Keris Melayu

0
20152

Keris adalah senjata, sekaligus karya seni yang bernilai tinggi. Keris dalam istilah Jawa sering disebut duwung, curiga atau tosan aji. Fungsi keris mengalami perubahan, dari yang semula sebagai senjata kemudian berubah menjadi benda keramat, pusaka yang dipuja, lambang ikatan keluarga, tanda jasa, tanda pangkat atau jabatan, kemudian yang terakhir sebagai barang seni dan cindera mata.

Keris sebagai karya seni mempunyai nilai seni pada keindahan bentuk dan bahan yang dipakai serta proses pembuatannya yang memerlukan waktu lama, ketekunan dan ketrampilan khusus. Orang yang memiliki cita rasa (taste) seni tinggi niscaya mengagumi keris sebagai artifak budaya yang berharga. Sebagai artifak budaya, keris adalah warisan khas kebudayaan Nusantara dan juga Melayu. Penggunaan keris sendiri tersebar di masyarakat rumpun Melayu. Oleh karena itu, keris lazim dipakai orang di Riau, Bugis, Jawa dan Bali sebagai pelengkap busana mereka. Seiring berjalannya waktu, keris kemudian menyebar ke kawasan lain di Asia Tenggara, terutamanya yang mempunyai asas kebudayaan Melayu, seperti Malaysia, Brunei, Filipina Selatan, Singapura dan Thailand Selatan.

Ada banyak teori yang coba menjelaskan tentang asal usul keris di Nusantara. G.B. Gardner dalam bukunya Keris and Other Malay Weapon, keris dianggap sebagai perkembangan dari jenis senjata tikam zaman pra-sejarah yang terbuat dari tulang ikan pari. Cara membuatnya adalah dengan memotong tulang ikan pari pada pangkalnya, kemudian pada tangkainya dibalut kain, sehingga dapat digenggam dan mudah dibawa. Sedangkan, Harsrinuksmo mengatakan teori tersebut banyak kelemahan, karena tradisi pembuatan keris yang tertua di Indonesia tidak berkembang di kawasan pesisir, tetapi di pedalaman pulau Jawa. A. J. Barnet Kempers menyatakan bahwa munculnya tradisi pembuatan keris di Nusantara dipengaruhi kebudayaan perunggu yang berkembang di Dongson, Vietnam, sekitar abad ke-3 M. Kempers menduga bahwa keris adalah perkembangan lanjutan dari jenis senjata tikam/penusuk pada zaman perunggu. Senjata tikam pada zaman itu berbentuk menyerupai manusia berdiri pada gagangnya, yang menyatu dengan bilahnya.

Namun, bila melihat prasasti dan gambar pada relief candi-candi di Jawa, dapat diduga bahwa keris sudah dikenal orang Jawa sejak abad ke-5 M. Pada prasasti batu yang ditemui di Desa Dakuwu, Grabag, Magelang, Jawa Tengah, dapat ditemui relief yang menggambarkan peralatan besi. Prasasti ini dibuat sekitar tahun 500 M dengan menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta. Pada prasasti ini terdapat beberapa gambar yang diantaranya adalah gambar trisula, kapak, sabit, kudi dan belati atau pisau yang bentuknya mirip dengan keris.

Ketrampilan mengolah logam di Jawa sudah berkembang setelah pengaruh kebudayaan India mulai masuk ke Nusantara sekitar abad ke-5 M. Pengaruh itu dapat dilihat pada gambar yang terdapat di relief candi di Jawa, terutamanya candi Borobudur dan candi Prambanan, Jawa Tengah. Pada relief itu terdapat gambar senjata tikam yang menyerupai lembaran daun. Model senjata tikam tersebut telah berkembang lebih dahulu di India. Oleh para ahli, senjata tersebut dinamakan ‘Keris Budha’ dan dianggap sebagai prototipe keris. Karena bila dilihat dari bentuknya, keris tersebut berukuran pendek, gemuk dan agak tebal, mirip dengan senjata tikam yang berkembang di India. Dugaan ini diperkuat oleh pendapat Soekiman yang mengatakan ‘Keris Budha’ adalah keris pertama yang pernah dibuat di Nusantara ketika tanah Jawa berada di bawah kekuasaan kerajaan Mataram Kuno (abad ke-8 sampai ke-10). ‘Keris Budha’ diperkirakan adalah peninggalan keris generasi pertama yang kelak menjadi cikal bakal lahirnya keris. Namun, belum diketahui secara pasti pada abad berapa dan pemerintahan siapa ‘Keris Budha’ dibuat.

Berdasarkan dokumen-dokumen purbakala, keris dalam bentuk awal telah digunakan sejak abad ke-9. Kuat kemungkinannya bahwa keris telah digunakan sebelum masa tersebut. Pada masa sekarang, keris umum dikenal di daerah Indonesia (terutama di daerah Jawa, Madura, Bali/Lombok, Sumatera, sebagian Kalimantan, serta sebagian Sulawesi), Malaysia, Brunei, Thailand, dan Filipina (khususnya di daerah Mindanao).

Keris selain digunakan sebagai senjata, juga sering dianggap memiliki kekuatan supranatural. Senjata ini sering disebut-sebut dalam berbagai legenda tradisional, seperti keris Mpu Gandring dalam legenda Ken Arok dan Ken Dedes. Bahkan ada sebuah kisah tentang keris dengan latar kerajaan Majapahit yang mengambil perspektif dari kebudayaan Melayu. Kisah ini berdasarkan pada Hikayat Hang Tuah. Dalam hikayat ini diceritakan Sultan Malaka akan melawat ke kerajaan Majapahit dengan niat untuk mengawini puteri Majapahit, Galuh Chandrakirana. Dalam kunjungan itu, laksamana Hang Tuah ditonjolkan sebagai pengawal keselamatan Sultan Malaka. Pada masa itu, Majapahit tidak merelakan Galuh Chandrakirana dikawini oleh Sultan Malaka. Dia hanya dijadikan umpan agar Majapahit dapat menaklukan Malaka. Sesampainya di Majapahit, percobaan membunuh Hang Tuah berulangkali dilakukan. Sebabnya adalah jika Hang Tuah mati, Sultan Melaka tidak akan kembali, sehingga Sri Bhatara, raja Majapahit, dapat melakukan apa yang dikehendakinya atas Sultan Malaka. Dengan lain kata, selagi Hang Tuah hidup maka selama itulah Malaka akan sulit ditaklukan.

Dalam perlawanan menentang prajurit Majapahit, Hang Tuah harus berhadapan dengan perajurit Majapahit yang sakti mandraguna karena keris yang dimilikinya, yaitu Keris Taming Sari. Hang Tuah tahu keris itulah yang membuat perajurit itu kebal dan sakti. Dengan kecerdikannya, Hang Tuah akhirnya dapat menaklukkan perajurit tersebut setelah berhasil menukar kerisnya dengan Keris Taming Sari. Setelah pertarungan itu, Hang Tuah mempersembahkan Keris Taming Sari kepada Sri Bhatara. Dengan kemenangannya tersebut, Hang Tuah menunjukkan bahwa dia tidak dapat dikalahkan oleh prajurit Majapahit yang paling sakti. Keris Taming Sari yang bertuah itu kemudiannya dianugerahkan Sri Bhatara kepada Hang Tuah beserta gelar laksamana. Sebagai laksamana, Hang Tuah tidak akan dapat diganggu dalam melakukan apapun. Penganugerahan keris dan gelar laksamana kepada Hang Tuah mengandung nilai kerohanian selain sebagai pembuktian pengabdian Hang Tuah kepada negerinya. Berkat jasa Hang Tuah, Malaka bukan saja tidak dapat ditaklukan Majapahit, tetapi Majapahit yang tunduk kepada Malaka.

Selain keris, masih terdapat sejumlah senjata tikam lain di wilayah Nusantara, seperti rencong dari Aceh, badik dari Sulawesi serta kujang dari Jawa Barat. Tata cara penggunaan keris berbeda-beda di masing-masing daerah. Di daerah Jawa dan Sunda misalnya, keris ditempatkan di pinggang bagian belakang pada masa damai tetapi ditempatkan di depan pada masa perang. Sementara itu, di Sumatera, Kalimantan, Malaysia, Brunei dan Filipina, keris ditempatkan di depan.

Keris sudah digunakan oleh orang Melayu sejak zaman pemerintahan Kesultanan Melayu, lebih daripada 800 tahun yang lalu terutamanya di kalangan pendekar, pahlawan serta kalangan pembesar istana. Keris juga merupakan salah satu alat kebesaran bagi raja-raja atau lambang kekuasaan/kedaulatan. Sejarah keris Melayu mempunyai cerita yang panjang. Bisa dikatakan permulaannya dari Tanah Jawa. Sang Guna adalah orang pertama di zaman Sultan Muhammad Syah Malaka yang telah membuat keris tempa panjang, berukuran tiga jengkal. Unsur logam campuran besi dan pecahan meteorit adalah bahan utama dalam membuat keris tersebut.

Sebagian ahli keris mengelompokkan keris sebagai senjata tikam, sehingga bagian utama dari sebilah keris adalah bilah (bahasa Jawa: wilah) atau tangkai. Tetapi karena keris mempunyai kelengkapan lainnya, yaitu sarung (warangka) dan bagian pegangan keris atau ukiran, maka kesatuan terhadap seluruh kelengkapannya disebut keris. Masing-masing daerah mempunyai keris yang bercorak khas. Misalnya keris Jawa dengan ukuran sedang dan pendek bulat; Keris Bali dengan hiasan meriah dari permata dan pegangan berbentuk manusia; Keris Madura dengan pendok berhiaskan topeng; keris Sumatera dengan pegangan berbentuk burung; Keris Sulawesi dengan pegangan berbentuk burung laut dan pada ujung gandarnya terdapat sangkutan. Pegangan keris Sulawesi menggambarkan burung laut. Hal itu sebagai perlambang terhadap sebagian profesi masyarakat Sulawesi yang merupakan pelaut, sedangkan burung adalah lambang dunia atas keselamatan. Seperti juga motif kepala burung yang digunakan pada keris Riau-Lingga. Untuk daerah-daerah lainnya sebagai pusat pengembangan keris seperti Aceh, Bangkinang (Riau), Palembang, Sambas, Kutai, Bugis, Luwu, Jawa, Madura dan Sulu, keris mempunyai ukiran dan perlambang yang berbeda.

Bentuk keris Melayu berbeda dengan keris Jawa atau daerah lainnya, karena matanya tidak terlalu tebal bagi yang berkelok atau lurus, dan sarungnya (warangka) berbentuk tebar layar (semacam bumbung rumah atau bentuk sampan) dan bulan sabit yang dibuat dari gading, kayu kedaung dan kayu kemuning. Keris juga memiliki berbagai macam bentuk, ada yang bilahnya berkelok-kelok (selalu berbilang ganjil) dan ada pula yang berbilah lurus. Orang Jawa menganggap perbedaan bentuk ini memiliki efek esoteri yang berbeda.

Keris dibedakan dari senjata tikam lain terutama dari bilahnya. Bilah keris tidak dibuat dari logam tunggal yang dicor tetapi merupakan campuran berbagai logam yang berlapis-lapis. Akibat teknik pembuatan ini, keris memiliki kekhasan berupa pamor pada bilahnya. Keris Melayu mempunyai ciri-ciri dua belah mata, melebar dipangkal dan tirus di ujungnya serta tajam. Bagian dari keris Melayu antara lain:

1. Hulu Keris / Pegangan Keris
Hulu keris berukuran sepanjang lebih kurang 15 cm dengan bentuk membengkok dibagian tengahnya seperti bentuk kepala tongkat yang diukir dengan tangan dan mempunyai nilai estetika Melayu. Hulu keris biasa gading gajah, tanduk, tulang, gigi ikan paus, kemor (sejenis batu karang), emas, perak, besi dan yang paling banyak adalah kayu. Bentuk hulu keris menggambarkan kekuatan dan kekuasaan senjata tersebut yang bersifat raksaksa dan garuda. Ragam hias hulu keris kebanyakannya bermotifkan bunga timbul, awan larat, bunga tebuk, ketam guri, bentuk fauna dan juga bentuk dewa Hindu dengan ukiran wajah manusia.

2. Pendongkok
Dikenali juga sebagai dokok, pendongkok, dulang-dulang keris atau memendak. Dibuat dari logam, tembaga, perak atau emas. Berbentuk seperti bunga dan berukiran bunga dawai pintal yang bertatahkan batu permata atau ukiran biasa saja. Pendongkok dipasangkan pada pangkal hulu keris dibagian permukaannya.

3. Bilah Keris
Bilah keris (bahasa Jawa: wilah) adalah bagian utama dari sebuah keris, dan juga terdiri dari bagian-bagian tertentu yang tidak sama untuk setiap bilahnya, biasanya disebut dapur. Pada pangkal bilah terdapat pesi, yang merupakan ujung bawah sebilah keris atau tangkai keris. Bagian inilah yang masuk ke pegangan keris (ukiran). Pesi ini panjangnya antara 5-7 cm, dengan penampang sekitar 5-10 mm, bentuknya bulat panjang seperti pensil. Di daerah Jawa Timur disebut paksi, di Riau disebut puting, sedangkan untuk daerah Serawak, Brunei dan Malaysia disebut punting.

Pada pangkal (dasar keris) atau bagian bawah dari sebilah keris disebut ganja (untuk daerah semenanjung Melayu menyebutnya aring). Di tengahnya terdapat lubang bulat untuk memasukkan pesi, sehingga bagian bilah dan ganja tidak terpisahkan. Banyak pengamat keris mengatakan bahwa kesatuan itu melambangkan kesatuan lingga dan yoni, dimana ganja mewakili lambang yoni sedangkan pesi melambangkan lingga nya.

Luk (bahasa Melayu: Lok), adalah bagian yang berkelok dari bilah keris, dan dilihat dari bentuknya keris dapat dibagi dua golongan besar, yaitu keris yang lurus dan keris yang bilahnya berkelok-kelok atau luk. Salah satu cara sederhana menghitung luk pada bilah, dimulai dari pangkal keris ke arah ujung keris, dihitung dari sisi cembung dan dilakukan pada kedua sisi kanan-kiri, maka bilangan terakhir adalah banyaknya luk pada bilah dan jumlahnya selalu gasal (ganjil) dan tidak pernah genap, dan yang terkecil adalah luk tiga (3) dan terbanyak adalah luk tiga belas (13). Jika ada keris yang jumlah luk nya lebih dari tiga belas, biasanya disebut keris kalawija, atau keris tidak lazim.

4. Sarung Keris (Warangka)
Sarung keris atau warangka (bahasa Banjar: kumpang), adalah komponen keris yang mempunyai fungsi tertentu, khususnya dalam kehidupan sosial masyarakat Jawa, paling tidak karena bagian inilah yang terlihat secara langsung. Warangka yang mula-mula dibuat dari kayu (yang umum adalah jati, cendana, timoho, dan kemuning). Sejalan dengan perkembangan zaman terjadi penambahan fungsi warangka sebagai pencerminan status sosial bagi penggunanya. Bagian atasnya atau ladrang-gayaman sering diganti dengan gading. Ladrang-gayaman merupakan pola-bentuk warangka, dan bagian utama menurut fungsi warangka adalah bagian bawah yang berbentuk panjang (sepanjang bilah keris) yang disebut gandar atau antupan (bahasa Melayu: sampir), yang berfungsi untuk membungkus bilah keris dan biasanya terbuat dari kayu (dipertimbangkan untuk tidak merusak bilah yang berbahan logam campuran). Karena fungsi gandar/sampir untuk membungkus, sehingga fungsi keindahannya tidak diutamakan, maka untuk memperindahnya akan dilapisi seperti selongsong-silinder yang disebut pendok. Bagian pendok (lapisan selongsong) inilah yang biasanya diukir sangat indah, dibuat dari logam kuningan, suasa (campuran tembaga-emas), perak, emas, tanduk atau gading. Untuk daerah di luar Jawa ( kalangan raja-raja Bugis, Goa, Palembang, Riau, Bali ) pendoknya terbuat dari emas, disertai dengan tambahan hiasan seperti sulaman tali dari emas dan bunga yang bertaburkan intan berlian.

Sebagai penutup, Asal-usul keris yang kita kenal saat ini sebenarnya masih belum terjelaskan. Relief candi-candi di Jawa lebih banyak menunjukkan ksatria-ksatria dengan senjata yang lebih banyak unsur India-nya. Sedangkan bentuk keris yang saat ini sering kita lihat merupakan bentuk dari keris modern, karena keris sudah melalui proses evolusi yang panjang. Ada perbedaan besar peranan keris sebelum dan selepas abad ke-20. Sebelum abad ke-20, terlebih lagi semasa kerajaan, keris memainkan peranan utama sebagai senjata dalam peperangan, meskipun dalam konteks tertentu keris adalah lambang kewibawaan dan kedudukan. Setelah abad ke-20, peranan keris mulai bergeser sebagai benda koleksi atau benda pusaka. Sekarang ini keris sudah dianggap sebagai warisan budaya yang menjadi milik Nusantara sehingga peranan yang dimainkannya menjadi jauh lebih kompleks.