Jadi Peneliti, Kejar Tunjangan Atau Selamat Dunia Akhirat

0
1615
Peserta Diklat Peneliti Pertama Gelombang XI di Pusbindiklat Lipi Cibinong

Dari tanggal 19 November hingga 14 Desember 2017, saya dapat kesempatan mengikuti Diklat Jabatan Fungsional Peneliti Tingkat Pertama di Pusbindiklat LIPI, Cibinong. Ada 30 peserta yang berlatarbelakang keilmuan dan instansi. Hal yang menarik adalah apa motivasi peserta jadi peneliti.
====================
Pertanyaan salah seorang alasan narasumber soal alasan peserta ikut diklat dan ingin jadi peneliti sesuatu yang wajar.Maklum dari 30 peserta, ada dua orang peserta yang bertitel doktor. Beberapa orang menduduki jabatan eselon III dan IV di instansinya. Beberapa orang bergelar strata 2 (S2). Nah, kenapa mereka mau ikut diklat peneliti pertama. Jawaban masing-masing beragam. Ada yang alasannya yang sangat menarik. Kadang mengundang tawa.

Vivi misalnya staf Balitbangda Pemprov Sumbar itu mengaku ingin jadi peneliti karena alasan jadi peneliti ladang beribadah terbaik. “Saya ingin jadi peneliti untuk mengejar keselamatan dunia akhirat,”kata Vivi yang lama berkarir di struktural ini.

Alasan lain diberikan Farid, peserta lain dari Sulawesi Tengah. Sejak tahun 1999 ia sudah bekerja sebagai perawat. Ia melanjutkan pendidikan ke Akper hingga S1 ke perawatan. Tak hanya terampil dan cakap dalam bekerja, ia juga ingin menambah wawasannya dan mengaplikasikan ilmunya dalam cara berbeda. “Dengan jadi peneliti saya bisa belajar dan terus belajar. Tak hanya praktek tapi sisi keilmuan juga terus diasah. Jadi peneliti saya bisa lebih jauh berkiprah,”kata pegawai Dinas Kesehatan Pemkab Sigi ini.

Farid pun mengakui tergiur tunjangan sebagai peneliti. Ia hafal nominal tunjangan peneliti pertama hingga peneliti utama.”Peneliti madya Rp3 juta per bulan,mantap,”kata Farid mengundang tawa para peserta.

Alasan peneliti sebagai cita-cita jadi alasan Dika, Staf BPNB Bali melamar jadi PNS. Formasi yang dilamarnya sebagai peneliti. “Peneliti itu hebat aja dipikiran aku. Cerdas dan bisa jalan kemana-mana,”kata pemilik nama asli Dyah Chri Ekasmara ini.

Diklat peneliti pertama yang berlangsung selama 26 hari, pola belajarnya cukup padat. Masuk pukul 08.00 hingga puku 17.15 WIB. Itu waktu normal, kadang molor sampai pukul 18.00 WIB. Banyak hal materi yang diajarkan, terutama penulisan karya tulis ilmiah (KTI). Peserta dilatih menulis KTI yang baik sesuai model atau selingkuh Widyalitera terbitan LIPI. Tak hanya soal teknis penelitian, peserta juga diberi materi tentang etika peneliti hingga aturan-aturan tentang peneliti.

Hal cukup menarik adalah adanya tugas kelompok untuk melakukan penelitian lapangan di wilayah Cibinong, Bogor. Masing-masing kelompok turun ke lapangan sesuai topik penelitian yang diambilnya. Sebelum dan sesudah ke lapangan, proposal dan hasil penelitian dipresentasikan.

Selama diklat ada dua sesi yang paling mendebarkan peserta. Sesi pertama adalah wawancara subtanstif. Peserta diuji oleh penguji terkait materi karya tulis ilmiah (KTI) yang dibuatnya. Selama 20 menit, peserta ditanyakan KTI yang dibuat. Sesi selanjutnya yang jadi pamungkas adalah seminar KTI. Setiap peserta presentasi mempresentasikan KTI yang dibuatnya dihadapan para peserta diklat dan di depan penguji dan pembimbing.

Dalam menggarap KTI sesuai standar LIPI, para peserta bertungkus lumus menggarapnya. Lembur hingga tengah malam itu sudah biasa. Sejumlah peserta yang sedang hamil tetap bersemangat menuntaskan KTI-nya. Hal yang menari, para peserta tak saling bersaing tapi bekerjasama agar sama-sama sukses agar lulus diklat ini. Tak ada aroma persaingan untuk jadi yang terbaik tapi melupakan kawan.
“Persaudaraannya enak. Saling membantu. Beragam latar belakang pendidikan, kalau kompak semuanya jadi enak,”kata Choirul Anam, peserta diklat dari Bakamla.

Diklat peneliti pertama ini baru awal. Harapannya, ke depannya datang lagi ke Pusbindiklat Lipi ini untuk diklat lanjutan. Menikmati keheningan areal pusbindiklat yang amat luas. Udara sejuk sepanjang hari. Dan menikmati cuaca yang lebih sering hujan ketimbang panas. Di Cibinong, Bogor, negeri penghujan. **