oleh:
M Fadlillah (Pemerhati Sejarah)
Di zaman Kerajaan Johor, Pahang, Lingga, Riau hingga ke Lingga-Riau,salah satu daerah yang paling penting di Lingga sebagai sumber ekonomi istana adalah Pulau Singkep. Pulau disebelah selatan Lingga yang dipisahkan oleh selat pulau Lima ini mempunyai peran besar dalam pemasukan keuangan Istana. Boleh dikatakan Pulau Singkep pernah menjadi tulang punggung ekonomi karena memiliki pertambangan timah. Di tahun 1787 selepas memerintahkan orang Lanun dari Tempasuk meranapkan pasukan VOC Belanda di Tanjung Pinang, Sultan Mahmud Syah III terpaksa berundur ke Lingga. Di Lingga sultan membuka pertambangan timah di pulau Singkep. Kapal-kapal dagang Inggris telah datang ke pulau itu untuk membeli timah. Mereka menjual senjata api juga amunisi kepada pihak pasukan kerajaan atau pun kelompok bersenjata yang mendukung Sultan. Pasukan-pasukan kerajaan bertambah kuat dengan senjata-senjata yang dibeli dari pedagang-pedagang Inggris. Untuk mengganggu jalur perdagangan VOC Belanda pasukan Sultan Mahmud Syah III melancarkan serangan-serangan sampai ke Bangka dan Jawa. Hasil-hasil timah yang dijual kepada pedagang
Inggris telah memberikan keuntungan kepada Sultan Mahmud Syah III. Walaupun Riau telah lepas dari genggaman Sultan, namun pulau Singkep telah menjadi tulang punggung baru dalam bidang ekonomi
dan perlawan terhadap VOC Belanda. VOC Belanda tidak melakukan serangan balasan ke Lingga dan tidak juga coba untuk menguasai Singkep yang menjadi sumber ekonomi Sultan. VOC Belanda bertahan di Riau dan mencoba kembali untuk meramaikan daerah itu. Di tahun 1795 suasana kembali damai dan tenang. Pihak Kompeni Inggris menyerahkan
Riau dan Kerajaan kembali ke tangan Sultan Mahmud Syah III, pihak
VOC Belanda juga melakukan hal yang sama. Riau ditinggalkan
VOC dan kembali di kuasai Sultan Mahmud Syah III, namun dia
tidak kembali menetap di sana. Usaha timah nampaknya terus
berkembang maju. Dalam Tuhfat al-Nafisversi Winstedt, Raja Ali
Haji bercerita, “Syahdan apabila sudah selesai dari pada menetapkan
negeri Riau itu, maka baginda pun berangkatlah ke negeri Lingga
membetulkan negeri Lingga pula serta mengeluarkan hasil-hasil di
sana dari pada timah-timah di Pulau Singkep, diaturkan bahagian
makanan-makanan orang besar-besar dan orang baik-baik yang di
dalam negeri Lingga. Maka ramailah negeri Lingga masuklah perahu
dagang dari Jawa dan wangkang-wangkang dari negeri Cina dan
Siam dan lainnya”.
Dimasa Sultan Abdurrahman Syah (1812-1832) usaha
pertambangan timah terus menjadi hasil utama pihak Istana di
bidang pembangunan kerajaan dan militer. Di dalam Tuhfat al-
Nafis sekali lagi Raja Ali Haji bercerita tentang hasil timah di
pulau Singkep, Dia menyatakan “Maka amanlah negeri Lingga
itu serta mendapat makanan dari pada tanah Singkep dan adalah
membaikkan negeri dari pada kota paritnya dan perdalaman
Baginda Sultan Abdurrahman serta kelengkapan penjajab perang,
serta menyediakan baris senapang itu yaitu Encik Kaluk, ialah kepala
segala yang tersebut itu”. Sultan selanjutnya terus menikmati hasil
Timah Singkep dan saat Belanda menjajah kembali kerajaan, urusan
pertambangan timah tidak sepenuhnya berada dalam kuasa Sultan.
Tahun 1857 atas persetujuan Belanda, Tengku Sulaiman anak
Sultan Abdurrahman Syah marhum kedaton naik tahta dengan
gelar Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah. Dia menggantikan anak
saudaranya Sultan Mahmud Muzzafar Syah yang dipecat Belanda.
Belanda telah memperbaharui lagi perjanjian dengan Kerajaan
Lingga-Riau. Perjanjian disepakati Sultan Sulaiman Badrul Alam
Syah dan Yang Dipertuan Muda Raja Abdullah di Penyengat pada
1 Desember 1857. Pada 9 Februari 1858 perjanjian ini disepakati
oleh Gubernur Jenderal Belanda. Dalam perjanjian ini dinyatakan
karena dikalahkan oleh Belanda, kerajaan Lingga-Riau menjadi
bagian dari wilayah Hindia Belanda dan berada dibawah kekuasaan
Belanda. Kerajaan Lingga-Riau pun dianggap sebagai pinjaman
Sultan dari Belanda. Perjanjian ini menambah kuatnya kekuasaan
Belanda di Lingga-Riau. Perjanjian ini menjadikan juga Belanda
berhasil menguasai dan mengendalikan usaha pertambangan timah
di Singkep. Dalam perjanjian ini, yang menyangkut pertambangan
berbunyi
Fasal yang kesebelas
Maka berjanjilah Paduka Sri Sultan dan menteri2nja tiada dia
melepaskan haknya akan menggali didalam tanah serta beroleh hasil
daripada penggaliannya itu kepada orang yang bukan anak buminya
jika tiada dengan mufakat dan sebicara dengan wakil Paduka Sri
Yang Dipertuan Besar Gubernur Jenderal di Riau supaya penggalian
itu diaturkan dengan dicahari seboleh2nja untung Paduka Sri
Sultan dan menteri2nja dan dengan tiada diambil oleh gubernemen
sebahagian daripada untung itu hanyalah dengan menilik kepada
pergunaan tanah Hindia Nederland jang sejati serta dengan serta
keputusan Baginda Sri Maharaja Nederland jang terputus pada 24
hari bulan Oktober tahun 1850 dengan angka 45 seperti tersebut di
dalam angka 45 seperti tersebut di dalam angka yang keenam dari
statblad tanah Hindia Nederland tahun 1851 sebagaimana bunyinya
pada waktu ini atau sebagaimana barangkali diubahkannya oleh
Baginda Sri Maharaja Nederland ada pun jika jadi diubahkannya
maka lalu diberi tahu kepada Paduka Sri Sultan oleh Paduka Tuan
Residen Riau maka suatu salinan bahasa Melayu daripada keputusan
itu terletaklah pada surat perjanjian ini”. (Surat-surat Perjanjian
antara Kesultanan Riau Dengan Pemerintah2 V.O.C Dan Hindia-
Belanda 1784-1909. 1970:93)
Untuk menguasai urusan pertambangan timah sesuai dengan
perjanjian, Belanda menggunakan peraturan yang diputuskan Raja
Belanda Willem ke-3 yang terbit 24 Oktober 1850. Dengan adanya perjanjian 1 Desember 1857 dan Peraturan yang diputuskan Raja
Belanda 24 Oktober 1850, urusan pertambangan Timah telah pun
dapat dikendalikan Belanda. Pihak Sultan dan Raja Muda hanya
bisa mengikuti segala peraturan yang telah dibuat itu, sehingga
mengakibatkan kerajaan sangat bergantung kepada kebijakan
Belanda. Kerajaan tidak bisa sebebasnya mengurusi pertambangan
timah sebagaimana yang dilakukan kerajaan-kerajaan yang mardeka.
Walau pun Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah tidak sepenuhnya
bebas dalam membuat kebijakan yang berkenaan dengan
pertambangan timah, namun baginda terus menggalakkan usaha ini
tanpa berkonflik dengan pihak Belanda. Usaha-usaha pertambangan
timah terus dijalankan Sultan untuk memakmurkan kerajaan.
Pada masa Abdurrahman Mu‘azzam Syah Sultan Lingga-
Riau terakhir, Belanda mengadakan lagi beberapa perjanjian. Pada
26 Januari 1888 di Penyengat Sultan Abdurrahman Mu‘azzam Syah
bersama Yang Dipertuan Muda Raja Muhammad Yusuf menyetujui
perjanjian tambahan dengan Residen Riau Ernes Ochus yang
telah mendapatkan kuasa dari pihak pemerintah Hindia Belanda.
Perjanjian ini seterusnya disepakati Gubernur Jenderal Belanda
padan 7 Maret 1888. Dalam perjanjian itu terdapat tambahan baru
di perjanjian 1 Desember 1857 pasal kesebelas. Tambahan baru itu,
Sultan diwajibkan menyetujui jika pihak pemerintah Hindia Belanda
sekiranya ingin membuka usaha pertambangan timah atau pun
menyerahkan usaha itu kepada pihak yang lain.
Perjanjian tambahan ini berbunyi “…Syahdan lagi jikalau
sekiranya gubernemen Hindia Nederland berhajat hendak membuka
penggalian yang di dalam bumi yang di bawah kerajaan Riau dan
Lingga dengan segala takluknya yaitu baik dengan jalan hendak di
coba penggalian itu atau hendak diteruskan sekali maka tak boleh
tiada dengan segala suka hati Paduka Sri Sultan serta mentri2nya
menyampaikan hajat dan maksud gubernemen Hindia Nederland
itu yaitu baik Gubernemen Hindia Nederland sendiri yang hendak
mengerjakan atau hendak diserahkan pekerjaan itu kepada
orang yang lain yaitu orang preman akan tetapi jikalau sekiranya gubernemen Hindia Nederland ada berhajat dan bermaksud yang
demikian itu yaitu ia boleh tiada tiap2 yang hendak dilakukan itu
nanti Gubernemen Hindia Nederland perbuat satu perjanjian dan
peraturan kepada Sri Sultan dengan segala menteri2nya hal itu nanti
ditambang mana2 yang dan berpatutan di atas antara keduanya
pihak dari pekerjaan yang tersebut itu maka di dalam hal itu apa bila
telah bersekutuan antara keduanya maka Paduka Sri Sultan dengan
segala menteri2nya yang di dalam kerajaan Lingga dan Riau dengan
segala takluknya maka berjanjilah juga menolong dengan seboleh2
di dalam kerajaan itu dengan menjalankan keadilan semuanya.”
(Surat-surat Perjanjian antara Kesultanan Riau Dengan Pemerintah2
V.O.C Dan Hindia-Belanda 1784-1909. 1970:205-206)
Untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari
pertambangan timah pihak Belanda memberikan izin perusahaan
swasta Belanda NV Singkep Tin Exploitatie Maatschappij (NV SITEM)
membuka usaha pertambangan timah di Singkep. Perusahaan ini
yang menjadi pemain utama dalam pertambangan timah kala itu.
Usaha pertambangan timah semakin maju di Singkep sehingga terus
menarik perhatian para pencari kerja dari luar daerah. Dabo sebagai
bandar utama di Singkep dibangun berbagai fasilitas penunjang
pertambangan timah. Karena dikuasai oleh perusahaan swasta
Belanda, keuntungan dari pertambangan timah sebagian besar tidak
masuk ke kerajaan Lingga-Riau.
Belanda memetik keuntungan dari pertambangan Timah Singkep dengan terlebih dahulu memangkas
dan mengibiri kekuasaan Sultan dan Raja Muda Lingga-Riau. Timah
yang awalnya menjadi sumber ekonomi kerajaan kini terpaksa
berbagi belah dengan Belanda. Hasilnya Kerajaan Lingga-Riau
mendapatkan keuntungan yang lebih sedikit berbanding Belanda.
Tahun 1953-1958 seluruh perusahaan timah yang dikuasai
Belanda diambil alih pemerintah Indonesia. Tahun 1959 NV Singkep
Tin Exploitatie Maatschappij di ambil alih pemerintah Indonesia
dan berganti naman menjadi PN Tambang Timah Singkep (Pertis).
Usaha Pertambangan timah memasuki babak baru dikuasai negara
Indonesia. Bangunan-bangunan seperti perkantoran dan rumah
rumah tempat tinggal peninggalan Belanda yang menunjang usaha
pertambangan timah kemudian di tempati para pegawai Indonesia.
Timah Singkep yang dikelola perusahaan milik negara itu masih
tetap mempunyai daya tarik bagi para pencari kerja yang ingin
mengubah nasib.
Perjalanan pertambangan timah Singkep yang sangat
berpengaruh bagi perekonomian dan politik kepulauan Lingga-Riau
akhirnya terhenti di awal tahun 90an. Unit pertambangan Timah
Singkep tutup tahun 1992 yang mengakibatkan pemutusan hubungan
kerja secara besar-besaran. Bangunan-bangunan bekas sarana
penunjang usaha pertambangan sebagian di tinggalkan kosong
tidak terurus. Pemerintah Orde lama dan baru telah terlena dengan
keuntungan sesaat. Sekiranya pemerintah waktu itu memperkuat
perekonomian rakyat dengan usaha perikanan, pertanian dan
berbagai usaha lainnya maka kebangkrutan pertambangan timah
di Singkep bukan suatu keterpurukan besar bagi perekonomian
wilayah Lingga. Dari pengalaman sejarah itu, Kabupaten Lingga
akan berupaya terus bangkit dan dan berjaya di alam Melayu.***