Menyebut nama ketupat terbayang nama ketupat. Kuliner saat hari-hari besar, seperti lebaran. Namun, ketupat dalam tradisi ini maknanya berbeda.
Tradisi perang ketupat merupakan tradisi yang dilaksanakan dengan tujuan meminta perlindungan dari terhadap hal-hal yang tidak diinginkan. Di Desa Tempilang, Bangka Barat, masyarakatnya sebagtian besar bekerja sebagai nelayan dan petani. Perang ketupat diadakan untuk menghindari gangguan makhluk gaib yang ada di darat dan laut.
Dulunya, perang ketupat diakan sebagai persembahan untuk penguasa laut dan penguasa darat. Namun setelah berkembangnya pengaruh agama Islam upacara ini berangsur-angsur berubah baik dari segi tujuan dan ritualnya yang mulai bergeser yaitu memadukan unsur agama Islam dan budaya lokal. Unsur agama Islam ditandai dengan adanya tahlilan dan doa bersama di masjid dan unsur budayanya yaitu ritual perang ketupat.
Perang Ketupat merupakan kegiatan budaya tahunan yang waktu pelaksanaannya didasarkan pada penanggalan Islam, yaitu pada saat Nishfu Sya ban, hari tanggal 15 bulan Syaban. Hari ini dipilih karena saat itulah terjadi malam bulan purnama sehingga menjadi sempurna untuk melaksanakan ritual.
Beberapa hari sebelum acara puncak perang ketupat, masyarakat di Desa Tempilang sudah mulai menyiapkan apa saja yang dibutuhkan dalam ritual. Tidak hanya itu, dua hari sebelum diadakan ritual, ada doa bersama di masjid disertai dengan acara Nganggung (acara membawa makanan menggunakan nampan khas Bangka dan makan bersama).
Nilai-nilai yang ada dalam tradisi perang ketupat adalah nilai agama yang mencakup nilai akidah, nilai syariah dan nilai akhlak. Nilai budaya yang tercermin dalam beberapa hal yakni pantangan tiga hari, menghanyutkan perahu, dukun tidak boleh mempublikasikan nama-nama mahkluk halus. Nilai sosial yang mencakup gotong-royong dan kebersamaan. Sedangkan, fungsi dari tradisi perang ketupat secara garis besar adalah sebagai kebersamaan sosial. (dari berbagai sumber).