Catatan Pertunjukan Pemenang Parade Tari Provinsi Kepulauan Riau 2019

0
3827

Oleh
Nanda Darius S.Sn
(Sutradara Teater/Staf BPNB Kepri)

Perhelatan Parade Tari Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2019 telah selesai diselenggarakan pada Sabtu, 27 Juli 2019 bertempat di Aula Wan Seri Beni, Komplek Gedung Pemerintahan Provinsi Kepri di Pulau Dompak. Acara yang telah menjadi agenda rutin dari Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau ini dimeriahkan oleh partisipasi 11 peserta dari Kota dan Kabupaten Kepulauan Riau, di antaranya Kabupaten Lingga (dua peserta), Kota Batam (dua peserta), Kota Tanjungpinang (dua peserta), Kabupaten Karimun (dua peserta), Kabupaten Bintan (dua peserta) dan Kabupaten Natuna.

Pada kesempatan parade kali ini, Kabupaten Karimun yang juga diwakili oleh Sanggar Angsana duduk sebagai Pemuncak Pertama dan berhak mewakili Provinsi Kepulauan Riau dalam ajang perhelatan yang lebih tinggi, yaitu Parade Tari Nusantara 2019 yang biasa di selenggarakan di TMII, Jakarta Timur. Penampilan karya tari kreasi yang cukup apik dan menarik yang dipentaskan oleh Sanggar Angsana mengambil tematis dari legenda yang cukup merakyat dengan judul ‘Moyang Seraga’. Moyang Seraga merupakan inovasi dari karya tari naratif yang menceritakan tentang legenda ‘Balong Seraga’, dengan sinopsis seorang Raja yang sedang berburu di hutan belantara tiada penduduknya. Terkejut Baginda Raja tak menyangka makhluk yang ditemuinya? Setelah balong (bulu) ditubuhnya dicukur, ternyata dialah yang bernama Jum’at seorang suami yang pergi berburu demi sang istri yang tengah hamil menginginkan seekor rusa putih. Tekadnya bulat, tidak akan pulang sebelum mendapatkan keinginan sang istri. Tanpa disadari hingga bertahun-tahun lamanya tubuh Jum’at tumbuh balong (bulu) yang panjang dan membatu dimakan usia. Raja memerintahkan untuk menguburkan jasadnya di hutan tersebut dan dari sinilah tersebar berita dialah manusia pertama di pulau yang dikenal dengan nama Pulau Buru.

Dengan para penari di mana para penari laki-laki menggunakan kostum berwarna merah bata (mendekati coklat) dan perempuan menggunakan sentuhan warna hijau beludru membuat pukauan tersendiri dalam siratan simbol-simbol alam dan kesuburan. Karya tari ini dimulai dengan hantaran satu suara lengkingan panjang yang membelah gelapnya pentas. Sosok hitam dengan rambut lebat dan panjang bergerak dalam hening mengawali adegan tari, selanjutnya musik memainkan overture yang kemudian digunakan para penari sebagai teknik muncul. Adegan awal ini sejatinya merupakan sebuah flash back yang menceritakan pertemuan Raja dengan sang Moyang Seraga. Dalam fase overture musik menjadi sinergi kuat pada gerakan demi gerakan yang diungkai oleh para penari, aksentuasi kekuatan dalam energi penuh bersepadan dengan hentakan perkusif yang pararel.
Narasi eksposisi pada karya tari ini sesungguhnya baru dimulai pada detik ke 0.47 di mana tergambar sosok sepasang suami istri yang bergerak melakukan koreografi romantis. Disini dapat dilihat bagaimana sang istri yang tengah mengandung, menginginkan sesuatu (dalam sinopsis disebutkan: rusa putih), dan sang suami mengiyakan, kemudian pergi ketengah hutan berusaha memenuhi keinginan sang istri yang sedang mengidam. Adegan ini berjalan dengan sangat impresif dengan dukungan musik yang memainkan suasana kebahagiaan yang haru. Penonjolan pada gambaran sepasang suami istri yang sedang memadu harap dengan apik diungkapkan lewat pola blocking asimetri dan dalam paduan suasana koreografi yang dinamis.

Selanjutnya adegan berganti, irama mayor menghiasi dinamika musik dengan warna emosi yang berbeda. Pada fase ini, koreografer sekaligus para penari menunjukan skill kepenariannya dengan indah dan tertib. Pola blocking yang mengisi ruang hingga permainan-permainan extream moving action dikeluarkan oleh mereka dengan memainkan pola-pola keindahan gerak dalam irama stakatto, dalam ragam gerak joget, step zapin, trisik (pola melangkah kecil dan cepat seperti lari) dengan permainan levelling dari para penarinya sambil sesekali mengeluarkan gerak-gerak keseharian yang dikreasikan dengan gerak-gerak tiruan seperti lambaian dahan yang mengayun. Disini menurut Penulis, Koreografer melakukan aksi cerdas dengan membuat kreasi yang penulis sebut sebagai aksi tablo mengalir. Tablo yang diterapkan oleh koreografer pada umumnya selalu menampilkan pose-pose (freeze) sehingga apabila takarannya terlalu berlebihan maka akan mengakibatkan benang merah emosi yang terputus-putus atau tidak mengalir, dan ini akan berakibat fatal pada keutuhan jalannya narasi cerita karena akan berdampak pada sebuah ujung yang anti klimaks. Tampaknya koreografer karya tari “Moyang Seraga” menyadari akan hal itu, sehingga sang koreografer menata gerakan yang berkesan tablo namun tetap dalam aliran lagu. Dalam hal ini, diperlukan kerja sama dengan komitmen yang kuat dengan penata musik, seperti dalam garapan karya tari kali ini, penata musik memberikan ruang dengan memberikan warna musik stakatto (hentakan-hentakan yang menjadi warna aksentuasi pada penegasan-penegasan dan konfigurasi gerak-gerik penari).

Di menit 2.25 dinamika baik secara musikalitas maupun koreografi semakin menanjak, hentakan perkusi mendominasi, gerak-gerak tegas yang full energi dilakukan oleh para penari dan yang membuat karya tari ini semakin memukau adalah koreografer mungkin secara sengaja melepaskan diri dari elemen tradisi, sehingga gerak-gerak yang ditata sedemikian rupa bukanlah koreografi-koreografi dalam estetika keindahan, tetapi pola ini disebut sebagai ugly movement. Tidak banyak koreografer kita dengan berani memutuskan diri untuk ‘merusak dan menentang’ estetika keindahan gerak, sehingga terkadang pengungkapan gerak tari hanya terbatas pada gerakan-gerakan yang syarat akan keindahan dan biasanya komposisi gerakan-gerakan itu merupakan pengembangan dari gerakan-gerakan tradisi yang telah baku. Namun pada kesempatan kali ini, koreografer karya tari Moyang Seraga sengaja melahirkan gerakan-gerakan satire dan komikal. Fase ini sesungguhnya menjadi sebuah autokritik, bagi para koreografer tari kreasi kebanyakan yang senantiasa ‘mendewakan’ gerakan-gerakan indah dan maknawi, bahwa sesungguhnya terkadang mereka harus meretas dan membongkar kembali makna gerak itu sendiri dengan memberanikan diri ‘bertingkah’ diluar kebiasaan yang kerap mereka lakukreasikan. Para penari Moyang Seraga bergerak melompat-lompat seperti katak sambil menggoyang-goyangkan tangan mereka, meniru sebatang pohon yang tertiup angin, meniru aliran sungai, melenggang seperti itik pulang petang, melakukan tusukan-tusukan tangan sambil berjalan jongkok seperti barisan-barisan binatang hingga akhirnya musik mengalir dinamis dalam alunan sebuah lagu yang -sangat disayangkan- lirik yang dinyanyikan oleh para pemusik kurang begitu jelas.

Dalam alunan lagu, para penari melakukan gerakan koreografis yang dinamis bersebati erat dengan ritme alunan lagu. Mereka bersorak, sambil menolehkan kepala mereka, memainkan step kaki bersama dalam mode middle leveling hingga memainkan ragam-ragam gerakan yang sedang populer pada saat ini. Aliran suasana ini berjalan semakin menanjak hingga perkusi sedikit memainkan dinamika kesengajaan chaos dan sosok Moyang Seraga pun tiba-tiba muncul di sentra area sambil para penari semuanya bersimpuh statis.
Pada adegan ini, musik mengalun manis. Keberhasilan komposer dalam melakukan pleasure contemplative sehingga melahirkan refleksi lampau Moyang Seraga sangatlah impresif. Kehadiran musik yang lebih memukau telinga ini dinegosiasikan dengan cerdas oleh koreografer dengan mengosongkan ruang sesaat untuk menyerap energi musik, dan pada berikutnya melahirkan gerakan-gerakan tablo dan membiarkan tokoh Moyang Seraga secara ekpresif bergerak; menjadi sosok penonjolan yang monumental. Adegan selanjutnya diisi pada naiknya dinamika gerak yang simultan saling mengisi dan gerakan-gerakan rampak (bersamaan) dengan kekentalan hentakan-hentakan perkusif yang kemudian menggambarkan seorang raja bersama para pengawalnya yang datang dan berburu kemudian menemukan Moyang Seraga (adegan flashback awal), raja tersebut menitahkan untuk mencukur rambut lebat yang menutupi sekujur tubuh Moyang Seraga dan menguburkannya dengan kekhidamatan yang semestinya.
Dengan dikuburkannya jasad Moyang Seraga pementasan karya tari persembahan Sanggar Angsana sebagai salah satu perwakilan Kabupaten Karimun pun usai. Sambutan riuhnya tepuk tangan dan sorak sorai dari para apresiator pun menggema di aula Wan Seri Beni. Karya tari yang berdurasi kurang lebih 7 menit ini berjalan dengan indah dan memukau. Persebatian antara penari, pemusik dan para penata terangkai dengan rapi dan terencana. Seperti perpindahan setting efektifitas properti, hingga penggantian kostum, yang semuanya dilakukan di atas pentas. pengadegan berjalan begitu tertata, memperlihatkan bahwa Sanggar Angsana memang telah siap amunisi dalam berjuang di medan laga. Kelemahan karya tari ini hanya terletak pada masa transisi di menit ke 4.50 hingga 5.32. Di mana pada ruang itu benang merah tema terasa lepas dari alurnya, sehingga penulis pribadi merasakan nafas berbeda yang dapat memalingkan fokus tontonan terhadap sajian karya.

Pada dasarnya kritik ini dikaji secara objektif, berdasarkan pengamatan mendalam atas apa yang telah terjadi diatas pentas. Terlepas daripada itu, Provinsi Kepulauan Riau beserta masyarakat luas sedikitnya menaruh besar harapan kepada Sanggar Angsana untuk dapat mempertahankan atau lebih mengangkat muruah Provinsi Kepulauan Riau, setelah di tahun 2018 PLS Sanggam memboyong empat piala besar dan satu penghargaan dalam perhelatan bergengsi Parade Tari Nusantara 2018 mewakili Provinsi Kepulauan Riau di Jakarta. Di antara prestasi yang diraih adalah Penyaji Terbaik antar Wilayah Sumatera, Penata Tari dan Musik Unggulan (masing-masing tanpa jenjang), dan 13 Penyaji Unggulan hingga penghargaan atas yel-yel terbaik. Tahniah! **