Tersebutlah pada waktu Kerajaan Malaka diserang oleh bangsa Portugis, maka keluarga Raja Sultan Mahmud terpaksa berpindah ke Bintan.
Di Bintan baginda membuat pertahanan-pertahanan yang lengkap di Kopak dan Kota Kara untuk melawan serangan serangan Portugis.
Semasa pemerintahan Sultan Mahmud, baginda mempunyai seorang panglima yang terkemuka dan masih muda belia berumur kira kira dua puluh enam tahun bernama Panglima Undan. Panglima Undan ialah seorang panglima yang sangat besar pengabdiannya terhadap raja dan pemerintahan. Sifatnya yang sabar, tabah, taat dan patuh menimbulkan suatu tekat yang bulat untuk membela Sultan dan tanah air.
Tekat bulat panglima itu dikokohkan pula oleh suatu kekecewaan yang dialami panglima di dalam percintaannya. Konon ceritanya, Panglima Undan bersahabat kental dengan Tun Busu panglima kanan baginda Sultan.
Panglima Undan telah jatuh hati dengan seorang gadis jelita yang bernama Tun Mande, anak Sri Nare Diraje. Rupanya Panglima Undan tidak bertepuk sebelah tangan Tun Mande membalas cintanya. Demikianlah cinta kasih mereka bersemi dengan suburnya. Terjalinlah ikatan janji untuk hidup bersama.
Dikira panas sampai petang, kiranya hujan di tengah hari. Demikianlah Panglima Undan dan Tun Mande tidak sampai untuk mencapai idamannya. Putus di tengah jalan oleh sahabatnya sendiri. Kiranya dengan diam-diam Tun Busu juga menginginkan Tun Mande untuk menjadi suntingan mahligainya. Harapan yang sama terhadap Tun Mande dari kedua panglima itu diketahui oleh orang tua Tun Mande Sri Nare Diraje.
Maka tak ayal lagilah, pilihan kedua orang tua Tun Mande jatuh kepada Tun Busu. Maklumlah Tun Busu ialah anak Bendahara raja.
Peristiwa yang sangat mengecewakan Panglima Undan ini, membuatnya berhati baja dalam pengabdian, kebaktian dan kesetiaannya terhadap tanah air. Baginya tidak berputus asa. Kegagalannya dalam memadu kasih karena kedudukan merupakan dorongan yang kuat untuk mempersembahkan dirinya bagi kejayaan tanah air dan bangsa. Baginya cinta terhadap seorang perempuan tidak ada artinya dibandingkan dengan cinta kepada tanah air. Mencintai seorang perempuan, mengorbankan perasaan, mengorbankan harta benda; tetapi cinta terhadap tanah-air ikhlas dan jujur. Begitulah kisah percintaan Panglima Undan, panglima yang handal, yang terkenal dalam serangan-serangan dan pertempuran-pertempuran di darat.
Demikianlah ceritanya, tak lama setelah Sultan Mahmud berkedudukan di Bintan datanglah serangan Portugis yang bertubi tubi. Pada suatu masa tidak kurang dari empat puluh angkatan perahu-perahu Portugis beriabuh di Laut Bintan dan telah siap sedia untuk menyerang kedudukan Sultan Mahmud di Kopak dan Kota Kara.
Ketika berita itu terdengar oleh seluruh rakyat dan pahlawan-pahlawannya, maka terkejut dan gelisahlah, mereka.
Tak tentu apa yang akan mereka lakukan. Pertahanan Kota Kara yang sudah siap siaga diperkirakan belum tentu mampu mempertahankan serangan-serangan yang datang dari angkatan Portugis.
Berita ini sampai pula ke telinga Panglima Undan. Inilah suatu saat yang baik baginya untuk mempersembahkan baktinya ke hadapan Sultan Mahmud sebagai bukti bahwa dirinya adalah untuk tanah air dan bangsanya. Ia pun pergi menghadap Sultan memohon keizinan dari Sultan, agar dapat ia memimpin angkatan yang akan berperang di laut. Panglima-panglima lainnya terutama Tun Busu, meragukan permintaan Panglima Undan itu. Mereka memohon ke hadapan sultan agar permintaan Panglima Undan itu diurungkan saja dengan alasan bahwa Panglima Undan adalah panglima yang handal dalam pertempuran di darat. Sedangkan pertempuran dengan angkatan Portugis itu adalah pertempuran di laut.
Mendengar itu Sultan Mahmud berat juga untuk mengizinkan, hanya setelah mendengar alasan-alasan yang begitu kuat yang disampaikan oleh Panglima Undan, serta dia terus-menerus memohon ke hadapan baginda agar dia diizinkan memimpin pasukan perang itu, akhirnya diizinkan juga. Lagi pula dilihatnya kesungguhan dan keikhlasan Panglima Undan bukanlah hanya kata kata saja, tapi keluar dari hati yang suci.
Setelah memperoleh keizinan dari Sultan, Panglima Undan-pun menyiapkan tujuh buah bahtera perang dengan segala anak buahnya untuk keluar dari Kuala Bintan. Setelah siap segala sesuatu, maka angkatan pun berangkatlah menuju perahu-perahu Portugis yang puluhan jumlahnya itu.
Tetapi angkatan perang Portugis melihat suatu keanehan pada angkatan perang Panglima Undan, karena semua bahtera angkatan Panglima Undan mengibarkan bendera putih. Pengibaran bendera putih memberikan suatu petanda kepada perahu-perahu Portugis bahwa karena itulah angkatan Portugis pun tiada ragu-ragu memberikan jalan kedatangan angkatan mereka bertujuan untuk suatu perundingan. Oleh karena itulah angkatan Portugis pun tiada ragu-ragu memberikan jalan serta membiarkan perahu-perahu Panglima Undan untuk berlayar di antara bahtera-bahtera angkatan mereka.
Suatu hal yang tidak disangka-sangka segera terjadi. Perahu-perahu angkatan perang Panglima Undan yang dibiarkan oleh perahu-perahu angkatan perang Portugis terus berlayar hingga sampai di tengah-tengah perahu-perahu Portugis. Begitu mereka berada di tengah-tengah, Panglima Undan mengerahkan semua anak buahnya untuk menembak perahu-perahu Portugis sejadi-jadinya. Oleh karena serangan yang tiba-tiba ini banyaklah anak buah angkatan perang perahu-perahu Portugis yang menjadi korban. Walaupun demikian, pahlawan-pahlawan Portugis yang sempat memberikan perlawanan berusaha terus untuk melawan, sehingga perahu-perahu angkatan perang Panglima Undan binasa. Demikian pula dengan perahu kenaikan Panglima Undan bertubi-tubi diserang oleh perahu-perahu Portugis.
Panglima Undan berusaha, terus berjuang dan bertahan dengan anak buah yang tinggal. Akan tetapi karena kekuatan angkatan Portugis memang jumlahnya lebih besar dari angkatan perang Panglima Undan, maka Panglima Undan tidak dapat mempertahankan kekuatannya.
Anak buahnya makin berkurang, sebagian yang masih hidup dapat melarikan diri. Perahu-perahunya sudah banyak yang terbakar, tenggelam dan binasa. Kuala Bintan sudah penuh diselubungi dengan asap-asap meriam, Perahu kenaikan Panglima Undan masih gigih bertahan, terus-menerus diserang perahu-perahu angkatan Portugis. Akhirnya makin lama makin lemah dan tenggelam. Seluruh anak buahnya serta perahu habis terbakar.
Dengan peristiwa itu sadarlah pahlawan-pahlawan Melayu yang tinggal, Tun Busu, Tun Lenggang serta yang lainnya, bahwa untuk menyerang angkatan perang Portugis yang cukup lengkap itu, memerlukan pengorbanan jiwa dan raga dengan harapan dapat menyelamatkan tanah air dan bangsa, semoga aman sentosa selamanya.
Setelah usailah peperangan, perahu-perahu yang tingal beberapa buah itu segera meninggalkan Kuala Bintan. Diceritakan pula bahwa rencana Sultan Mahmud untuk turun dari negeri Perak dan pindah ke Kampar Dapat Lanca pun dapatlah dilaksanakan karena tiada lagi halangannya di Kuala Bintan.
Konon menurut ceritanya, perahu kenaikan Panglima Undan dan anak buahnya yang terbakar itu hanyut ke suatu pantai yang bernama Sangka Ayam. Daerah ini terletak di sebelah Barat Pulau Pengujan dalam Kecamatan Bintan Selatan.
Di sini pulalah terdapat sebuah kuburan yang ajaib karena batu nisannya berjarak lebih kurang 7 depa. Timbullah bermacam macam cerita mengenai kuburan tersebut. Ada yang mengatakan bahwa kuburan tersebut adalah kuburan jin, kuburan raksasa atau kuburan orang yang besar badannya.
Di antara cerita-cerita yang banyak tentang kuburan yang panjang itu termashurlah bahwa kuburan itu adalah kuburan pahlawan-pahlawan yang gugur bersama-sama pemimpinnya yang bernama Panglima Undan. Mereka dikuburkan dalam satu kuburan.
Itulah yang terkenal dengan kuburan panjang. ***
*Cerita rakyat ini berasal dari Pulau Penyengat, Kabupaten Kepulauan Riau
Sumber: Cerita Rakyat Daerah Riau. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah 1980/1981.
(Jauhar Mubarok)