Oleh Sita Rohana
Adat dalam Pengertian Melayu
Berikut ini adalah gambaran mengenai adat di kalangan orang Rimba (dikutip dari Steven Sager, 2008):
Sejak dir’i bumi setumpang tijak
langet solebor payung,
adat nenek puyong kito,
hidup, mati
do posko posko jugo nang dopakos yah
[Sejak bumi sekecil tapak (kaki)
dan langit selebar bayung
adat nenek-moyang kita
hidup, mati, jadi pusaka]
Maknanya, adat diwariskan oleh nenek-moyang, pusaka yang harus selalu dipegang sebagai pedoman atau pegangan sepanjang hidup dikandung badan.
Hatop, belangit
lantoi, begebun
Iyoi, kami adat Rimba
[Atap langit,
berlantai kebun
Iya, inilah adat Rimba kami]
Kalu balok rimba kami, maju kiamat
Kalu pemer’intah tetap kami de dusun
bunuh adat nenek puyong kami, bunuh hidup kami
Samo lah, bunuh hidup kami
Adat kini sodah bebeda
jedi,
kami deri nenek puyong dulu duduk de rimba
sampoi putoi patah leher kami
piado endok ikut hidup de dusun
[Kalau rimba kami ditebang, kiamatlah
kalau pemerintah paksa kami tinggal di dusun
bunuh adat nenek-moyang kami, bunuh hidup kami
Sama dengan membunuh kami
Adat kini sudah berbeda
Kami sedari nenek-moyang dulu tinggal di rimba
Sampai putus-patah leher, kami tak kan hidup di dusun]
Adat Orang Rimba mencakup alam lingkungan tempat hidup mereka, rimba. Rimba dalam arti tempat dan ruang. Tanah rimba tempat kaki berpijak. Langit biru menaungi. Udara yang mereka hirup berasal dari rumput basah, semak belukar dan dedaunan dari pepohonan. Karenanya, kalau rimba ditebang berarti kiamat, akhir kehidupan mereka.
Bagi orang Rimba, kiamat sedang berlangsung. Luasan rimba telah tercabik. Bagai paru-paru yang berlubang, kemampuannya untuk bernafas pun terancam. Perubahan lingkungan ini akan membawa pada kebinasaan kehidupan orang Rimba beserta adatnya. Apabila orang Rimba dijauhkan dari rimba, maka adat rimba pun akan menghilang. Dari kutipan di atas tergambar bahwa ada upaya pemerintah untuk “memaksa” mereka keluar dari hutan. Relokasi masyarakat adat merupakan program yang sejak tahun 1970-an dijalankan. Tujuannya adalah untuk menyejahterakan masyarakat adat, yang dianggap sebagai kelompok tertinggal. Namun, karena program ini tidak dirancang dengan memperhatikan kebutuhan masyarakat adat sendiri, program ini justru seringkali membuat masyarakat adat semakin terpuruk. Sebagaimana orang Laut di Kepulauan Riau yang “dipaksa” untuk menjalani kehidupan daratan, akhirnya hidup sebagai kelompok masyarakat miskin. Dan, yang lebih mengenaskan, adat yang berkaitan dengan lautan lepas pun kemudian hilang karena tidak punya relevansi lagi dengan kehidupan baru yang mereka jalani. Apabila orang Rimba harus hidup di kampung-kampung, maka tradisi dan adat rimba mereka pun akan menghilang.
Apakah adat? Di dalam semua kamus yang memberikan keterangan tentang asal (etimologi) suatu kata, disebutkan bahwa kata ‘adat’ berasal dari bahasa Arab, ‘adah. Di dalam semua kamus bahasa Melayu, baik yang ekabahasa (tradisinya dimulai oleh Raja Ali Haji pada paruh kedua abad ke-19 lewat bukunya yang berjudul Kitab Pengetahuan Bahasa Melayu Johor-Riau), maupun yang dwibahasa (seperti kamus bahasa Melayu-Belanda, bahasa Melayu-Inggris, bahasa Melayu-Italia, sampai ke bahasa Indonesia-Prancis), kata ‘adat’ tidak pernah dijelaskan dengan arti tunggal dan ringkas. Keragaman arti suatu kata dalam sebuah kamus lazimnya menandakan kata itu bersifat konseptual, dengan penggunaan yang subur dan multi-dimensional dalam suatu kebudayaan.
Di dalam kamus berjudul Nieuw Maleisch-Nederlandsch Woordenboek met Arabisch Karakter [Kamus Baru Bahasa Melayu-Belanda dengan Huruf Arab] yang mulai disusun Klinkert tahun 1860-an, kata ‘adat’ dijelaskan berpanjang-lebar, sampai hampir 300 kata. Kamus Klinkert ini dianggap sebagai kamus Melayu-Belanda yang paling berwibawa di lingkungan pengkaji alam Melayu di Eropa dan Asia era kolonial.
Di dalam kamus dwibahasa lainnya, A Malay-English Dictionary (Romanised) [Kamus Melayu-Inggris dalam huruf Latin] yang disusun Wilkinson mulai akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20, kata ‘adat’ memerlukan sekitar 450 kata penjelas. Sama dengan kamus Melayu-Belanda Klinkert, kamus Wilkinson ini dianggap sebagai kamus Melayu-Inggris yang paling komprehensif di zamannya.
Benang merah pengertian kata ‘adat’ dalam kamus-kamus itu, dan kamus-kamus bahasa Melayu lainnya (termasuk kamus bahasa Indonesia), adalah ‘hukum’. Pusaran arus makna kata ‘adat’ berada di ranah: hukum alam, hukum buatan manusia, dan kelaziman sosial. Ketiga ranah hukum itu maujud ke dalam sebutan-sebutan kategoris: ‘adat sebenar adat’, ‘adat yang diadatkan’, dan ‘adat istiadat’.
‘Adat sebenar adat’, secara luas merujuk kepada kepastian dan keniscayaan alamiah: adat air itu cair, api itu panas, buah jatuh tak jauh dari pohonnya, dan seterusnya. Pada tahap awal, hukum atau dalil yang seperti itu diperoleh manusia dari penyimakannya terhadap alam fenomena. Setelah Islam merasuki religiusitas sebagian besar Alam Melayu, ‘adat sebenar adat’ mengalami proses konfirmasi dengan wahyu yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. ‘Adat sebenar adat’ dalam bahasa Islam adalah segala sesuatu yang bersifat sunatullah.
‘Adat yang diadatkan’, ialah hukum buatan manusia, produk politik untuk menata dan mengendalikan perkembangan hasrat, tindakan, dan perilaku manusia dalam hubungannya dengan sesama, dengan dunia konkrit, dan dengan metafisik. Sebagai hukum, ia wujud dalam bentuk aturan yang dirumuskan ‘pucuk jala pumpunan ikan’, yaitu para elit dalam suatu kelompok sosial, seperti raja, datuk-datuk dan pucuk-pucuk adat, dan lain-lain. Setelah Islam menjadi anutan umum di alam Melayu, aturan-aturan tersebut dirujukkan ke syari’at: hukum yang dirumuskan dari wahyu, yang penerapannya diteladankan oleh Muhammad Rasullullah sallahu ‘alaihi wasallam. Sebagai produk politik, ‘adat yang diadatkan’ baru memperoleh legitimasi bila sesuai dengan syari’at Islam, seperti tergambar dari ungkapan: adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah.
‘Adat istiadat’ pula, ialah kebiasaan sosial yang tumbuh dan berkembang dari keinginan memberi keistimewaan pada titik-titik tertentu dalam siklus kehidupan individu dan sosial. Di tanah Melayu, ia disebut ‘adat yang teradatkan’, dan wujud dalam aneka bentuk serta susunan upacara dan semua kegiatan yang kini kita sebut tradisi masyarakat.
Pengertian tersebut terangkum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam penjelasan mengenai lema adat:
1 aturan (perbuatan dsb) yg lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala: menurut – daerah ini, laki-lakilah yg berhak sbg ahli waris; 2 cara (kelakukan dsb) yg sudah menjadi kebiasaan; kebiasaan: demikianlah –nya apabila ia marah; (pd) –nya; 3 wujud gagasan kebudayaan yg terdiri atas nilai-nilai budaya, norma hukum, dan aturan yg satu dng lainnya berkaitan menjadi suatu sistem.
Pengertian adat seperti di atas sering tidak dipahami oleh peneliti Barat. Marsden (2013: 255) dalam bukunya Sejarah Sumatra yang ditulis pada akhir abad ke-18, mengatakan bahwa tidak ada istilah lokal yang jelas merujuk pada hukum. Ia mengatakan bahwa penyelesaian berbagai sengketa diberpedoman pada adat istiadat yang diwariskan seara turun-temurun yang isinya dibuat berdasarkan peristiwa yang telah terjadi atau kesepakatan umum. Sementara bila ada permasalahan yang belum pernah terjadi di masa lalu, mereka akan merundingkan penyelesaiannya. Tulisan Marsden ini menyiratkan akan tidak adanya hukum yang tegas sebagaimana perspektif hukum Barat. Bahkan ia menyebut sistem peradilan berdasar adat ini sebagai “cacat”. Sejalan dengan pandangan tersebut, Gubernur Jenderal Inggris, Mr. Hastings, kemudian memerintahkan penyusunan hukum formal di seluruh wilayah Sumatra kepada pejabat Kompeni dengan bantuan penduduk lokal yang berpengalaman dan kompeten. Inti dari ilustrasi ini adalah bahwa bagi orang Melayu, adat adalah pedoman hidup, di dalamnya ada aturan yang harus dipatuhi dan sanksi bagi pelanggarnya. Dalam makna ini, adat adalah hukum.
Kebudayaan dalam perspektif Antropologi
Bagian ini membahas mengenai keterkaitan antara konsep adat yang telah dibahas di atas dengan konsep kebudayaan. Hal ini dikarenakan sering terjadi tumpang-tindih dan salah-tafsir mengenai kedua kata di atas. Para peneliti, khususnya antropolog, turun ke lapangan dengan membawa konsep “kebudayaan”. Sementara, kata ini asing bagi orang Melayu. Tulisan ini berusaha untuk menari pijakan bagi istilah “kebudayaan” untuk mendapatkan padanan yang paling pas dalam pengertian Melayu. Setidaknya dapat membawa konsep akademis agar lebih membumi.
Salah satu definisi yang paling sering dirujuk mengenai kebudayaan adalah dari Koentjaraningrat (2000: 181). Menurut Koentjaraningkan, kebudayaan berasal dari kata budhayah dalam bahasa Sanskerta yang merupakan bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal dalam bahasa Indonesia. Jadi, budaya adalah “daya budi”, yang berupa cipta, karsa, dan rasa. Sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa itu. Dalam antropologi budaya dan kebudayaan memiliki substansi yang sama. Definisi mengenai kebudayaan ini dijabarkan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia melalui proses belajar.
Definisi di atas dikembangkan dari definisi E.B. Taylor (dalam Koentjaraningrat, 2000) yang mengartikan kebudayaan sebagai keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Sementara itu, Clifford Geertz (dalam Koentjaraningrat, 2000) mengatakan bahwa kebudayaan merupakan sistem mengenai konsepsi-konsepsi yang diwariskan dalam bentuk simbolik yang dengan cara ini manusia dapat berkomunikasi, melestarikan dan mengembangkan pengetahuan dan sikapnya terhadap kehidupan.
Ketiga definisi ini menjabarkan konsep kebudayaan sebagai kompleks gagasan yang menjadi pedoman hidup, terkandung di dalamnya pengertian tatacara, aturan, dan hukum dalam bentuk yang khas dan disepakati bersama, serta telah melewati proses pewarisan dari generasi ke generasi.
Dengan demikian, pengertian adat sebagaimana dijabarkan dalam bagian awal tulisan ini sejalan dengan pengertian mengenai kebudayaan dalam perspektif antropologi. Walaupun seringkali dalam implementasinya fokusnya sedikit berbeda. Adat lebih banyak ditafsirnya sebagai hukum. Misalnya dalam Pokok-pokok Adat Pucuk Jambi Sembilan Lurah yang diterbitkan oleh Lembaga Adat Provinsi Jambi pada tahun 2001. Dalam buku pedoman ini, adat dijabarkan sebagai hukum. Di dalamnya ada aturan dan sanksi bagi pelanggarannya. Aturan ini menakup perkara hukum perdata maupun pidana. Hukum adat ini, di antaranya adalah Induk Undang Yang Lima, Pucuk Undang Yang Delapan, dan Anak Undang yang Dua Belas bersumber pada ketentuan hukum Islam.
Sementara, kebudayaan dalam perpektif antropologi tidak hanya berkenaan dengan aturan dan sanksi, melainkan mencakup representasinya dalam ketiga wujud kebudayaan, yaitu: ide atau gagasan, tindakan, dan budaya materi. Dalam kerangka ini, hukum hanya bagian dari wujud kedua, yaitu tindakan. Ketiga wujud kebudayaan ini yang paling mendasar yaitu ide atau gagasan, karena di sinilah terletak landasan konseptual dari keseluruhan tindakan manusia diatur dalam pola-pola yan telah disepakati bersama dan yang menghasilkan budaya materi yang khas.
Meskipun ada perbedaan fokus dalam implementasinya, baik adat maupun kebudayaan sama-sama mengandung makna yang merujuk pada kekhasan suatu kelompok masyarakat. Dengan kata lain, keduanya merujuk pada identitas suatu kelompok yang membedakannya dari kelompok lainnya.
Semoga dengan tulisan ini, konsep lokal seperti adat dapat menjadi konsep yang bersifat akademis. Tinjauan akademis mengenai kebudayaan masyarakat semestinya berangkat dari konsep-konsep lokal, sehingga pengertiannya dapat sedekat mungkin sesuai dengan yang dimaksudkan.
Referensi
Koentjaraningkat, 2012, Pengantar Ilmu Antropologi,
LAM Jambi, 2001, Pokok-pokok Adat Pucuk Jambi Sembilan Lurah, Jambi: LAM Jambi.
Marsden, W., 2013, Sejarah Sumatra, Jakarta: Komunitas Bambu.