oleh:
Dedi Arman (Balai Pelestarian Nilai Budaya Kepri)
Kelintang perunggu alat musik yang dimainkan Orang Melayu Timur yang tinggal di Pantai Timur Sumatra khususnya di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Tanjung Jabung Barat (Provinsi Jambi) dan juga di Indragiri Hilir (Riau). Alat musik ini juga di daerah lainnya di Provinsi Jambi namun namanya berbeda dan alat pembuatan kelintangnya juga berbeda.
Hampir semua aspek kehidupan Orang Melayu Timur berkaitan dengan kelintang perunggu ini. Di Tanjung Jabung Timur, alat musik kelintang perunggu pada awal terciptanya digunakan sebagai pengiring ritual pengobatan, perkawinan, dan upacara lain, termasuk juga untuk memanggil masyarakat untuk gotong royong, kelintang dibunyikan.
Sejarah
Orang Melayu Timur yang berdiam di Tanjung Jabung maupun di Inhil bangga menyebut dirinya sebagai Orang Melayu Timur dan berbeda dengan Orang Melayu lainnya. Keberadaan kelintang perunggu ini tak terlepas dari sejarah asal muasal Orang Melayu Timur.
Orang Melayu Timur mempercayai mereka berasal dari kawasan Tempasuk daerah Mindanao (Philipina) dan Sabah (Malaysia). Kedatangan bangsa Ilanun (Iranun) ini ke Pantai Timur Sumatra terkait konflik Sultan Mahmud Syah III, Penguasa Kesultanan Johor Pahang Riau dan Lingga dengan Belanda. Sultan Mahmud Syah meminta bantuan kepada penguasa Tempasuk dalam menghadapi Belanda.
Prajurit dari Tempasuk dibawah Sultan Ismail tahun 1787 yang menyerang pasukan Belanda di Tanjungpinang. Usai mengalahkan Belanda, pasukan Tempasuk ini ada yang kembali ke daerahnya dan ada juga yang memilih tinggal di Daik Lingga dan sebagian ada yang berlayar ke Pantai Timur Sumatra, seperti daerah Tanjung Jabung dan juga daerah Kuala Patah Parang, Pulau Kijang dan daerah lainnya di Indragiri Hilir.
Tak hanya membawa senjata, orang Ilanun (iranun) dari Tempasuk ini juga membawa alat kesenian dari daerahnya. Alat musik itu itulah yang dikenal dengan nama kelintang perunggu. Di daerah asalnya, kelintang lazim dahulu lazim dimainkan oleh kaum perempuan. Pihak Kerajaan Tempasuk memanfaatkannya untuk menyemarakkan atau memberi semangat prajurit yang sedang berdayung berlayar mengharungi lautan besar menghadang gelombang atau angin sungsang. Tentu saja juga untuk mengelu-elukan prajurit yang bertempur di medan perang.
Ini salah satu versi asal muasal alat kelintang perunggu. Ada juga yang meyakini alat musik ini asalnya dari daerah Thailand Selantan, namun argumen yang diberikan kurang kuat. Pendapat lain menyebutkan, kelintang perunggu nyaris ada diseluruh wilayah di Indonesia dengan nama berbeda. Kelintang perunggu seperti halnya kromong.
Ada 18 Jenis Irama
Kelintang perunggu yang ada di Tanjung Jabung terdiri dari 18 irama atau jenis pukulan. Itu pun yang bisa memainkan 18 nada sudah jarang. Setiap irama atau pukulan memiliki fungsi yang berbeda. Misalnya saat malam tari inai, irama kelintang yang dimainkan berbeda. Saat pengobatan ritual makan di kelung atau mandi air asin, jenis iramanya berbeda.
Jenis irama dalam kelintang perunggu adalah andok andok, andok andok suluk, kedidi, surung dayung, kedincung, serame dua, tige tige, serame tige, culit belacan, udang-udang, antuk antuk terung, dendang sayang, siamang tegagau, kambing betanduk, begubang, serame, tupai begelut dan kedungkuk.
Nama irama ini sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari. Kedidi itu nama burung. Ada juga nama hewa seperti siamang, tupai dan kambing. Jenis irama kedungkuk yang tak boleh dimainkan sembarangan. Irama ini dimainkan dalam pengobatan ritual mandi di kelung. Irama ini dianggap ada unsur magisnya. Mereka yang hadir dalam ritual bisa kesurupan saat irama kedungkuk dimainkan. Ritual makan di kelung juga sudah lama tak diselenggarakan.
Ja’far Rassuh, budayawan Jambi dan bersama timnya tahun 2003 sudah melakukan kajian dan membuat notasi nada 18 nada atau jenis pukulan kelintang perunggu. Pembuatan notasi nada bertujuan agar generasi muda atau siapa saja yang tertarik memainkan kelintang perunggu bisa mempelajarinya.
Komposisi nada kelintang perunggu memainkan lima nada So La Do Re Mi dan tak ada nada Fa dan Si.
Kelintang yang di Tanjung Jabung tak punya resonansi alias saat dipukul bunyinya mati. Ini berbeda dengan alat musik jenis sama, seperti talempong, celentang atau kromong.
Tak ada patokan jumlah kelintang saat dimainkan. Bisa satu atau dua kelintang sampai sembilan atau 12 kelintang. Semuanya tergantung kemampuan para pemain kelintang itu. Ada yang hanya bisa memainkan dua buah kelintang dan ada yang bisa memainkan tujuh buah alat kelintang.
Terancam Punah
Komposisi alat musik kelintang perunggu terdiri dari kelintang perunggu, dua gendang panjang, dan gong. Dalam praktiknya, komposisi musik tradisi yang dihasilkan lebih dominan oleh kelintang perunggu, makanya secara umum instrumen yang dihasilkan oleh permainan musik ini dinamakan kelintang perunggu.
Kelintang perunggu terancam punah.Penyebab utama diambang kepunahan adalah susah menemukan alat (kelintang perunggu) yang sesuai dengan keinginan pemilik karya budaya itu. Kelintang perunggu yang dimainkan Orang Melayu Timur dominan dari besi campur ganza. Sementara di daerah lain banyak perunggunya.
Pengadaan alat kelintang ini yang harusnya jadi perhatian pemerintah. Diyakini kelintang perunggu yang dimiliki sejumlah sanggar, jenis kelintangnya tak sesuai. Bunyi yang dihasilkan tak sesuai dengan standar nada kelintang perunggu. Selama ini pengadaan kelintang dibeli dari Jawa. Sementara, jenis alat musik ini alatnya bisa diperoleh di Thailand namun harganya terbilang sangat mahal.
Selain alat, regenerasi pemain alat kelintang perunggu juga bermasalah. Para pemain kelintang perunggu para pemainnya rata-rata sudah uzur. Di Sabak Hilir, ada dua kelompok yang masih aktif memainkan kelintang perunggu. Para pemainnya semua diatas usia 60 tahun. Di Tanjung Jabung Barat, juga hanya sedikit pelestari yang masih bisa memainkan kelintang perunggu.
Alat kelintang makin susah didapat dan tradisi yang bisa diiringi oleh alat musik kelintang perunggu juga makin punah. Contoh saja ritual makan di kelung sudah lama tak digelar lagi.
Informasi dari Rosdiana, Orang Melayu Timur di Sabak Hilir dan juga bisa memainkan kelintang perunggu, makan di kelung terakhir dilihatnya tahun 1979 dan sampai saat ini tak dijumpai lagi.
Penyebabnya selain biaya yang mahal, kepercayaan terhadap pengobatan makan di kelung juga ,akin menipis seiring kemajuan dunia pendidikan. Mandi di kelung dulunya digelar saat pengobatan lain tak lagi bisa menyembuhkan pasien yang sakit. ** (terbit di harian tanjungpinangpos, 10 Maret 2019)