Melestarikan Bahasa Melayu Kepri

0
2597

Oleh:
M Fadlillah
(Pemerhati Budaya Lingga)

Di zaman kerajaan Lingga-Riau, bahasa Melayu mendapat perhatian besar dari kalangan bangsawan pulau Penyengat. Pulau Penyengat sebagai tempat kedudukan Yang Dipertuan Muda bukan saja pusat menjalankan pemerintahan Kerajaan Lingga-Riau, tetapi tempat berkumpulnya para tokoh yang peduli dengan bahasa Melayu, dan melahirkan berbagai karangan tentang bahasa dan sastra.

Di antara tokoh Riau, yang paling utama dan juga pakar dalam bahasa Melayu sekaligus pujangga besar Melayu yang bermastautin di pulau Penyengat, ialah Raja Ali Haji bin Raja Ahmad. Raja Ali Haji yang juga sekaligus pejabat kerajaan dan ulama, menghasilkan karya tulis antara lain di bidang sejarah, bahasa, sastra dan agama. Dua Kitab tentang bahasa Melayu, yang dikarang oleh Raja Ali Haji, yakni Bustanul Katibin tentang tata bahasa Melayu dan Kitab Pengetahuan Bahasa sebagai kamus bahasa Melayu. Dari Kitab pengetahuan bahasa, orang akan memahami makna dari berbagai kosakata standar Melayu.

Usaha-usaha Raja Ali Haji dalam pembinaan bahasa Melayu itu tentunya untuk mengangkat bahasa Melayu Riau menjadi bahasa Melayu standar sehingga menjadi bahasa yang lebih baik lagi dan memudahkan orang-orang untuk mempelajari tentang kaidah-kaidah bahasa Melayu yang telah lama menjadi bahasa Lingua Franca. Apa yang telah di usahakan oleh Raja Ali berhubungan juga dengan pelestarian bahasa Melayu ditengah maraknya pengaruh budaya kolonial dan pihak asing, yang bisa meminggirkan atau mencederai bahasa Melayu.
Mengenai hal ini, Dalam kitab Pengetahuan Bahasa, Raja Ali Haji menyatakan “… dan tutur kata pun berubah pula, sungguh pun bahasa Melayu diperbuatnya kacau-kacaukan Belanda atau Inggeris pula, dan ada setengah berkata-kata menyebut kata itu. Bilang seperti katanya, dia bilang atau saya bilang, dan sudah pula bahasa Melayu itu diubah pula peraturan, seperti pasti dikatanya dengan musti, dan jika berkata nanti saya beri tahu dikata pula nanti saya kasih tahu dan jika bertanya ini, ini berapa harga ? dikata, ini barang berapa punya harga. Dan banyak lagi lain-lain daripada itu, bahasa yang dikacau-kacaukan,…”

Di masa penjajahan Belanda, bahasa Melayu tetap menjadi bahasa persatuan rakyat yang terdiri dari berbagai suku bangsa. Para pejuang atau kaum nasionalis menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan dan alat perjuangan. Seterusnya bahasa Melayu akan dijadikan bahasa nasional negara Indonesia. Walau pun bahasa Melayu telah menjadi bahasa persatuan yang telah bersebati dengan rakyat Indonesia, namun telah terjadi perbedaan pendapat antara kaum nasionalis karena faktor politik persatuan.

Pada persiapan Kongres Pemuda tanggal 2 Mei 1926, tentang garis besar Sumpah Pemuda, terdapat permasalahan tentang nama bahasa persatuan bangsa Indonesia. Muhammad Yamin berharap bahasa persatuan yakni bahasa Melayu, dalam Sumpah Pemuda tetap disebut sebagai bahasa Melayu, tetapi Mohamad Tabrani meminta untuk diubah, dengan nama bahasa Indonesia. Usul Muhammad Yamin sebenarnya wajar, karena bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu. Pada akhirnya Muhammad Yamin terpaksa menyetujui penggantian nama menjadi bahasa Indonesia. Selanjutnya setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, bahasa Melayu yang telah berganti nama menjadi bahasa Indonesia, ditetapkan sebagai bahasa nasional dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Bahasa Indonesia sebagai nama baru dari bahasa Melayu, tentu punya asal usul. Tentunya perlu diketahui juga bahasa Melayu daerah manakah yang diambil menjadi bahasa Indonesia. Menurut Achdiati Ikram dkk (2009:45) “Namun harus dicatat bahwa bahasa Melayu yang menjadi bahasa Indonesia, bukan bahasa Melayu rendah itu, melainkan bahasa Melayu standar berasal dari Riau, yang sudah menjadi norma bahasa Melayu yang baik dan benar, khususnya bahasa tulis selama berabad-abad”. Dalam hal ini, Riau yang dimaksudnya bukan wilayah Riau di Provinsi Riau dengan ibu kota Pekanbaru, tetapi Riau yang dulu bagian dari Kerajaan Lingga-Riau dan sekarang berada di wilayah Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau.
Sebenarnya bahasa Melayu sejak dijadikan bahasa Indonesia menjadi bertambah kokoh, dan terus dilestarikan oleh mayoritas penduduk Indonesia, serta bertambah kaya raya dengan kata serapan dari bahasa asing. Termasuk di Kepulauan Riau, bahasa Melayu masih dipakai di sekolah, kampus, perkantoran dan terus dipakai sebagai bahasa penghubung. Hanya saja sebagian masyarakat tidak menyadarinya. Dianggap bukan bahasa Melayu tetapi bahasa Indonesia, karena diucapkan sesuai bahasa standar tulis. Seperti sebagian orang Lingga menyebut kata lurus, kemarin, dan rupa, dianggap tidak menggunakan bahasa Melayu. Jika disebutkan kata lughos, kemaghen, dan ghupe dianggap bahasa Melayu. Kata jernih. Lurus dan rupa yang diucapkan itu sebenarnya bahasa Melayu sesuai dengan ejaan standar tulis. Hal ini yang perlu dipahami oleh orang Melayu. Walau pun bahasa Indonesia itu telah bertambah kaya raya dengan serapan kata asing tetapi bahasa Melayu masih menjadi mayoritas dan menjadi paling utama. Tidaklah dapat kita katakan bahasa Indonesia itu bukan lagi bahasa Melayu.
Dalam prakteknya bahasa Melayu Kepulauan Riau terdiri bahasa tulis dan bahasa lisan. Bahasa Melayu standar tulis menjadi pemersatu dan penghubung bagi seluruh orang Melayu diberbagai daerah di Kepulauan Riau dalam menggunakan bahasa tulis. Bukan saja sekadar sebagai bahasa penghubung di Kepulauan Riau, tetapi juga bahasa Lingua Franca di Nusantara. Bahasa Melayu tulis, merujuk kepada bahasa Melayu Riau yang dibina oleh Raja Ali Haji di Riau pulau Penyengat. Dalam penggunaan kosakata merujuk kepada Kitab Pengetahuan Bahasa dan naskah-naskah tulisan para pengarang Lingga-Riau. Sedangkan Bahasa Melayu lisan seluruh Kepulauan Riau sebagian besar tidak mengikuti kaidah ejaan bahasa Melayu standar tulis, namun terdiri dari beberapa dialek tertentu. Bahkan terdapat berbagai kosakata dalam dialek daerah tertentu tidak menjadi bagian dari bahasa Melayu standar tulis.

Dalam berkomunikasi lisan penutur menggunakan bahasa Melayu sesuai dengan dialek masing-masing. Misalkan dialek bahasa lisan orang Daik sebagai tempat yang dulu sebagai pusat kedudukan Sultan Lingga Riau, dalam menuturkan bahasa Melayu sebagian besar tidak mengikuti kaidah bahasa standar tulis. Dalam menuturkan kosakata standar tulis, ada huruf tertentu yang dihilangkan dan diganti huruf lain, seperti setiap kosakata berakhiran huruf a diganti dengan huruf e pepet. Namun ada juga yang boleh tidak diganti dengan huruf e pepet, tetapi ditambah huruf lain diakhir kata, seperti bapa menjadi bapak, dan juga menjadi jugak. Ada juga kosakata tertentu yang dua huruf di akhir kata, dilenyapkan dan diganti dengan huruf lain seperti kata campur menjadi campo, belukar menjadi beluka.

Penggunaan bahasa Melayu lisan sesuai dialek masing-masing daerah dalam kehidupan sehari-hari perlu dilakukan dengan baik dan benar, sehingga menunjukkan bahasa yang indah, manis dan beradab. Di masa yang lalu pun, bahasa Melayu telah mendapatkan pujian dari orang Eropa, sebagaimana yang dinyatakan Marsden (1999:129) “Kemasyhuran bahasa Melayu diakui kalangan pendatang karena mudah pengucapan dan manisnya bunyi sehingga mendapat julukan bahasa Itali Timur.” P Boze pula dalam pengantar Dictionnaire Francais at Malais, mengatakan bahawa bahasa Melayu sebagai bahasa Timur yang paling lembut, bahasa yang sangat terpakai dalam perdagangan, dapat dibandingkan dengan bahasa Perancis di Eropa (Hasan Junus, 2002:106). Bahkan, para serdadu VOC yang menyerang Siak tahun 1761, mendengar makian orang Melayu menggunakan bahasa Melayu yang indah. Dalam peristiwa ini Netscher menceritakan, “Pada malam harinya terdengar maki-makian dari bangsat-bangsat itu dalam bahasa Belanda yang baik dan dalam bahasa Melayu yang Indah” (Wan Ghalib dkk, 2002:211).
Nampaknya dalam suasana perang yang panas dan penuh amarah, orang Melayu tetap mempertahankan kualitas dan mutu bahasanya. Boleh jadi, maki-makian adalah pepatah, pantun dan gurindam yang membangkitkan semangat perlawanan dan sindiran kepada serdadu musuh.

Untuk menunjukkan bahasa yang halus, indah, manis dan beradab, Bahasa Melayu mempunyai kaidah tersendiri dalam penggunaan kata-kata tertentu. Bahasa yang digunakan seperti kata orang Melayu tidak “sesuka tekak atau pun sedap mulut”. Seperti menempatkan kata aku dan engkau, tentunya kata aku dan engkau tidak bisa digunakan dalam berkomunikasi dengan semua orang. Akan dianggap kasar jika digunakan kepada orang tertentu. Misalkan, seorang bawahan, berbicara menggunakan kata engkau terhadap atasannya akan dianggap kasar dan tidak sopan. Bahkan untuk menghormati dan dianggap santun, sampai masa kini sebagian orang di Kepulauan Riau masih lagi mempertahankan budaya lama, memanggil seorang laki-laki dari keturunan sultan atau habib dengan panggilan Pak Engku atau Engku.

Penggunaan bahasa Melayu lisan sesuai dialek masing-masing daerah menunjukkan indentitas daerah dan budaya Melayu Kepulauan Riau. Berkenaan dengan bahasa, dalam Gurindam 12 karangan Raja Ali Haji, pada pasal yang kelima, bait yang pertama dikatakan,
Jika Hendak mengenal orang yang berbangsa
Lihat pada budi dan bahasa.

Mengenai pasal ke lima bait yang pertama, menurut Maswardi Muhammad Amin (2012:32) “Pasal ini erat kaitannya dengan pendidikan budi pekerti. Orang berbangsa artinya orang yang berbudi pekerti luhur, berakhlak mulia, beradab, tahu sopan santun, bertatakrama, hormat dengan orang tua bagi yang muda. Orang yang berbudi pekerti seperti ini dapat dinilai dari budi dan bahasanya. Bahasa yang diucapnya halus dan ramah, orang seperti ini adalah orang yang memiliki budi pekerti, inilah hakekat dari anak bangsa yang berbudi pekerti.”

Beberapa daerah yang punya bahasa Melayu dengan dialek berbeda, tentunya perlu dialek penghubung. Untuk bahasa penghubung antar daerah yang punya dialek tersendiri, digunakan bahasa lisan dialek Daik atau pulau Penyengat. Bahasa lisan dialek Daik dan pulau Penyengat sebenarnya dialek Riau. Dari wilayah Riau menyebar dan berkembang pesat di Daik pulau Lingga, hal ini terjadi akibat perpindahan secara besar-besaran orang Melayu Riau ke Lingga di tahun 1787. Waktu itu Mahmud Riayat Syah Sultan Johor, Pahang, Riau dan Lingga yang tengah mengadakan perlawan terhadap VOC Belanda, berpindah bersama dengan rakyatnya dengan lebih kurang dua ratus buah perahu besar kecil ke Daik. Masa itu, wilayah pulau Lingga dipimpin oleh penguasa bawahan Sultan yang berasal dari keturunan Melayu Jambi. Perpindahan ini telah pun membawa budaya termasuk bahasa Melayu Riau. Kita bisa melihat sampai ke hari ini, bahasa lisan dialek Daik, tidak dipakai oleh masyarakat seluruh kepulauan Lingga, kecuali di wilayah Daik dan desa-desa tertentu. Bahkan orang Kampung Merawang, keturunan pulau Bangka yang berhijrah ke Lingga zaman Sultan Mahmud Syah III, yang bersebelahan dan bertetangga dekat dengan wilayah Daik, dalam menggunakan bahasa lisan dilingkungannya masih menggunakan dialek Melayu daerah Merawang di pulau Bangka. Untuk mudah dipahami agar tidak salah tempat, karena adanya nama Provinsi Riau, perlu diganti nama menjadi bahasa lisan dialek Melayu Kepulauan Riau.

Untuk mempertahankan bahasa Melayu lisan sesuai dialek daerah masing-masing, orang Melayu tidak perlu malu dan merasa aneh untuk menggunakan kosakata daerah masing-masing dalam berkomunikasi di ruang publik, kantor, sekolah, dan lain-lain. Penggunaan bahasa Melayu lisan bukan saja sesuai dialek masing-masing dengan menghilangkan dan mengganti huruf tertentu dalam setiap kosakata, tetapi terus melestarikan kosakata lama yang telah ada sejak masa lampau. Namun, tentunya dalam berbahasa perlu dilihat siapa lawan bicara. Jika lawan bicara tidak memahami, maka pelestarian bahasa lisan dialek daerah itu akan menjadi sia-sia. Untuk berkomunikasi dengan penutur yang berbeda, untuk memudahkan digunakan bahasa lisan dialek Riau sebagai bahasa pemersatu. Sepatutnya, seluruh orang Melayu Kepulauan Riau memahami bahasa lisan dialek Melayu Riau sehingga bahasa persatuan Melayu Kepulauan Riau dapat terus tegak ditengah serbuan bahasa asing
Untuk terus mengokohkan dan mempertahankan bahasa persatuan Melayu Kepulauan Riau, perlu merujuk kepada bahasa Melayu Riau standar tulis yang dibina oleh Raja Ali Haji, yang kini sebagian kosakatanya telah pun punah akibat pengaruh perubahan zaman.
Kitab Pengetahuan Bahasa karya Raja Ali Haji sebagai rujukan bahasa Melayu standar perlu digaungkan lagi. Perlu kiranya diadakan suatu penelitian dan menerbitkan kamus bahasa bahasa Melayu Kepulauan Riau. Kamus baru ini merujuk kepada Kitab Pengetahuan Bahasa dan ditambah dengan kosakata Melayu yang dipungut dari berbagai naskah lama karangan penulis Riau-Lingga, dan kosakata yang biasa dipakai oleh seluruh orang Melayu Kepulauan Riau sejak zaman Kerajaan Lingga-Riau atau sebelumnya.
Kamus ini menjelaskan juga tentang cara menuturkan kosakata yang tidak mengikuti kaidah bahasa tulis. Sehingga orang Melayu Kepulauan Riau memahami kaidah bahasa Melayu standar tulis dan lisan. Jika tidak ada upaya untuk melestarikan kosakata Melayu Kepulauan Riau, maka kita akan kehilangan sebagian warisan yang berharga dalam bidang bahasa. Untuk itu orang Melayu Kepulauan Riau perlu banyak berterima kasih dengan Raja Ali Haji yang telah mewariskan Kitab Pengetahuan Bahasa, yang berisikan berbagai kosakata Melayu yang patut menjadikan rujukan untuk generasi masa kini. **