Penanganan cagar budaya merupakan amanat Undang-undang No. 11 Tahun 2010. Dan dalam pelaksanaannya tidak dapat dilakukan satu-dua pihak saja, tapi membutuhkan kolaborasi dari berbagai pihak, baik pemerintah (daerah-pusat), komunitas, dan budayawan atau pelaku budaya. Melalui kolaborasi tersebut dapat terlaksana secara lebih terencana, matang, dan berkelanjutan, sehingga tidak sporadis.
Topik penanganan cagar budaya di Kepulauan Riau menjadi topik sembang antara Jumhari (BPK Wilayah IV), Hendrija (Kabid Cipta Karya, Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, dan Pertanahan (PUPP) Provinsi Kepulauan Riau), dan Anastasia Wiwik Swastiwi (Tim Ahli Cagar Budaya Provinsi Kepulauan Riau). Pertemuan berlangsung di Kantor Dinas PUPP, kompleks perkantoran Gubernur Provinsi Kepulauan Riau, Dompak, Selasa (7/2).
Hendrija mengaku selama ini terdapat cara pandang yang berbeda antara Dinas PUPP dengan kebudayaan, di mana dalam kacamata PUPR jika ada bangunan yang rusak segera diperbaiki. Namun, dalam kacamata kebudayaan, justru dibiarkan terlebih dahulu, karena di sana dianggap terdapat nilai historis atau nilai budayanya.
“Untuk menangani cagar budaya pak gubernur menginginkan supaya ada kolaborasi semua pihak, baik kabupaten/kota, provinsi, dan kementerian. Sehingga kegiatan penanganan tersebut dapat berjalan optimal dan terbaik”, Hendrija menyampaikan keinginan gubernur Kepulauan Riau, Anshar Ahmad.
Jumhari menyambut baik kemitraan tersebut. BPK Wilayah IV sebagai kepanjangan tangan Direktorat Jenderal Kebudayaan mempunyai tugas satu satunya adalah menangani cagar budaya, terlebih di Kepulauan Riau terdapat Pulau Penyengat yang telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya Nasional. Melalui kolaborasi antar berbagai pihak akan lebih memudahkan dalam menangani cagar budaya tersebut.
Jumhari berharap ke depan di kompleks cagar budaya tersebut diisi dengan berbagai kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan Objek Pemajuan Kebudayaan (OPK). Keberadaan kegiatan OPK tersebut dapat menjadi ruh yang menghidupkan dari cagar budaya tersebut. Mantan Kepala BPNB Provinsi Jawa Barat tersebut mencontohkan keberadaan Kota Tua di Bogor dan Semarang yang sekarang lebih tertata dan hidup.
“Untuk menghidupkan hal tersebut dibutuhkan peran-peran aktif dari komunitas setempat untuk menggiatkan dan menghidupkan kawasan-kawasan tersebut. Tanpa peran aktif komunitas cukup sulit mewujudkannya”, ujar Jumhari.
Lebih lanjut, Jumhari menyebutkan sudah dari beberapa tahun yang lalu pemerintah pusat telah menyediakan berbagai bantuan untuk kegiatan-kegiatan kebudayaan. Di antaranya adalah Fasilitasi Bidang Kebudayaan (FBK) dan Dana Indonesiana. Komunitas budaya perlu menjoloknya melalui proposal kegiatan kebudayaan.
“Di BPK Wilayah IV sendiri juga ada program kemitraan dan fasilitasi yang diarahkan untuk komunitas budaya di Provinsi Kepulauan Riau dan Riau. Ke depannya kegiatan-kegiatan yang kita fasilitasi bukan hanya pertunjukan-pertunjukan, melainkan dapat berupa lokakarya, penulisan, sosialisasi, dan sebagainya. Sehingga kegiatannya lebih beragam dan dapat diakses oleh berbagai komunitas”, jelas Jumhari. ***
(Jauhar Mubarok)