Budidaya Sagu di Pulau Lingga Awal Abad 20

0
960

Sagu (sago) pantas menyandang sebutan tanaman kultural (budaya) dari Kabupaten Lingga, Provinsi Kepri. Alasannya jelas karena sejak era Kesultanan Riau Lingga, era kolonial Belanda hingga saat ini, tanaman ini terus dibudidayakan petani khususnya di Pulau Lingga. Namun, ada kesamaan sekaligus sisi mirisnya. Budidaya hingga pengolahan sagu di daerah ini sejak awal abad 20 hingga sekarang, nyaris tidak ada perbedaan yang berarti. Tidak ada kemajuan teknologi karena pengolahan yang masih tradisional.

Malahan, luas areal sagu dan produksi dari Kabupaten Lingga tahun 2019 angkanya jauh dibawah awal abad 20. Luas sagu di Kabupaten Lingga 2019 sebesar 3.341 hektar dengan produksi mencapai 2.614 ton/ tahun. Angka ini memang terbesar di Kepri. Namun, jika dibandingkan awal abad 20, luas areal sagu di Lingga kalah jauh.

Budidaya dan Produksi

Dalam melihat budidaya sagu di Lingga awal abad 20 bisa merujuk data Publicaties Van De Addeeling Handel, 1919 No 2 tentang Sago En Sago Producten. Ini publikasi bagian perdagangan sagu dan produk sagu dari  Departemen Perdagangan Pertanian, Industri, dan Perdagangan Hindia Belanda yang ada di Buitenzorg (Bogor).

Tahun 1915, budaya sagu di Afdeeling Lingga, kebun sagu  luasnya mencapai 9.750 hektar.   Dalam laporan ini disebutkan, sagu di Pulau Lingga tidak lagi digunakan secara eksklusif untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, tetapi telah menjadi barang ekspor yang penting dari Lingga.  Penanaman sagu terus digalakkan.  Di Pulau Lingga, terutama di pantai selatan, daerah luas yang cukup ditanami sagu dan karena budaya di sana sangat menguntungkan. Kebun sag uterus diperluas dengan kondisi lahan yang sesuai di hamparan besar.

Produksi sagu di Pulau Lingga periode tahun 1913 sampai 1915, lebih dahsyat dari produksi sagu di Kabupaten Lingga masa kini. Tahun 1913, produksi sagu mencapai 6.253 ton. Tahun 2014 sebesar 1,829 ton dan tahun 2015 naik lagi menjadi 5.043 ton.

Ekspor sagu olahan dari Riouw yang berasal dari Pulau Lingga dan Selat Panjang tahun 1913 sampai 1917 terbesar di nusantara, mengalahkan Ambon, Borneo (Kalimantan), Aceh, Tapanuli, Celebes (Sulawesi), Bali Lombok, Jambi, Bengkulu dan Belitung. Saingannya hanya Indragiri yang juga dari Karesidenan Riau. Tahun 2013  ekspor sagu olahan mencapai 4752 ton. Tahun 1914 ekspor 4805 ton. Tahun 2015 ekspor sagu dan sagu olahan sebesar 4496 ton. Tahun 1916 ekspor sebesar 4467 ton. Tahun 1917 ekspor sagu angkanya 3797 ton.

Pekerja sagu di Lingga selain orang Melayu dan ada juga Tionghoa. Pada periode 1913 sampai 1915 ini, jumlah pekerja Orang Melayu yang terlibat dalam budidaya dan pengolahan sagu mentah sebesar 1.200 orang.

Cara Mengolah Sagu

Laporan instansi pemerintah kolonial bidang pertanian sangat lengkap, termasuk menjelaskan cara pengolahan sagu di Lingga. Pohon sagu setelah ditebang, batangnya dipotong menjadi dua bagian.  Dicincang atau digergaji dengan panjang tiga kaki.  Batang sagu diangkut menggunakan tangkai daun sagu.  Sagu dibawa ke tempat parut sagu.  Parutan (paroet) adalah alat yang sangat sederhana, terdiri dari sebuah rak dengan pegangan, sementara melalui paku atau runcing itu setrika yang dibuat balin (iga payung) dipukul. Poinnya harus keras, mudah dipakai namun tangguh.

Sebagian besar parut bertabur. Masa parut sekarang tersebar di atas tikar (tikar), yang melekat pada jendela kayu persegi (unit ini disebut “para” dan sering digunakan sebagai gantinya keranjang) dan kemudian dicampur dengan air. Air ini menjadi biasanya dengan beberapa jenis pengungkit (‘djaran’). Ember diambil dari sumur terdekat dan menuangkannya ke corong yang ditenun dari daun (atap) di atas tikar.

Sumur parut sekarang diinjak-injak. Air jenuh dengan sagu kemudian mengalir keluar dari tikar melalui tikar jendela dan jatuh ke corong, yang terbuka di atas talang (salor). Selokan ini terbuat dari cekungan batang pohon, atau papan, panjangnya beberapa meter, terkadang dua batang itu disatukan. Air sagu dibiarkan berdiri di sana sebentar sampai sagu benar-benar matang dan kemudian mengambil segelnya atau rak) di ujung selokan, sehingga air bisa mengalir. Sagu basah” tertinggal di selokan dijual ke pabrik sagu, untuk pengolahan lebih lanjut.

Air sagu juga dibiarkan mengalir ke sungai. Wadah besar  biasanya terdiri dari langen batang pohon berlubang atau kotak kayu sekitar  tiga meter. Dalam hal ini, sagu dibiarkan mengendap, sementara air mengalir melalui celah yang sangat kecil, yang ada di dinding diterapkan. Limbah yang tersisa di tikar setelah mengayuh disebut serampin.

Periode awal abad 20 itu di Pulau Lingga telah ada  satu pabrik yang memiliki satu binatu.  Mesin uap digunakan untuk memarut galur sagu, sehingga di sini, berbeda dengan perusahaan lain. Ada  teknik  memisahkan sagu mentah (sagu basah” atau kotor) dalam cucian. Caranya, kain putih diregangkan di atas bak besar.  Kain sagu mentah dicampur dengan air. Air sagu, yang merembes melalui kain, dibiarkan menetap selama sehari. Dari tepung ada di dalam bak, lalu airnya dibiarkan lari dan pindahkan massa yang telah ditentukan ke bak lain. Tempat itu lagi dicampur dengan air. Air sagu ini sekarang digunakan dalam jumlah kecil di selokan kayu meraup, yang sedikit miring. Air sagu yang mengalir sangat lambat dihentikan setiap saat papan penutup, dengan mana limpasan (oleh perpindahan papan) sedikit disesuaikan. Di selokan sekarang tepung sagu mengendap dan hari berikutnya rendah sagu putih murni hadir.

Sagu yang diperoleh sekarang dikeringkan, yang dilakukan dengan menempatkan tepung basah di luar di atas tikar di bawah sinar matahari. Pengeringan buatan diterapkan di Lingga. Ini telah Tempatkan di lantai semen kering, termasuk kebakaran kayu ditata. Produk ini tersebar di lantai-lantai itu berputar terus sampai benar-benar kering. Namun, sagu kering harus menjadi yang terbaik. Tak perlu dikatakan bahwa semakin murni air, semakin banyak cucian digunakan, lebih putih dimurnikan.  Dengan cara ini, kualitas tepung sagu dari Lingga sangat baik di Hindia Belanda dan lebih bagus dari Selatpanjang di Bengkalis.

Produk Olahan Sagu

Kalau saat ini di Kepri banyak kuliner olahan dari sagu, jangan menganggap ini sesuatu yang baru. Dari laporan Publicaties Van De Addeeling Handel, 1919 No 2 tentang Sago En Sago Producten, terangkum berbagai produk olahan sagu di Lingga. Antara lain, pertama, sagu lempeng (gulungan sagu). Sejumlah sagu dicampur dipanggang dalam wajan. Sedangkan memanggang adalah tentang daun pisang ditempatkan  untuk mengompres lempeng. Perawatan harus diambil untuk memastikan bahwa lempeng tidak terbakar. Saat hidangan dimasak, disajikan dengan ikan.

Kedua, gubal yang dimakan dengan ikan dan juga nelayan memakannya dengan kerang mentah.  Ketiga,  Kepoeroen nenek (kepurun). Cara pembuatan: sagu pertama dicampur air kemudian dimasukkan ke dalam panci dan diaduk. Ketika campuran ini mulai menjadi cairan kental, kita bisa tambahkan sedikit lemak daging sapi  dan aduk  tebal dan matang. Hidangan ini dimakan bersama daging, ikan atau sayuran. Keempat,  sagu kerepek. Gula direbus terlebih dahulu dengan susu ke bubur cair kemudian dicampur dengan tepung sagu. Setelah itu campuran diratakan menjadi bulat kemudian bentuk persegi. Biskuit sagu ini sebelum dikonsumsi diletakkan sebentar di belakang pot tanah besar, yang ditutup dengan sisi kosong di atas api untuk dipanggang. Keenam, keropok.  Tepung sagu dicampur dibuat menjadi batang bundar, yang kemudian direbus sampai  dimasak. Baru dipotong halus dan dijemur. Sebelum digunakan, mereka dipanggang sebentar dengan minyak goreng. Hidangan sagu jenis ini dapat disimpan untuk waktu yang lama.** (Dedi Arman, Peneliti Sejarah BPNB Kepri. Terbit di Harian Tanjungpinangpos, 20 April 2020)