Pengalaman tinggal di Batam, lima tahun menetap di Lingga dan terakhir berdomisili di Tanjungpinang, ada fenomena menarik yang penulis amati dalam hal gaya hidupnya masyarakatnya menggunakan transportasi. Hal ini bisa dilihat dalam gaya hidup menggunakan kendaraan pribadi, transportasi umum dan juga gaya hidup membeli sepeda motor pada momen tertentu.
Batam sebagai kota industri dengan jumlah penduduknya yang sudah menembus angka 1,1 juta jiwa menjadikan jumlah kendaraan semakin lama semakin membludak. Macet disejumlah persimpangan utama di Batam sudah menjadi pemandangan biasa. Waktu tempuh menuju ke lokasi kerja menjadi lebih lama. Transportasi umum yang awal tahun 2000-an jadi primadona, secara perlahan mulai tergeser. Warga Batam yang lebih separuhnyan berpenghasilan rendah, lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi jenis sepeda motor.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Batam terbaru, lebih dari separuh warga Batam masih berpenghasilan rendah. Sepanjang Janruari-Maret 2016 ini tercatat ada 49.237 warga miskin baru dan hampir miskin di kota industri ini. Ironis, kota yang dibanggakan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi utama di kawasan Sumatra ini, kini ada kecendrungan penurunan kondisi ekonomi masyarakatnya, yakni rendahnya pendapatan penduduk.
Berdasarkan survei sosial ekonomi nasional 2015, distribusi persentase pendapatan per kapita penduduk Kota Batam sejauh ini didominasi oleh kalangan pekerja dengan pendapatan antara Rp 1-3 juta per bulan sebanyak 56,09 persen. Bahkan, penduduk yang berpenghasilan kurang dari Rp 1 juta per bulan bercokol di posisi kedua, dengan persentase 36,42 persen. Sedangkan posisi ketiga dihuni oleh kalangan yang berpenghasilan antara Rp 3-5 juta dengan 5,70 persen, disusul penduduk berpendapatan Rp 5-7 juta sebanyak 1,25 persen. Sedangkan penduduk yang penghasilannya di atas Rp 7 juta, hanya tercatat sebanyak 0,53 persen.
Pekerja yang berpenghasilan rendah lebih memilih membeli sepeda motor dengan harapan menjadikan biaya hidup lebih rendah, ketimbang menggunakan transportasi umum. Apalagi kondisi sekarang membeli sepeda motor lebih mudah dengan fasilitas kredit. Mengantungkan pada transportasi umum juga belum memungkinkan. Transportasi umum di Batam belum menjangkau semua wilayah. Belum lagi kondisi armadanya yang belum semuanya layak. Pilihan menggunakan ojek juga memberatkan karena biayanya lebih mahal.
Jadinya jalanan Batam dipadati sepeda motor. Sementara, golongan menengah ke atas, menggunakan mobil pribadi. Hal ini juga masuk akal karena jarak tempuh dari rumah ke lokasi bekerja di Batam ada yang jaraknya jauh. Misalnya pegawai Pemko Batam yang bertugas di Kantor Walikota Batam yang berada di Batam Centre, para pegawainya banyak yang tinggal di kawasan Batuaji atau Sekupang yang dalam kondisi normal saja ke kantor bisa memakan waktu antara 40 menit sampai satu jam. Belum lagi kalau macet. Langit udara Batam yang sarat polusi udara menjadikan golongan menengah ini enggan menggunakan sepeda motor. Selain menggunakan mobil pribadi sudah menjadi gaya hidup.
Orang Tanjungpinang karakternya beda dengan masyarakat Batam. Golongan menengahnya terbiasa menggunakan sepeda motor. Para pegawai, termasuk pegawai kantoran terbiasa ke kantor menggunakan sepeda motor. Alasannya macam-macam, diantaranya lebih hemat, jarak ke kantor juga dekat dan kondisi cuaca Tanjungpinang belum banyak polusi. Pemandangan biasa pada pagi dan siang hari, jalanan Tanjungpinang ramai dengan pegawai atau kantoran naik sepeda motor. Termasuk mengantar anak ke sekolah. Sementara golongan menangah bawahnya terbiasa menggunakan sepeda motor.
Hal yang unik terjadi saat kondisi cuaca musim hujan. Golongan menengah atau warga yang memiliki mobil, baru menggunakan mobilnya untuk ke tempat kerja. Jadi pada saat musim hujan, jumlah mobil yang lalu lalang lebih ramai ketimbang cuaca musim panas. Pada kondisi cuaca bagus, mobil disimpan di rumahnya. Mobil dipakai untuk keperluan jalan-jalan sore atau malam hari.
Orang Lingga beda lagi. Pemandangan biasa pejabat Lingga yang tak punya fasilitas mobil dinas ke kantor naik sepeda motor. Meski memiliki mobil pribadi, sepeda motor jadi transportasi utama. Tak hanya para pegawai, karyawan swasta termasuk aparat TNI/Polri juga terbiasa menggunakan sepeda motor. Mobil pribadi biasanya digunakan untuk jalan-jalan sore atau malam hari. Para pengusaha di sana terbiasa saja kemana-mana naik sepeda motor meski dirumahnya memiliki banyak mobil mewah. Pejabat selevel Wakil Bupati M Nizar kemana-mana biasa saja menggunakan sepeda motor. Pergi ke kantor, ke pasar atau pagi hari ke masjid untuk Salat Subuh. Hal lain yang menyebabkan orang malas naik mobil adalah harga BBM di Lingga mahal. Tak hanya mahal, sering terjadi kelangkaan. Pilihan menggunakan sepeda motor lebih realistis.
Tak ada transportasi umum selain yang malayani rute pelabuhan menuju ke pusat perkotaan. Sepeda motor jadi alat transportasi utama di darat. Ojek juga lumayan banyak. Tingkat konsumtif masyarakat Lingga untuk membeli sepeda motor cukup tinggi. Apalagi pada musim tertentu, seperti saat pertambangan bauksit, biji besi atau investasi baru dibuka. Masyarakat banyak mendapatkan dana. Daya beli masyarakat untuk sepeda motor naik drastis. Menjelang musim lebaran, tingkat pembelian sepeda motor di dealer yang ada baik di Dabo Singkep atau pun di Daik Lingga juga meningkat tajam.
Begitu lebaran usai, banyak cicilan motor yang menunggak. Motor pun banyak ditarik. Saat pertambangan mineral mentah dilarang pemerintah dan berhenti beroperasi, berdampak besar pada masyarakat. Kredit motor menunggak dan pihak dealer terpaksa menarik kendaraan. Kondisi yang sama terjadi saat penambangan timah ilegal dilarang, warga yang mengantungkan hidupnya dari usaha ini juga harus meratap nasibnya. Kehilangan pekerjaan, sepeda motor pun terpaksa melayang.
Membaiknya perekonomian masyarakat, berdampak langsung pada tingkat konsumsi, khususnya daya beli sarana transportasi ini. Tak hanya masalah perekonomian, pilihan menggunakan sarana transportasi juga ditentukan gaya hidup atau kebiasaan.**