Kepulauan Meranti, Negeri Fajar atau Tanah Jantan adalah sebutan untuk gugusan pulau yang terhampar di Pantai Timur Sumatra. Meranti terdiri dari Pulau Merbau, Rangsang, Tebing Tinggi, Padang dan Topang dan sejumlah pula kecil lainnya. Kepulauan Meranti berada di Muara Sungai Siak dan segaris dengan Selat Malaka.
Ibukota Meranti bernama Selatpanjang. Bandar dagang yang ramai sejak Zaman Kesultanan Siak Sri Inderapura. Tak sebesar Malaka atau pun Tumasik yang berubah nama jadi Singapura. Selatpanjang berada di Pulau Tebingtinggi. Penamaan Selatpanjang antara lain disebabkan karena di depan bandar tersebut ada sebuah selat yang panjang.
Soal julukan Tanah Jantan, Kasi Sejarah Dikbud Meranti, Abdullah mengartikan Tanah Jantan sebagai tanah yang selalu panas dan tidak suka mentolerir kemaksiatan yang berlaku di perutnya. Masyarakat Selatanjang dan sekitarnya tergolong amat berani.Ekspresi mereka begitu lepas dan terbuka. Tak takut konflik. Karakter orang Selatpanjang amat berbeda dengan Orang Siak atau pun orang Kepulauan Riau yang hidup dekat dengan pusat Kerajaan Melayu.
Kondisi ini tak terlepas dari geografis Selatpanjang yang menjadi kota transit dan berada di mulut Sungai Siak dan Kampar. “Selatpanjang menjadi fasilitator antara Riau Daratan dan Riau Kepulauan,”kata budayawan Melayu, Yusmar Yusuf. Berperan sebagai fasilitator dua kawasan menjadikan Selatpanjang secara ekonomi maju sejak lama. Akhir tahun 1970-an, Selatpanjang begitu ramai karena maraknya ekspos kayu log. Kapal tanker merapat ke Selatpanjang. Transportasi langsung Selatpanjang-Singapura sangat lancar. Penduduk Selatpanjang menumpuk dipinggiran pantai dan sangat padat.
Penduduk Selatpanjang sangat heterogen. Melayu mendominasi dan Tinghoa sekitar 30 persen. Aura Tianghoa sangat terasa di kota ini. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Meranti 2016, jumlah vihara (kelenteng) di Meranti 55 buah. Sekitar 30-an vihara/kelenteng berada di Selatpanjang. Tak heran disepanjang jalan kita dapat melihat banyak sekali vihara.
Penduduk Selatpanjang yang heterogen menjadi keunggulan dan keunikan Selatpanjang. Disisi lain jika tak terkelola dengan baik, bisa menjadi sumber permasalahan. Selatpanjang rawan terjadi konflik antar etnis. Dalam sejarahnya sudah beberakali kasus rusuh etnis di Selatpanjang, khususnya berkaitan dengan etnis Tionghoa.
Selatpanjang juga didentik dengan becak. Di pelabuhan, di depan hotel atau di tempat keramaian tersedia transportasi becak motor atau becak sepeda. Becak menjadi moda transportasi yang favorit. Jumlah kendaraan roda empat jumlahnya minim. Hal ini tak terlepas dari kondisi jalan-jalan dalam kota Selatpanjang yang sangat sempit. Lalu lintas kendaraan roda dua dan becak begitu padat.
“Lebih aman naik becak saja. Kalau naik motor hati-hati. Kalau tak menabrak ya ditabrak. Jalan kecil, mtor begitu ramai. Becak ada dimana. Traffic light sering jadi pajangan saja,”kata Al Amin, wartawan koran harian yang asli anak Selatpanjang.
Negeri Bersejarah
Daerah Selatpanjang dan sekitarnya dulunya dibawah kekuasan Kesultanan Siak. Pada masa pemerintahan Sultan Siak VII, Sultan Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Syaifuddin Balawi (1784-1810), ia memberi titah kepada Panglima Besar Tengku Bagus Saiyid Thoha untuk mendirikan bandar di Pulau Tebing Tinggi. Selain tertarik dengan pulau ini karena pernah singgah ke sana, Tebingtinggi dibangun sebagai benteng menghadapi Kerajaan Sambas (Kalbar) yang dianggap bersekutu dengan Belanda.
Tahun 1805, Panglima Besar Muda Tengku Saiyid Thoha bergerak ke arah Alai dan melihat kondisi tanah yang ada di sana. Ia menghujamkan kerisnya ke tanah. Tanah Alai dianggap statusnya tanah jantan dan belum dimanfaatkan dalam waktu yang singkat. Panglima dan rombongan akhirnya sampai di pulau yang ada tebingnya dan terlihat tinggi. Tanahnya dianggap cocok dan pulau ini dibangun sebuah daerah yang diberi nama Negeri Makmur Kencana Bandar Tebing Tinggi. Inilah asal muasal kota Selatpanjang.
Tahun 1810, Sultan Syarif Ali mengangkat Panglima Besar Muda Tengku Saiyid Thoha sebagai penguasa di sana. Tahun 1880, Negeri Makmur Kencana Bandar Tebingtinggi dibawah kekuasaan JM Tengkoe Soelong Tjantik Saijet Alwi yang bergelar Temenggung Marhum Buntut. Ia bertanggungjawab langsung pada Sultan Siak. Saat inilah terjadi perselisihan dengan penguasa Belanda yang bernama Controleur Van Huis. Belanda mengubah nama Negeri Makmur Kencana Bandar Tebing Tinggi menjadi Selatpanjang.
Aksi ini ditolak oleh Tengkoe Soleong. Keduabelah pihak berdamai dan sepakat mengubah nama Negeri Makmur Kencana Tebingtinggi menjadi Negeri Makmur Bandar Tebingtinggi Selatpanjang tanggal 4 September 1899. Tengkoe Soelong sendiri wafat tahun 1908 dan makamnya ada di Jalan Teuku Umar, Selatpanjang.
Tanggal 19 Desember 2008, Selatpanjang dan daerah sekitarnya memekarkan diri menjadi Kabupaten Kepulauan Meranti berpisah dengan Kabupaten Bengkalis. Kabupaten Kepulauan Meranti secara resmi terbentuk berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2009 dan tanggal peresmian 16 Januari 2009. Ini buah manis perjuangan sejak lama. Sejak tahun 1957, Selatpanjang dan sekitarnya ingin menjadi daerah otonom.**
Sumber:
Afrizal Cik, Tanah Jantan Yang Melawan. Pekanbaru:LAM Meranti dan Yayasan Pustaka Riau, 2012.
Kompas, 22 Feruari 2001