Berapa jumlah orang Suku Laut di Kepri? dimana persebarannya? berapa jumlah yang sudah menetap dan yang masih mengembara?
berapa yang beragam Islam, Kristen atau masih belum memiliki agama? bagaimana kondisi pendidikan orang laut, bagaimana
kondisi perumahan, kesehatan, serta kondisi sosial ekonomi lainnya. Banyak pertanyaan yang bisa diajukan terkait eksistensi
Orang Laut di Kepri. Hal yang sudah itu menjawab pertanyaannya. Adakah lembaga atau instansi yang memiliki data yang akurat
terkait populasi Orang Laut di Kepri? ini menarik untuk dikaji dan dicarikan solusinya.
Orang laut atau suku laut adalah kelompok masyarakat yang mempunyai kebudayaan bahari yang semurni-murninya. Kondisi kekinian, orang laut banyak yang hidup menetap. Ini berkembang dari konsep awal kategori orang laut. Menurut AB Lapian (1986 dan 2009), orang laut adalah suku bangsa yang bertempat tinggal di perahu dan hidup mengembara di Perairan Provinsi Kepulauan Riau sekitarnya, dan pantai Johor Selatan.
Berbicara tentang orang laut dapat dipastikan akan berawal dari soal penamaan. Orang suku laut memiliki bermacam penamaan. Penamaan ini muncul dari para peneliti ilmu sosial, masyarakat setempat (orang Melayu), maupun diri mereka sendiri. Di Kepulauan Riau, mereka dikenal juga dengan nama orang pesukuan, yaitu orang yang terbagi dalam berbagai suku. Suku-suku atau kelompok masyarakat ini dahulunya tunduk kepada sultan Kerajaan Riau-Johor yang abad 19 terbagi dua. Orang laut atau pesukuan hidupnya ada yang di darat, teluk, muara sungai dan di laut.
Banyak lagi nama lain. Sebut saja orang sampan atau mengacu pada tempat tinggal, seperti Orang Mantang (mendiami Pulau Mantang, Bintan), Orang Tambus (mendiami Tambus di Galang), atau Orang Mapor (mendiami Pulau Mapor atau Mapur, Bintan). Dalam berbagai literatur berbahasa Inggris, orang laut dinamai juga beragam. Misalnya sea nomads, sea folk, sea hunters and gatherers. Ada juga ditemukan istilah sea forager, sea gypsies dan people of the sea. Meski beragam sebutan, oleh sebagian besar orang Melayu Kepulauan Riau, termasuk oleh orang Riau daratan, nama orang laut yang istilah paling populer.
Istilah Orang Laut yang disepakati orang Melayu ini bukan hanya berlaku bagi Orang Suku Laut sebagai masyarakat pengembara lautan (sea forager), tetapi juga diberikan kepada mereka yang hidup di sepanjang pesisir pantai di Kepulauan Riau. Mereka ini awalnya merupakan bagian dari Suku Laut, namun
telah dimukimkan.
Jumlah orang laut di Kepulauan Riau lumayan besar. Data tahun 1972 dari Jawatan Sosial Tanjungpinang, jumlah orang laut di Riau (dimekarkan menjadi Kepri), 5205 orang. Jumlah suku terasing totalnya 21.711 orang. Perinciannya, Suku Sakai 4075 orang, Talang Mamak 6165 orang, Suku Orang Hutan 2938, Suku Bonai 1428 orang dan Suku Akik 1900 orang. Kini 40-an tahun berlalu, orang laut di Kepri masih banyak ditemukan. Ada yang sudah bermukim dan ada yang masih mengembara di laut. Banyak pemukiman orang laut yang dibangun pemerintah. Sebut saja di Pulau Lipan, Kelumu, Sungai Buluh, Tanjungkelit, Kelumu dan Tajur Biru di Kabupaten Lingga. Di Bintan juga ada di Air Kelubi, sementara di Batam, orang laut dibuat pemukiman di Pulau Bertam, Air Mas, Tanjungundap dan Ngenang.
Tahun 1993, Orang Laut di Kabupaten Kepulauan Riau (sebelum dimekarkan) berjumlah 626 rumah tangga dengan jumlah atau 2.710 orang. Tersebar di 24 permukiman di darat, 19 desa dan 9 kecamatan. Sejak tahun 1982 pemerintah, melalui Departemen Sosial membuat pemukiman untuk Orang Laut. Sebanyak 840 orang dari 209 KK dimukimkan.. Tersebar di lima lokasi. Yakni, Desa Seibuluh (Kecamatan Singkep), Desa Penuba (Kecamatan Lingga), Desa Karas (Kecamatan Galang), dan Kelong (Air Kelubi) yang berada di Bintan Timur. Selain dimukimkan, masih ada sebanyak 1.870 orang atau 417 rumah tangga yang hidup di laut.
Mendata Ulang
Program apapun terkait dalam pemberdayaan Orang Laut di Kepri mustahil optimal kalau tak ada akurat
mengenai populasi Orang Laut di Kepri. Penelusuran diwebsite Badan Pusat Statistik (BPS) Kepri, Dinas Sosial Kepri
dan instansi lain, tak ditemukan data populasi jumlah Orang Laut di Kepri. Hal yang sama juga berlaku untuk nama lain Suku Laut
yang dalam bahasa pemerintah dikenal dengan Komunitas Adat Terpencil (KAT).
Pemerintah daerah di Kepri juga belum menunjukkan keberpihakan atau memiliki program-program dalam pemberdayaan Suku Laut.
Program yang ada masih seputar rehab rumah tak layak huni (RTLH), nikah massal dan pembagian akte kelahiran gratis. Itu pun
sifatnya skala kecil, seperti yang ada di Lingga. Pemukiman Suku Laut baru ramai didatangi saat momen pilkada atau momen
jelang pemilu.
Pendataan populasi Orang laut tak susah. Pemda memiliki perangkat pemerintahan hingga tingkat desa. Kepala desa dan jajaran hingga RT/RW
bisa dimanfaatkan dalam pendataan ini. Diyakini datanya lebih akurat karena kepala desa/lurah paling tahu kondisi daerahnya. Lebih akurat
ketimbang memanfaatkan lembaga atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam mendata. Logikanya dalam menjangkau wilayah Kepri yang ribuan
pulau tak mudah. Memerlukan dana, waktu dan tenaga yang besar dalam pendataan jika tak melibatkan perangkat desa/kelurahan.
Data yang dicari tentunya tak hanya jumlah penduduk dan kepala keluarga saja melainkan juga kondisi perumahan, pendidikan, kesehatan
dan sosial ekonomi lainnya. Hasil pendataan nantinya dapat tergambar jumlah Orang Laut yang sudah menetap dan yang masih mengembara (nomaden).
Banyak manfaat lain dari hasil pendataan. Dapat diketahui kondisi riil Orang Laut yang menyebar dari Pulau Mengkait (Anambas), Tambelan,
pulau-pulau di Bintan, Batam hingga ke ujung Lingga.
Menyebut pendataan bahasanya mudah. Namun mewujudkan itu perlu kemauan dan kebijakan pemerintah daerah, termasuk perguruan tinggi dan instansi
lain yang ada di Kepri. Kalau mengaku peduli pada nasib Orang Laut di Kepri, mari data Orang laut di wilayah masing-masing. Orang Laut jangan
hanya dijadikan komoditas politik dan pencitraan, tanpa memperhatikan nasib mereka. Peduli, mulailah mendata.**