBTB) bersama Kepri dan Kalbar.
Namun kondisi teater tradisional ini ada dan tiada. Dikatakan tidak ada, dia masih ada. Sementara bila dikatakan ada, pertunjukannya hampir tidak pernah diketahui masyarakat. Mengapa hal seperti ini terjadi? Barangkali perkembangan zaman menjadi salah satu penyebabnya. Kemajuan teknologi informasi sedikit banyak telah membuat terkikisnya tradisi atau kesenian daerah. Generasi muda kini kurang tertarik pada kesenian daerah. Hanya orang-orang tua dan segelintir generasi muda yang masih tertarik dan berusaha melestarikannya.
Mendu biasanya diawali dengan bunyi tabuh-tabuhan sebagai tanda untuk penonton berkumpul karena pertunjukan akan dimulai. Sebagai pembukaannya adalah nyanyian dan tarian, lalu perkenalan para pemain termasuk sang sutradaranya. Pertunjukan dilanjutkan dengan adegan-adegan pengantar menuju klimaks. Klimaks cerita adalah pertempuran yang berakhir dengan adanya pihak yang menang dan kalah. Pementasan kemudian diakhiri dengan kegiatan beremas lalu diikuti oleh layar yang tertutup.
Hikayat Dewa Mendu merupakan cerita yang panjang. Bila keseluruhan cerita ini dipentaskan akan diperlukan waktu berhari-hari. Akan tetapi, seperti teater tradisional yang lain, mendu dapat dipentaskan secara sepenggal-sepenggal atau per episode. Penonton tidak akan merasa kehilangan arah cerita karena mereka sudah sangat mengenal cerita tersebut.
Masyarakat juga tidak bosan untuk menonton berulang-ulang karena setiap pementasan pasti akan berbeda. Perbedaan setiap penampilan itu terjadi karena para pemain/aktor tidak bergantung pada naskah. Mereka menghapal cerita dan memahami alur cerita untuk kemudian mementaskannya dengan cara spontan, tidak kaku, dan penuh improvisasi.
Kekhasan lain teater mendu adalah penggunaan bahasanya. Para tokoh utama berdialog menggunakan bahasa Melayu variasi mendu, yaitu bahasa Melayu yang menggunakan pilihan kata khusus dan intonasi/tekanan yang berbeda dengan bahasa Melayu pesisir. Sedangkan tokoh-tokoh lain, yang menjadi pemeran pembantu, menggunakan bahasa Melayu pesisir. Sebagai contoh bahasa mendu adalah untuk kata saya digunakan kata mahdiri kami dan frasa ampun tuanku digunakan frasa ampun yadi tuanku. Selain variasi bahasa yang berbeda, tokoh utama mendu juga selalu menggunakan kacamata hitam dan memegang kipas. Hal ini tidak dilakukan oleh pemeran pembantu.
Teater mendu ini berasal dari Bunguran (merupakan pusatnya), lalu berkembang ke Natuna, Anambas, terus ke Sungai Ulu, Pulau Tiga, hingga ke Midai dan Siantan. Ketika Provinsi Kepulauan Riau masih menjadi bagian dari Provinsi Riau, mendu juga dikenal di Riau Daratan, terutama daerah pesisir. Sejak Kabupaten Kepulauan Riau menjadi provinsi yang terpisah, mendu tidak berkembang lagi di wilayah Riau Daratan.
Baru beberapa tahun terakhir ini, kelompok Teater Matan (Pekanbaru) melakukan revitalisasi mendu. Monda Gianes sebagai motor revitalisasi melakukan modifikasi agar mendu dapat diterima dengan baik oleh masyarakat, namun esensi atau ciri khas teater mendu tetap dipertahankan. Unsur yang dihilangkan hanyalah hal-hal yang berupa ritual kepercayaan/magis. Jadi pada dasarnya, mendu yang ditampilkan oleh Teater Matan sama dengan mendu yang terdapat di Kepulauan Riau.
Harapannya, semoga Teater Matan bukan satu-satunya kelompok yang merevitalisasi Mendu pada masa yang akan datang. Jika pementasan teater mendu telah rutin dilakukan tentu masyarakat akan semakin akrab dan dapat mengapresiasi kesenian ini dengan lebih baik. **