Oleh Sita Rohana
Setiap kali kemarau datang, dapat dipastikan seluruh daratan Sumatra akan tertutup asap. Begitu pula periode kemarau bulan September 2014 lalu. Asap bagai merpati yang tak pernah ingkar janji pada Jambi. Kelam-kabut. Kelam karena kabut asap, kelam yang membuat kalang-kabut. Sebagian besar wilayah Jambi hidup dalam ruang yang kelam-kabut, dalam arti yang sesungguhnya. Istilah ‘kelam-kabut’ sekarang lebih banyak digunakan dalam makna kiasan atau figuratif, terutama melalui istilah turunannya ‘kalang-kabut’, yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti: bingung tidak keruan.
Di siang hari, ruang kita dikurung-litup oleh kabut asap dari pembakaran lahan yang mestilah dalam luasan yang sangat besar. Tidak hanya dari wilayah Jambi semata, melainkan juga dari Sumatera Selatan dan Riau. Bahkan, seluruh pulau Sumatera nampaknya tersulut api kala kemarau tiba. Asapnya bersatu bak tentera, mengurung kita semua. Semua kita pun terganggu. Bahkan, negara-negara jiran pun berteriak-teriak sesak keasapan.
Seperti kata pepatah, ada asap pasti ada api. Bencana asap ini berasal dari api yang membakar hutan, baik oleh perusahaan maupun masyarakat. Beberapa tahun yang lalu, para peladang berpindah tradisional selalu menjadi kambing hitam dalam setiap bencana asap yang terjadi. Namun, setidaknya dalam 5-10 tahun terakhir, orang mulai disadarkan, bahwa ada yang memiliki andil besar sebagai pemantik api, yaitu pembukaan hutan untuk perkebunan dalam skala luas oleh swasta maupun perorangan. Perkembangan perkebunan sawit yang semakin agresif dalam dua dasawarsa terakhir merupakan salah satunya.
Melalui tulisan ini, penulis berusaha untuk melihat masalah lingkungan dari perspektif antropologis untuk melihat perubahan makna hutan dan implikasinya. Bencana asap yang selalu terjadi setiap tahun ini bukan hanya menyangkut persoalan penegakan kebijakan dalam pemanfaatan hutan dan lahan semata, melainkan di dalamnya juga terkait dengan masalah sosial budaya. Apa yang sedang terjadi dalam masyarakat kita?
Hutan-tanah dan Masyarakat Tradisional: kearifan ekologis yang tergerus
Dalam adat dan budaya Melayu pada umumnya, hutan-tanah berfungsi sebagai: (a) simbol eksistensi dan marwah, (b) sumber inspirasi, kreasi, dan ekspresi budaya, (c) sumber nafkah.
Hutan-tanah dikelola dengan membaginya secara umum ke dalam ruang kehidupan (lebensraum) komunal. Secara tradisional, adat membagi hutan berdasarkan peruntukkan menjadi tiga—di beberapa tempat mungkin memiliki pembagian yang lebih rumit—yaitu, untuk tempat tinggal (kampung), aktivitas ekonomi (ladang), dan hutan larangan (hasilnya boleh diambil tanpa menebangin pohonnya, sifatnya sebagai hutan simpanan). Pemanfaatan dan pengolahannya secara cermat diatur oleh adat demi kepentingan bersama. Dalam hal ini adat merupakan sistem budaya yang responsif terhadap adaptasi ekologis (lihat Hari Purwanto, 2000). Di satu sisi, adat mengatur agar kesejahteraan masyarakat terjamin, tidak ada konflik kepentingan. Di sisi lain, adat juga berfungsi untuk menjaga keseimbangan alam dan kelestariannya.
Ladang dalam pengertian ini merujuk pada sistem peladangan berpindah, yang menurut Riggs (2002: 70) didefinisikan sebagai “perputaran penggunaan ladang jangka panjang, secara ekologis seimbang dengan lingkungan-lingkungan tropis.” Dalam sistem ini ada masa tanam sekitar 3-5 tahun dan masa jeda untuk memberi waktu lahan merimba kembali dan memulihkan kesuburan tanah selama 10-20 tahun. Namun, untuk memberi jangka waktu yang cukup bagi sirkulasi itu tentu memerlukan wilayah yang luas. Pada masa lalu, hutan-tanah hak ulayat masyarakat adat luas untuk memungkinkan berjalannya peladangan berpindah yang selaras dengan keseimbangan ekologis ini.
Menurut Weinstok (1990), Sumatera—termasuk Jambi—memiliki wilayah yang terluas kedua setelah Kalimantan dalam pemanfaatan hutan untuk aktivitas peladangan berpindah. Ini kondisi dalam tahun 80-an hingga 90-an, yang kemudian cenderung menurun dan kian menghilang karena semakin menyusutnya hutan dan kebijakan pemerintah yang membatasi aktivitas ini.
Dalam aktivitas peladangan berpindah ini, pembukaan hutan dilakukan dengan membakar. Cara ini dianggap memiliki banyak keuntungan, selain dapat membersihkan lahan dari pepohonan dan semak-semak, sekaligus dapat melepaskan zat penyubur dari pohon-pohon hutan dan membinasakan hama penyakit yang terkandung di permukaan tanah. Sisa pembakaran sendiri menjadi pupuk yang menyuburkan tanah. Luas hutan yang dibuka diukur sebatas kemampuan untuk mengolahnya. Batas-batasnya kemudian dibuat semacam “koridor” di sekelilingnya untuk mengamankan agar api pembakaran lahan tidak merambah keluar batas. Selain itu, juga dengan memperhitungkan arah angin, agar pembakaran berhasil sesuai yang diharapkan tanpa menimbulkan bencana yang mengancam keselamatan manusia maupun kelestarian hutan.
Kearifan tradisional ini diwariskan secara turun-temurun dan dipatuhi sebagai aturan. Akan tetapi, sejak dua dasawarsa terakhir, aktivitas peladangan berpindah tradisional semakin tidak memungkinkan dilakukan karena semakin terbatasnya wilayah hutan sejak beroperasinya perusahaan perkebunan besar yang memiliki hak konsesi yang bahkan di beberapa tempat mencakup hutan-tanah yang merupakan hak ulayat masyarakat adat. Masyarakat adat yang tinggal di kawasan hutan, seperti orang Rimba di Jambi, Orang Talangmamak, Petalangan, Bonai, dan Sakai di Riau pun tidak lagi memiliki keleluasaan untuk mengakses hutan lagi.
Hutan Jambi yang dulu merimba dikenal sebagai tempat hidup orang Rimba, yang menjadi contoh masyarakat tidak akan merusak, karena hutan adalah nafas hidupnya. Mereka hidup dalam kearifan yang diturunkan dari generasi ke generasi untuk memanfaatkan kekayaan alam sekaligus melestarikannya untuk kepentingan anak-cucu.
Hutan sebagai Kekayaan Alam: Eksploitasi tanpa batas
Pasal 33 ayat 3 Undang-undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Pasal ini menjadi dasar bagi negara dalam memberikan hak konsesi atas hutan, termasuk hak ulayat masyarakat adat. Dalam pasal tersebut, terdapat dua hal pokok yaitu mengenai penguasaan oleh negara dan pemanfaatan untuk kemakmuran rakyat. Hal kedua ini yang sering luput dari perhatian, karena masyarakat adat adalah bagian dari rakyat Indonesia yang semestinya juga berhak atas kemakmuran.
Hutan sebagai kekayaan alam seringkali dipahami dalam makna sempit, untuk dieksploitasi guna mendapatkan keuntungan ekonomi sebesar-besarnya, tanpa mempertimbangkan kelestarian dan masa depannya. Pohon yang ditebang tidak diganti dengan menanam pohon baru. Ribuan hektar wilayah hutan pun akhirnya musnah hanya dalam waktu beberapa tahun, sebagian berganti dengan perkebunan sawit yang terbukti menjadi ancaman bagi lingkungan hidup, sebagian lagi terbiar setelah diambil kayu-kayunya.
Ketika hutan dianggap sebagai kekayaan alam yang menunggu dieksploitasi, baik untuk segala yang terkandung di dalamnya maupun lahannya, kelestarian alam berada di bibir jurang kehancuran. Hutan dibuka dengan dengan agresif untuk mendapatkan lahan luas guna perkebunan untuk tanaman yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Aktivitas ini tidak hanya dilakukan oleh perusahaan-perusaan besar yang memiliki hak konsesi rubuan hektar, tetapi juga perorangan.
Dalam hal ini, pembukaan hutan dengan cara tradisional melalui pembakaran dianggap sebagai metode paling efektif, efisien, dan murah pun menjadi pilihan. Namun, karena pembakaran tersebut tidak mematuhi tatacara tradisional dengan yang memperhitungkan kelestarian hutan, akibatnya kebakaran sering di luar kendali, merebak ke wilayah yang meluas. Ditambah lagi dengan banyaknya pihak yang membakar area hutan pada saat yang bersamaan di musim kemarau. Tak ayal, asap yang dihasilkannya pun dapat menutup seluruh wilayah Jambi selama berminggu-minggu.
Di sisi lain, pertambahan penduduk karena kelahiran dan migrasi menuntut ruang hidup yang semakin luas, baik lahan maupun pekerjaan. Kepadatan penduduk di Jawa mendorong migrasi ke luar Jawa yang kian meningkat dari tahun ke tahun. Termasuk di dalamnya adalah program pemerintah transmigrasi yang digalakkan pada masa sejak masa Orde Baru (lihat Levang, 2003). Sumatera, termasuk Jambi, merupakan salah satu daerah tujuan. Lahan yang luas, yang sebagian masih berupa hutan, menjadi sumberdaya yang menunggu untuk diolah. Sektor perkebunan termasuk pekerjaan yang paling banyak menyerap tenaga kerja dari luar Jambi, apakah sebagai pekerja atau sebagai pemilik lahan.
Para pendatang pada umumnya tidak merasa memiliki ikatan dengan bumi Jambi, sehingga seringkali hanya mengejar keuntungan semata tanpa memikirkan kelestarian alam. Akan tetapi, warga tempatan pun tak jarang tergoda oleh keuntungan besar dari penjualan hasil hutan (illegal logging) dan perkebunan sawit. Keberhasilan dan keuntungan yang didapat oleh perusahaan-perusahaan perkebunan memang sangt menggoda.
Kebakaran Hutan dan Penanganan Asap
Membakar lahan untuk industri skala besar di masa lalu pernah diberi kelonggaran, ketika ada kebijakan melarangnya, perusahaan tidak semuanya siap. Akan tetapi, pembakaran hutan oleh perusahaan lebih mudah diawasi karena wilayahnya yang jelas. Beda engan pembakaran hutan yang dilakukan oleh perorangan yang lebih sulit untuk diawasi. Ketika Riau telah berhasil mengurangi kebakaran asap di tahun ini karena tekanan pada perusahaan-perusahaan yang membakar hutan, Jambi masih harus berkutat dengan pembakaran hutan oleh perorangan. Hingga saat ini, asap masih menjadi masalah terbesar bagi Jambi setiap datang musim kemarau.
Pembakaran hutan yang mengakibatkan kebakaran meluas juga disebabkan oleh penegakan hukum yang seringkali tidak menjerakan, dan bersifat parsial: untuk perusahaan yang membangkang larangan membakar, diistilahkan perusahaan “nakal” (dalam takrif Melayu, kata “nakal”, yang pada umumnya dikenakan untuk anak-anak mengandung pengertian dapat dimaklumi dan dimaafkan); harusnya: kepada mereka juga dikenakan istilah perusahaan “jahat”, sehingga sama maknanya dengan pelaku kriminal, dan diberlakukan sama pada pelaku pembakaran dari perusahaan besar, kecil, dan perorangan.
Bila kita terus menyusur sebab-musababnya hingga ke hulu, kita akan bertemu dengan punca persoalan, yaitu kurangnya perhatian pemerintah dalam persoalan lingkungan hidup, baik antara pemerintah pusat maupuan daerah. Pemerintah perlu melakukan revisi dalam peraturan pemanfaatan hutan dan lahan. Setiap pemberian hak konsesi semestinya memerlukan pengawasan yang berkesinambungan, sehingga ketika sampai pada titik yang berbahaya dapat ditindak tegas. Selain kurangnya pengawasan terhadap pembukaan ladang ini, juga penegakan hukum terhadap pelanggaran masih belum tegas. Hasilnya, masalah kebakaran hutan pun menjadi bola benang yang ruwet saling berjalin dengan masalah sosial dan ekonomi hingga sulit menjadi ujung-pangkal untuk mengurainya.
Andai saja—kita hanya bisa berandai-andai—kita semua bisa belajar dari para pendahulu, para “penjaga kelestarian alam”, orang Rimba di Jambi yang bijak berstari, bencana alam ini tidak perlu kita tuai setiap tahun bagai panen. Anak-anak tidak pun tidak harus setiap tahun terpapar pada kondisi kesehatan yang terancam infeksi saluran pernafasan karena kualitas udara yang sangat buruk ketika bencana asap datang yang dapat berlangsung berminggu-minggu.
Sudah saatnya sosialisasi mengenai pelestarian lingkungan hidup, khususnya untuk pencegahan pembakaran hutan, dilakukan secara terkoordinir yang melibatkan seluruh pemerintah pusat, daerah, masyarakat, lembaga swasaya masyarakat, dan aparat keamanan; serta, didukung penegakan hukum yang tegas bagi pelanggar. Selain itu, perlu kiranya dalam pembuatan kebijakan yang terkait dengan sumberdaya alam seperti hutan agar melibatkan kearifan lokal masyarakat setempat yang sangat mempertimbangkan keseimbangan ekologi.
Penutup
Di dalam kesesakan ruang kelam-kabut inilah, kita menyaksikan, membaca, dan mendengar program-program pemerintahan baru. Harapan akan perubahan ke arah yang lebih baik dilantunkan. Apakah akan membawa “terang” bagi kelam-kabut kita nantinya? Apakah masalah rutin kelam-kabut ini akan terlupakan begitu saja seperti tahun-tahun yang lewat? Hanya diingat ketika kemarau, tapi begitu tetes hujan pertama jatuh dilupakan begitu saja. Ataukah akan ada perubahan yang signifikan bagi kemaslahatan orang ramai? Semua pertanyaan ini ada dalam benak kita semua, dengan setitik harapan akan kehidupan yang lebih baik; walau kadang pengalaman membuat kita menjadi pesimis untuk berharap.
Kebudayaan Melayu yang hakiki, yaitu kebudayaan Melayu yang dikurung ‘adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah’, dengan tegas merayakan sisi ‘ingat’, dan menegasikan ‘lupa’. Dengan ingatan dan pikiran, zikri wal fikri, diri dapat mengendalikan nafsu-nafsi yang bermuara ke jurang ‘kelupaan’. Dengan zikri wal fikri pula diri menunaikan tugas sosialnya: membangun peradaban yang wujud dalam bentuk kebersamaan yang maslahat, kehidupan yang dalam kesementaraannya digerakkan oleh interaksi hubungan vertikal dan horisontal. Kita di alam Melayu sesungguhnya tak perlu berhutang kepada pengarang Milan Kundera untuk menakrifkan bahwa “hidup adalah perjuangan melawan lupa”, bila kita hari ini tidak terlajak masuk ke wilayah ‘lupa’ pada budaya Melayu yang hakiki itu. Dan alangkah malangnya, bila bahaya-bahaya kelupaan itu sebagian kita sendiri yang menciptakannya, atas nama tradisi Melayu.
Kita berharap kelam dan kabut yang mengurung negeri kita kini, tidak membuat kita terperosok ke dalam pemikiran yang kalang-kabut, tapi sebaliknya malah membuat zikri kita semakin khusyuk, dan fikri kita bertambah terang-benderang menelisik arus yang mengalir di balik permukaan kenyataan, membaca dan memaknakannya untuk bersikap dan bertindak di masa kini dan masa depan.
Referensi
Rigg, J., 2002, “Ladang dan Hutan”, dalam Manusia dan Lingkungan, Seri Indonesian Herritage, Jakarta: Buku Antar Bangsa untuk Grolier Internasional, Inc.
Weinstock, J., 1990, Study on Shifting Cultivation in Indonesia. Laporan Tahap 1 pada Projek FAO UTF/INS/065 INS, Roma: FAO.
Levang, P., 2003, Ayo ke Tanah Sebrang: Transmigrasi di Indonesia, Jakarta: KPG.