MENELISIK SEJARAH JAMBI KOTA SEBERANG

0
11741

Seberang Kota Jambi atau Sekoja adalah bagian utara Kota jambi yang dipisahkan oleh sungai Batanghari. Walaupun hanya berjarak beberapa ratus meter dari pusat Kota, namun Sekoja jauh tertinggal dibandingkan dengan bagian Kota Jambi yang lain. Tidak ada gedung tinggi, apalagi mall, yang ada hanyalah rumah-rumah panggung khas Jambi.
Seberang Kota Jambi adalah wajah Kota Jambi sebenarnya, tempat warga asli melayu jambi tinggal beserta adat istiadatnya, serta tempat peninggalan benda bersejarah yang masih bertahan dan terjaga baik dari gerusan zaman. Sekoja bersebelahan dengan pusat kota Jambi, namun untuk menuju kesana harus melintasi sungai Batanghari dahulu. Anda dapat menggunakan Getek (atau Ketek) ataupun perahu wisata tradisional Jambi yaitu “Kajang Lako”.
Perjalanan dengan perahu dari Pusat Kota menuju Sekoja hanya membutuhkan waktu 10-15 menit, dengan biaya 2000-5000 saja. Selain dapat ditempuh dengan jalur air, bisa juga ditempuh dengan menggunakan jalur darat namun memakan waktu yang lebih lama yaitu sekitar 20-40 menit. Kita harus berkendara ke Barat dahulu untuk melintasi Jembatan Aurduri (Batanghari I), baru kemudian memutar balik ke arah Sekoja. Kita juga bisa melalui Jembatan batanghari II di sebelah timur, namun memakan waktu yang cukup lama.
Begitu sampai di Sekoja, anda tidak akan merasa di dalam kota, namun terasa berada di tengah perkampungan tradisional. Sekoja memang seperti kampung di tengah Kota. Jika anda ingin melihat masyarakat Melayu Jambi disinilah tempatnya, disini mereka masih menjaga tradisi secara turun temurun. Mulai dari rumah yang mereka tempati yang sebagian besar masih berupa rumah panggung khas Jambi. Arsitektur rumah tradisional di Sekoja adalah perpaduan antara budaya Melayu, Tionghoa, dan Arab, karena ketiga budaya inilah yang memang sejak awal membentuk kawasan Sekoja menjadi seperti adanya sekarang.
Salah satu rumah tua yang sekarang menjadi benda cagar budaya adalah Rumah Batu, rumah yang berada di Jl. KH Ibrahim RT 02 Kelurahan Olak Kemang, Kecamatan Danau Teluk. Rumah ini merupakan peninggalan Sayyid Idrus bin Hasan Al-Jufri, salah seorang penyiar agama Islam pertama yang masuk Jambi.
Sayyid Idrus adalah sultan atau raja yang berkuasa di daerah itu pada dekade akhir abad ke-19 dengan gelar Pangeran Wiro Kusumo. Beliau merupakan seorang ulama keturunan Arab atau Yaman. Sayyid Idrus bin Hasan Al Jufri wafat tahun 1902 dan dimakamkan di depan masjid Ikhsaniyah yang didirikannya. Kini sekali dalam setahun keluarga besar beliau menyelenggarakan peringatan wafatnya Habib Idrus bin Hasan Al Jufri yang dipusatkan di masjid ini. peringatan tersebut di agendakan sekali dalam setahun, oleh pihak keluarga dan masyarakat muslim Sekoja (seberang kota Jambi) sebagai bentuk penghormatan atas jasa jasa beliau. Peringatan tersebut setiap tahun turut juga dihadiri oleh tokoh agama, alim ulama, cendikiawan, gubernur dan undangan lainnya.
Tanggal kelahiran Sayyid Idrus ini tidak diketahui, satu-satunya informasi dari dokumen Belanda yang menyebutkan bahwa pada tahun 1879, Sayyid Idrus berumur lebih dari 40 tahun. Bisa dikatakan bahwa beliau dilahirkan di Jambi sebelum tahun 1839 dari seorang ayah asli Arab atau Yaman. Masih berdasarkan dokumen Belanda, disebutkan bahwa Sayyid Idrus wafat di tahun 1905 meskipun di makam beliau dicantumkan angka 1902 sebagai tahun kematiannya.
Sayyid Idrus merupakan salah satu keluarga Al-Jufri di Jambi yang berasal dari golongan Sayyid (said). Keluarga Al-Jufri di Jambi turut memainkan peran mereka dalam perpolitikan sejak tahun 1812. Keluarga Al-Jufri yang datang ke Nusantara kemudian menikah dengan putri dari kalangan bangsawan karena memang wanita Arab tidak turut serta bermigrasi ke Nusantara.
Kelauarga Arab memainkan peran penting sebagai mediator antara penguasa lokal dengan penguasa penjajahan Belanda. Selain itu juga menjadi juru bicara antara keluarga Al-Jufri terhadap keraton Jambi dan Penguasa penjajahan Belanda. Sayyid Idrus memegang peran unik tersebut direntang waktu 1860 hingga wafatnya di tahun 1902 atau 1905. Sayyid Idrus menikah dengan Putri Sultan Nazaruddin dan mendapatkan gelar Pangeran Wiro Kusumo langsung dari Sultan.
Gelar Pangeran ini juga memberi kekuasaan kepada Sayyid Idrus untuk menjadi “pepati dalam” di keraton Jambi yang mengambil peran Sultan pada saat Sultan tidak ditempat. Menurut dokumen Belanda, pangeran Wiro Kusumo memainkan peran yang sangat penting ini di tahun 1858-1881 ketika Sultan Nazaruddin lebih banyak memilih mengasingkan diri ke tempat yang jauh dari keraton untuk menjaga jarak dengan penguasa penjajah Belanda di Jambi. Mungkin itu sebabnya beberapa penulis bahkan sempat menyebut pangeran Wiro Kusumo sebagai Sultan Jambi. Bisa di maklumi, karena Pangeran Wiro Kusomo memang memiliki pengaruh yang begitu besar di keraton Jambi, selain sebagai menantu dari Sultan Nazaruddin beliau juga merupakan besan dari Sultan Thaha Syaifuddin, Sultan Jambi Terahir yang tak lain juga merupakan ipar-nya sendiri.
Banyak orang bilang, Rumah Batu dulunya adalah istana. Dari bangunan ini sangat nampak sekali perpaduan dari Melayu, Cina dan Arab. Namun sayangnya kondisi Rumah Batu ini sudah sangat memprihatinkan. Dinding-dindingnya sudah ditumbuhi lumut, tumbuh-tumbuan pakis, dan rerumputan. Papan pintu pun sudah terlihat lapuk dan berlubang. Sementara, daun-daun kering berserakan di halaman. Rumah yang sebenarnya megah dan cantik ini malah terkesan angker dan menyeramkan. Sebagian besar yang datang kemari hanya untuk ber foto Pre-wedding saja.
Suasana Islam sangat kental sekali di Sekoja, terbukti dengan banyaknya Masjid, Madrasah dan Pondok Pesantren. Disini terdapat Masjid tertua di Kota Jambi yaitu Masjid Ikhsaniyyah atau yang lebih dikenal dengan nama Masjid Batu. Masjid ini didirikan pada tahun 1880 oleh Sayyid Idrus. Masjid Batu ini didirikan Sayyid Idrus untuk memenuhi fungsi tempat ibadah bagi masyarakat seberang kota Jambi. Masyarakat kota Jambi waktu itu yang sudah fanatik keislamannya memanfaatkannya sebagai tempat ibadah dan kegiatan sosial lainnya. Bangunan masjid ini telah mengalami perluasan oleh pemerintah Belanda semasa penjajahan dengan mempertahankan ciri ciri khas utamanya demi menjaga nilai historis-nya. Masjid ini berada di Jalan KH. Ibrahim, RT 05 Kelurahan Olak Kemang, Kecamatan Danau Teluk Kota Jambi.
Bangunan dalam masjid dipenuhi dengan hiasan kaligrafi berbagai rupa. Mimbar asli berdiri anggun di sisi kanan mihrab. Sementara beduk peninggalan terdahulu berada di bagian belakang ruang salat. Ciri mencolok dari masjid ini adalah banyaknya jendela. Jendela-jendela yang dipasang berpasangan itu mengelilingi masjid. Hanya tembok mihrab yang tak berjendela. Sekitar tahun 60-an, Masjid Ikhsaniyyah merupakan tempat orang menyelesaikan sengketa. Jika ada orang berselisih perihal kepemilikan tanah, tuduhan mencuri, dan lain sebagainya orang akan membawa perkara itu ke masjid dan mengambil sumpah dengan disaksikan para penduduk dan pemuka agama.
Hingga kini, masih ada kebisaaan dan adat istiadat yang dilakukan Sayyid Idrus (Pangeran Wiro Kusumo) semasa hidup yang masih dilakukan keturunan dan pengikutnya sampai sekarang. Salah satunya adalah menyantap makan dalam tempeh (wadah besar) ramai-ramai. Tradisi seperti itu memang merupakan salah satu tradisi para ulama yang berasal dari Yaman yang kemudian berkembang di tanah air. Tadisi yang sama dapat juga dijumpai di masjid masjid tua lainnya di tanah air seperti di Masjid Sultan Palembang ataupun Masjid Al-Hawi di Condet, Jakarta.
Menurut Habib Salim, seorang pengurus masjid, masjid ini diyakini memiliki keramat tersendiri karena jika ada yang berani bersumpah palsu di dalamnya, maka dia akan mengalami bala atau hal lainnya. Karena itulah, pada masa itu Masjid Batu amat masyhur dan tak ada seorang pun yang berani mengambil risiko bersumpah palsu di dalamnya. Banyak orang-orang yang berdusta yang awalnya berani bersumpah di dalamnya. Namun, setelah sampai mereka tak berani dan mengakui perbuatannya. Jika ada yang bersalah dan tak mengakui perbuatannya sampai diambil sumpahnya, orang itu akan menggelepar tak sadarkan diri. Dan jika ia sudah sadar biasanya orang yang bersalah itu akan mengakui perbuatannya.
Namun sayang, tradisi itu sudah hilang sama sekali. Tak ada lagi orang yang menjadikan masjid itu sebagai sarana mempertemukan kebenaran dan mencari keadilan. Tradisi sumpah itu mulai terlupakan, hanya kalangan tua saja yang mengetahui kisah tersebut.
Pada tahun-tahun awal abad ke-20, perkembangan Islam di Jambi maju pesat. Hal ini seiring dengan majunya pendidikan keislaman di Jambi yang ditandai dengan berdirinya empat pesantren utama, yaitu Pesantren Nurul Iman, Pesantren Saadad Daarain, Pesantren Jauharain, dan Pesantren Nurul Islam. Keadaan ini membuat kesadaran keislaman penduduk semakin mengkristal dan menjadikan kawasan seberang kota Jambi banyak didatangi orang dari berbagai daerah untuk belajar.
Keadaan ini tentu saja berpengaruh bagi Masjid Batu. Makin lama jamaah masjid itu semakin penuh hingga akhirnya tak lagi mampu menampung jamaah yang terus membludak, terlebih pada Shalat Jumat. Maka tokoh-tokoh masyarakat lalu menggelar musyawarah dan bermufakat untuk memperbaharui masjid. Disepakati dana pembangunan masjid dikumpulkan dari sedekah dan infaq masyarakat sampai akhirnya terkumpul dana yang cukup untuk memugar masjid. Saat itu tahun menunjukkan angka 1935. Karena berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda, para tokoh masyarakat meminta izin kepada Belanda, lalu masuklah permohonan pemugaran masjid ke pemerintah Belanda yang ada di Jambi dengan menceritakan latar belakang dan sejarah berdirinya masjid.
Tahulah Belanda bahwa Masjid Batu tersebut merupakan peninggalan Sayyid Idrus yang merupakan salah seorang sultan Jambi yang bergelar Pangeran Wiro Kusumo. Karena menganggap bahwa masjid tersebut bernilai sejarah sebagai masjid sultan, tahun 1937 pihak kolonial mengambil alih pembangunan masjid. Dana pun turun dari pihak kolonial dan pembangunan sepenuhnya berada dalam pengendalian Belanda. Padahal awalnya para tokoh masyarakat hanya perlu izin karena dana sudah tersedia. Jadilah dana dari masyarakat itu tidak terpakai yang akhirnya digunakan untuk membuat pagar mengelilingi masjid.
Selain itu banyak Madrasah -Pesantren Tua yang sudah berumur Puluhan tahun. Salah satunya adalah Madrasah Nurul Iman yang sudah berdiri sejak Tahun 1915. Lulusan madrasah ini banyak menjadi pejabat penting seperti mantan Gubernur Jambi Abdurrahman Sayoeti, Gubernur Riau Rusli Zainal, dan tokoh penting lainnya. Selain kental dengan nuansa Islami, masyarakat Sekoja juga kental dengan berbagai tradisi dan budaya. Salah satunya adalah Batik Khas Jambi. Sekoja adalah pusat produksi Batik Jambi. Disini anda dapat melihat proses pembuatan batik bahkan dapat terlibat langsung dalam proses pembuatannya.
Batik tulis jambi memiliki ciri khas yang unik dan eksotis. Baik dari segi warna maupun motifnya. Sebagian besar pewarna batik jambi diambil dari bahan-bahan alami, yaitu campuran dari aneka ragam kayu dan tumbuh-tumbuhan yang ada di jambi, seperti getah kayu lambato dan buah kayu bulian, daun pandan, kayu tinggi dan kayu sepang. Motif yang ada diantaranya motif Durian Pecah, kaca piring, puncung rebung, angso duo bersayap mahkota, Tampuk Manggis, Kapal Nyanggat, dan lain-lain.
Di Sekoja banyak sanggar batik, salah satu diantaranya adalah di Kreasi Batik Asmah, Milik Azmiah di Jl. H Somad No 41, Olak Kemang, Danau Teluk Jambi. Tepat di depan tempat penyeberangan Sekoja, terdapat Bangunan khas jambi yang merupakan Balai Kerajinan Rakyat Selaras Pinang Masak. Disini anda dapat melihat berbagai kerajinan khas Jambi terutama Batik. Sebagian jalan di Sekoja langsung berhadapan dengan Sungai Batanghari dan hanya dibatasi oleh Pohon Palem yang tersusun rapi di sepanjang tepian sungai. Tepian sungai pun sudah dilapisi dengan tembok sehingga anda dapat bersantai duduk ditepian sungai sambil menikmati pemandangan Pusat Kota Jambi dari Seberang dan berbagai aktivitas masyarakatnya di atas Sungai Batanghari.