Islam sebagai Landasan Politik Melayu

0
17620

Oleh : Hendri Purnomo (BPNB Tanjungpinang)

Islam, sebagai agama sekaligus etika moral yang bersumber dari wahyu, memiliki struktur konseptualnya tersendiri dalam dunia politik. Karena Islam bukan hanya sebagai agama dan etika moral, maka ia juga telah menjadi landasan dan pandangan hidup para pemimpin dalam menjalankan pemerintahannya.

Dalam sejarah politik Melayu, Islam bukanlah hal baru. Sebagai salah satu unsur politik yang terpenting, Islam telah memberi legitimasi kepada raja-raja kerajaan Melayu. Bahkan, perkembangan budaya Melayu berjalan beriringan dengan ajaran-ajaran Islam. Peranan Islam dalam politik raja-raja Melayu ini terlihat jelas dari gelar yang disandang, di antaranya “Zillullah fil Alam” (Bayang-bayang Tuhan di Bumi), sultan, dan khalifah. Dengan demikian, raja sebagai tonggak dan simbol kesetiaan orang Melayu, yang mayoritas menganut agama Islam, diberi kewenangan untuk mengawal Islam dan adat istiadat Melayu.

Sistem Pemerintahan Melayu dan Islam
A. Sistem Pemerintahan Melayu
Sistem pemerintahan adalah sistem menjalankan wewenang dan kekuasaan dalam mengatur kehidupan sosial, ekonomi, dan politik suatu negara atau bagian-bagiannya. Dalam sejarah Melayu, sistem pemerintahan Melayu mempunyai dua konsep: kerajaan dan negeri.

1. Konsep Kerajaan
Kerajaan diartikan sebagai bentuk pemerintahan yang dikepalai oleh seorang raja. Sedangkan menurut J.S. Roucek dan R.L Warren, kerajaan merupakan sebuah organisasi yang menjalankan otoritas terhadap semua rakyatnya demi menjaga keamanan dan ketenteraman serta melindungi mereka dari ancaman luar.
Konsep kerajaan dalam sistem pemerintahan Melayu sudah ada sejak zaman Sriwijaya di Palembang. Dalam sistem ini, raja menduduki tingkat paling atas dalam struktur kerajaan. Sistem ini bermula dengan pemerintahan Nila Utama yang bergelar Seri Teri Buana yang ditunjuk oleh Demang Lebar Daun untuk menggantikan kedudukannya. Kemudian sistem pemerintahan warisan Sriwijaya ini dipraktekkan oleh keturunan mereka di Singapura, Melaka, dan beberapa daerah lain di Melayu.
Dalam pelaksanaan konsep ini, kedudukan serta hak raja tidak dapat dipermasalahkan apalagi diganggu-gugat. Raja juga diperbolehkan untuk berbuat apa saja. Umpamanya ketika menjatuhkan hukuman mati kepada pembesar kerajaan atau rakyatnya, ia tidak perlu meminta pertimbangan kepada para pembesar lain. Contohnya adalah hukuman mati terhadap Tun Jana Khatib di Singapura oleh Paduka Seri Maharaja.
Konsep kerajaan juga tidak dibatasi oleh tempat dan wilayah. Maka, pepatah Melayu yang berbunyi, “di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung” diartikan sebagai ke mana raja pergi maka di sanalah kerajaannya. Sehingga, sebuah kerajaan bisa berdiri tanpa adanya sebuah negeri.

2. Konsep Negeri
Penggunaan istilah “negeri” di Melayu sudah ada sejak 500 tahun lalu. Menurut Wilkinson, istilah “negeri” berasal dari bahasa sanskrit yang berarti “settlement, city-state, used loosely of any settlement, town, or land”. Konsep negeri diartikan sebagai sebuah organisasi yang menjalankan undang-undang kepada seluruh rakyatnya. Negeri juga bisa diartikan sebagai tanah tempat tinggal suatu bangsa. Dari konsep ini, negeri tidak hanya mencakup wilayah kekuasaannya, tetapi termasuk juga seluruh jajahannya atau negeri taklukannya. Sehingga, konsep negeri lebih luas artinya dibandingkan konsep kerajaan.
Untuk membuka sebuah negeri, digambarkan ada sekumpulan orang yang dipimpin oleh seorang raja atau keturunannya dengan diikuti oleh menteri, punggawa kerajaan, hulubalang, rakyat, dan bala tentara pergi ke suatu tempat, dan pada akhirnya berhenti di beberapa tempat di mana anak-anak bermain dan orang laki-laki berburu.
Negeri meliputi wilayah yang telah dibersihkan. Pada umumnya, negeri mempunyai dua struktur utama, yaitu parit dan istana balairung yang dibuat sebelum pemimpin memasuki negerinya. Selain itu, negeri baru dapat dianggap lebih lengkap jika terdapat masjid, pasar, dan balai istana.
Negeri mempunyai hukum yang berbeda dengan jajahannya. Dalam Undang-undang Kedah, misalnya, dibedakan antara pembesar negeri dan pembesar jajahannya. Di samping itu, negeri juga dianggap sebagai pusat kemajuan. Tingkat kemakmurannya diukur berdasarkan jumlah penduduk dan pedagang yang ada.
Orang yang tinggal di luar negeri dianggap berbeda dengan orang yang tinggal di dalam negeri. Perbedaan itu kadang-kadang berdasarkan agama dan negeri digambarkan sebagai pusat agama Islam. Misalnya di Sumatra, orang yang tidak mau masuk Islam meninggalkan negerinya dan dinamakan Gayo oleh orang yang tinggal di dalam negeri.
Dengan demikian, istilah “negeri” dalam sejarah Melayu bisa diartikan sebagai tempat kediaman yang tetap dan cukup padat, dibuka atas keputusan seorang yang mempunyai kuasa politik tertentu bagi diri dan rakyatnya.

B. Sistem Pemerintahan Islam
Dalam Islam, pemerintah atau orang yang berkuasa dan mengelola sebuah negara disebut ulil amri atau disebut juga khalifah, yakni khalifah Alloh. Artinya, sebagai pengganti Alloh atau wakil Alloh di bumi. Mereka bertanggung jawab terhadap rakyat untuk menjalankan kerja-kerja yang diperintahkan oleh Alloh. Dengan demikian, khalifah berkhidmat kepada rakyat, memimpin, mendidik, mengajar, mengelola, mengurus, menyelesaikan masalah rakyat, membangun kemajuan negara dan masyarakat.

Karena pemerintah adalah pengganti Alloh dalam menjalankan keadilan di kalangan manusia, maka Alloh memerintahkan hamba-hamba-Nya agar taat pada pemerintahan sesudah ketaatan pada Alloh dan Rasul.
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa: 59)
Namun demikian, kalau pemerintah tidak taat kepada Alloh, maka dalam keadaan itu rakyat tidak lagi wajib menaatinya. Rasulullah SAW bersabda: “Tiada ketaatan kepada makhluk dalam mendurhakai Allah”.
Pemerintah yang adil adalah yang dapat melayani rakyatnya dengan baik, yang menjatuhkan hukuman dengan tepat dan meletakkan rakyat pada posisi yang tepat, sehingga rakyat mendapat hak dan keperluan yang cukup. Begitu beratnya tugas pemerintah dalam Islam, sehingga untuk menjadi pemimpin harus memiliki beberapa syarat. Al-Mawardi menyebut tujuh syarat yang harus dipenuhi calon kepala negara (pemimpin). Syarat-syarat itu, antara lain: (1) keseimbangan atau keadilan (al-‘adâlah); (2) mempunyai ilmu pengetahuan untuk berijtihad; (3) mempunyai pancaindera lengkap dan sehat; (4) anggota tubuhnya tidak kurang untuk menghalangi gerak dan cepat bangun; (5) mempunyai visi pemikiran yang baik untuk mendapatkan kebijakan yang baik; (6) mempunyai keberanian dan sifat menjaga rakyat; dan (7) mempunyai nasab dari Suku Quraisy.
Adapun Imam al-Ghazali mengingatkan kepada para pemimpin, khususnya para penguasa, bahwa kekuasaan yang didudukinya memiliki batas dan kadar tertentu, dan bisa juga kekuasaan itu mengandung keburukan. Karena itu, dalam menjalankan kekuasaannya, seorang pemimpin harus menjalankan sepuluh prinsip keadilan—sebagai syarat pertama bagi seorang pemimpin, seperti disebutkan al-Mawardi— antara lain: seorang pemimpin harus memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi; menerima pesan ulama; berlaku baik kepada bawahan; memiliki rasa rendah hati dan penyantun; tidak mementingkan diri sendiri; memiliki loyalitas tinggi; hidup sederhana; lemah lembut; cinta rakyat; serta tulus dan ikhlas.

Pengaruh Islam terhadap Politik Melayu
Masuknya Islam ke wilayah kepulauan Melayu merupakan peristiwa penting dalam sejarah Melayu yang kemudian identik dengan Islam. Sebab, Islam merupakan unsur terpenting dalam peradaban Melayu. Islam dan bahasa Melayu telah berhasil menggerakkan ke arah terbentuknya kesadaran Nasional.
Dalam perkembangannya, Melayu diidentikkan dengan Islam. Bahkan, Islam dan Melayu menjadi dua kata yang sejalan; Islam menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Melayu, sebaliknya masyarakat Melayu juga menjadi sangat identik dengan Islam. Bagi komunitas Melayu, hal ini terefleksikan dalam satu istilah “masuk Melayu”. Istilah ini mempunyai dua arti, yaitu: 1) mengikuti cara hidup orang-orang Melayu; dan 2) masuk Islam. Istilah ini demikian mengakar di kalangan masyarakat Melayu, sehingga nilai-nilai yang diproduksi oleh Islam niscaya dengan sendirinya akan banyak melandasi perumusan nilai-nilai kehidupan dan perilaku masyarakat Melayu, tak terkecuali dalam mengekspresikan gagasan-gagasan tentang politik, seperti konsep kekuasaan, penguasa atau raja, hubungan penguasa dengan rakyat, serta hal-hal lain yang berada dalam ranah politik.
Maka, dapat disimpulkan bahwa orang Melayu menetapkan identitas kemelayuannya dengan tiga ciri pokok, yaitu berbahasa Melayu, beradat-istiadat Melayu, dan beragama Islam. Berdasarkan ciri-ciri pokok tersebut, masyarakat Melayu Nusantara dipersatukan oleh adanya kerajaan-kerajaan Melayu pada masa lampau. Kebesaran kerajaan-kerajaan Melayu telah meninggalkan tradisi-tradisi dan simbol-simbol kebudayaan Melayu yang menyelimuti berbagai suasana kehidupan hampir sebagian besar masyarakat di wilayah kepulauan. Kerajaan-kerajaan besar Melayu bukan saja terpusat di Pulau Sumatra, namun penyebarannya mencapai sebagian besar wilayah Nusantara. Hal ini dapat saja terjadi karena adanya beberapa penguasa beserta pengikutnya dari kerajaan-kerajaan tersebut yang melarikan diri karena berbagai faktor, dan kemudian mendirikan kerajaan Melayu baru di daerah lain.

Simbol-simbol yang berasal dari kebudayaan Melayu, yang berlaku di tempat-tempat umum serta yang digunakan untuk menjembatani berbagai suku bangsa dan golongan etnis yang berbeda sehingga dapat saling berinteraksi adalah bahasa Melayu dan etika Melayu (antara lain keramahtamahan dan keterbukaan). Dapat dikatakan, kebudayaan Melayu memiliki ciri-ciri utama yang bersifat fungsional dalam mengakomodasi perbedaan-perbedaan.

Ciri-ciri seperti yang dimiliki kebudayaan Melayu muncul dari pengalaman sejarah kebudayaan Melayu yang selama berabad-abad telah mengalami kontak dengan berbagai kebudayaan asing, baik yang hanya karena hubungan dagang maupun yang menetap. Karena itu, kebudayaan Melayu juga memiliki kesanggupan yang besar dalam mengambil alih unsur-unsur kebudayaan non-Melayu.

Pada dasarnya, agama Islam yang dianut oleh orang Melayu adalah Islam tarekat dan aliran yang membenarkan tetap berlangsungnya tradisi-tradisi setempat yang bernaung di bawah keagungan Islam. Tarekat Naqsabandiyah, misalnya, diperkenalkan di Riau pada abad ke-19 oleh Syeikh Ismail yang juga mempunyai peranan penting dalam kegiatan intelektual di Riau. Di antara tokoh-tokoh penganut tarekat ini adalah Raja Ali YTM Riau ke-8, Raja Haji Abdullah YTM ke-9, dan Raja Ali Haji (RAH). Selain itu, banyak raja dan pembesar Riau bersatu di bawah sebuah perkumpulan bernama Rusyidah Kelab. Perkumpulan ini telah banyak menghasilkan karya seperti Risalat al-Fawaid al-Wafiat fi Syarah Ma‘ana al-Tahiyyat.

Dalam agama Islam yang dianut oleh orang Melayu, terdapat variasi ajaran, yaitu perpaduan antara Islam tradisional dan Islam modern. Variasi ini mengikuti sejarah perkembangan kerajaan-kerajaan Melayu yang tradisi-tradisinya masih tetap berlaku sampai sekarang dalam wilayah-wilayah bekas kekuasaan kerajaan-kerajaan yang bersangkutan.

Syed. M. Naquib Al-attas mengklasifikasikan proses Islamisasi di kepulauan Melayu menjadi tiga fase. pertama, proses Islamisasi kepulauan Melayu yang dapat diamati sejak abad ke-13 dan ditandai oleh peranan fikih yang dominan dalam menginterpretasikan syari‘at. Dalam fase ini, konsep fundamental mengenai keesaan Tuhan masih kabur dan dipahami secara samar-samar, yang di dalamnya terdapat sebagian konsep pandangan hidup kuno Hindu-Budha yang masih tumpang tindih, dibayang-bayangi atau dibingungkan oleh konsep baru dalam pandangan Islam. Al-Attas mengistilahkan fase ini sebagai fase sebelum periode Hamzah Fanshuri, tokoh sufi Melayu.

Fase kedua, yang diamati dari abad ke-15 hingga akhir abad ke-18, di mana penafsiran hukum-hukum agama secara umum ditandai dengan dominasi tasawuf dan kalam. Pada fase ini, beberapa konsep dasar yang masih dipahami secara kabur itu dijelaskan dan didefinisikan sehingga dapat dipahami secara transparan dan semitransparan. Yang dimaksud Al-Attas dengan transparan dan semitransparan adalah pengertian-pengertian sempurna dan parsial dari makna-makna Islami, sebab selain konsep, kata-kata tidak menjelaskan realitas objektif sesuatu yang digambarkan. Sehingga yang penting adalah memahami pengertian dasar kata-kata itu dan pengertian yang berhubungan dengannya, sebab kata-kata itu tidak berdiri sendiri, tetapi memiliki konteks dan bidang semantik tertentu.

Fase ketiga, proses Islamisasi sebagai kelanjutan dari fase kedua. Namun, al-Attas mengingatkan bahwa proses-proses ini tidak semestinya dilihat secara terpisah, seperti satu fase berlangsung ketika fase yang lain berhenti. Dengan demikian, proses Islamisasi kepulauan Melayu merupakan sebuah fenomena sejarah yang universal. Maka, untuk memahami Islam di dunia Melayu berarti harus memahami Islam itu sendiri sebagai sebuah agama dan peradaban.

Bangsa Melayu selanjutnya menjadikan Islam sebagai landasan dasar perumusan etika bagi perilaku politik para penguasa di kerajaan. Gambaran tersebut, misalnya, tampak dalam pembahasan teks-teks Melayu Klasik, seperti Sejarah Melayu dan Hikayat Raja-raja Pasai—dua teks yang masing-masing berbicara tentang Kerajaan Samudra Pasai dan Melaka abad 14 dan 15—di mana perumusan Islam sebagai basis etika politik terlihat dengan jelas pada isu-isu pokok politik yang mengemuka dalam keseluruhan isi pembahasan. Merah Silu, salah seorang Raja Pasai misalnya, digambarkan bahwa sesaat setelah beralih ke agama Islam ia segera memakai gelar Arab yaitu Sultan, dan dalam suatu sidang dengan para pimpinan dan rakyatnya, ia dinyatakan sebagai “Bayang-bayang Tuhan di Bumi” (Zillullah fil Alam).

Dalam sejarah Melayu, raja ditempatkan setaraf dengan nabi dan sebagai pengganti Alloh di muka bumi. Gambaran ini terdapat dalam wasiat Bendahara Paduka Raja Tun Perak kepada anak cucunya. Di antara pesannya:
Hendaklah kamu sekalian tuliskan kepada hatimu pada berbuat kebaktian kepada Alloh SWT dan Rasululloh SAW, dan jangan kamu sekalian melupai daripada berbuat kebaktian, karena pada segala hukum bahwa raja-raja yang adil itu dengan Nabi Salla‘allahu ‘alaihi Wassalam, umpama dua buah permata pada sebentuk cincin; lagi pula raja itu Zillu‘llah fil ‘Alam. Apabila ia berbuat kebaktian kepada raja, serasa berbuat kebaktian akan Nabi Alloh; apabila berbuat kebaktian kepada Nabi Alloh serasa berbuat kebaktian kepada Alloh Taala. Firman Alloh Taala, ‘Ati‘ul-laha wa‘atu‘ur Rasula wa ulil amri minkum, yakni berbuat kebaktianlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya serta raja, inilah wasiatku kepada kamu semua.

Kedatangan Islam ke Melayu juga berperan merubah sejarah asal-usul raja dari dewa-dewa kepada tokoh-tokoh agung Islam, seperti Nabi Adam AS, Iskandar Zulkarnain, atau campuran tokoh Islam dan dewa Hindu. Sejarah Melayu seolah-olah begitu yakin sekali meletakkan raja-raja Melaka, yang bermula dengan Seri Teri Buana yang turun di Bukit Seguntang, sebagai keturunan Iskandar dari Roma. Hal itu menandakan keagungan tokoh tersebut. Ia pernah menaklukkan hampir separuh dunia. Dalam sumber sejarah yang lain, Iskandar Zulkarnaen telah mengalahkan Darius Maharaja Parsi dan turun melalui pegunungan Indus, lalu masuk ke dataran Hindu dan sampai ke tepi Sungai Gangga.

Kehadiran Islam dalam kehidupan Melayu juga memberi pengaruh besar terhadap unsur kepercayaan Hindu dari tahap keagamaan ke tahap kebudayaan, namun tidak seluruhnya. Pengaruh dewa Hindu malah dilengkapi dan diperkuat lagi oleh Islam dalam menentukan kuasa dan kedudukan istimewa raja-raja. Peranan raja dalam Islam adalah memberi perlindungan dan bimbingan kepada rakyat seperti yang terungkap dalam kalimat zilullah fil ‘alam, sultan dan khalifah. Raja yang dianggap juga sebagai khalifah harus memberi perlindungan, bimbingan, panduan, dan pengajaran tentang sifat-sifat wajib yang dimiliki raja, tanggung jawab, serta keadilan sebagaimana tertuang dalam tuntunan al-Qur‘an. Hal ini terlihat dalam karya-karya Melayu, seperti Taj al-Salam karangan Bukhari al-Jauhari dan Bustan al-Salam karangan Nuruddin Al-Raniri. Karya-karya tersebut sebenarnya menunjukkan penyempurnaan citra raja sebagai tokoh yang menjadi khalifah dan wakil Alloh dalam urusan memimpin manusia.

Pengaruh Islam terhadap politik Melayu, khususnya kerajaan Melayu, juga terlihat dari mitos tentang mahkota raja-raja Melayu. Dalam sejarah Melayu, dimitoskan bahwa mahkota raja-raja Melayu berasal dari perbendaharaan Nabi Sulaiman AS yang dibawa keluar oleh raja jin untuk diberikan kepada putra-putra raja Suran (Raja Sriwijaya) sebagai tanda kebesaran mereka. Begitu juga terhadap kedaulatan raja. Kedaulatan raja-raja Melayu tidak saja diakui dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga dikaitkan dengan kepercayaan agama. Orang yang durhaka kepada raja dipercaya juga akan mendapat balasan di akhirat. Kedudukan dan kedaulatan raja ini semakin kuat dengan adanya perjanjian kesetiaan antara raja dan rakyat. Hal ini terlihat jelas dalam surat persetiaan Demang Lebar Daun dengan Seri Teri Buana. Di antara isi perjanjian tersebut adalah raja tidak mencela, merendahkan, dan menghina rakyat. Begitu juga rakyat tidak boleh sekali-kali durhaka dan membunuh raja meskipun raja itu bersalah, jahat, atau Zalim.

Oleh karena itu, Islam dan politik Melayu selalu berjalan beriringan. Islam menjadi bagian dari kehidupan raja-raja dan masyarakat Melayu, sebaliknya raja-raja dan masyarakat Melayu sangat identik dengan Islam. Wallahu ‘alam.