M. Ali Surakhman*
Minggu, 24 Juli 2022, Gedung Teater Arena Taman Budaya Jambi dipadati penonton untuk menyaksikan penutupan Festival Tari Lah Puar Jelipung Tumbuh yang kesepuluh. Festival tari yang berakar dari tradisi ini diselenggarakan oleh sebuah sanggar, yang bernama Sekintang Dayo, penyelenggaraan festival swadaya ini. Awalnya hanya diselengarakan secara sederhana di pelataran Taman Budaya Jambi, namun saat ini pesertanya datang dari kabupaten/kota se- provinsi Jambi, festival ini tetap berkomitmen mengangkat karya-karya yang mesti berakar dari tradisi di tengah masyarakat lokal, yang secara tak langsung memperkuat proses-proses pelestarian, pewarisan dan penanaman nilai nilai tradisi pada anak-anak dan generasi muda.
Eri Argawan, penggagas festival Lah Puar Jelipng Tumbuh yang kalau kita artikan yaitu mengangkat barang lama kembali, “mengangkat Adat Lamo Pusako Usang”, dari kecil adalah seorang penari, yang berkomitmen melestarikan akar tradisi sampai saat ini, dan terus melatih dan memberi ruang pada anak-anak serta generasi muda untuk berekspresi tanpa meninggalkan akar tradisinya. Walau ia bukan dari background pendidikan tari dan seni, namun mesti kita apresiasi kerja-kerjanya untuk kebudayaan, dalam pembangunan laju kebudayaan yang dibutuhkan adalah mereka yang totalitas dan tampak hasil kerja, output-nya dalam menggerakkan kebudayaan di daerah, kalau hanya sekedar konsep, wacana, tanpa eksekusi, kebudayaan hanya sebatas imajinasi saja.
Di puncak festival ini ditampilkan karya eksperimental tari Naek Bubung, karya tari yang diangkat dari ritual upacara adat masyarakat Jambi ketika membangun rumah, dan akan memasuki tahap pembangunan kerangka atap yang disebut Bubung. Ritual ini masih terus dilakukan hingga saat ini terutama di daerah pedesaan, dalam upacara adat ini, juga terdapat beberapa persyaratan dan bahan yang di dalamnya juga mengandung arti filosofis luhur yang sarat dengan petuah dan tuntunan.
Garapan eksperimen ini adalah gambaran proses atau penyampaian pesan ritual yang digarap melalui bahasa gerak, di mana gerak yang digunakan adalah gerak tradisi yang diangkat dari tari Kain Kromong yang berasal dari Kabupaten Sarolangun.
Cerita diawali dari kesibukan para tukang yang membangun rumah hingga akan dilakukannya pemasangan kerangka atap, maka sebelumnya dilakukanlah pembacaan doa sebagai ungkapan rasa syukur terhadap Allah Swt. Proses lalu berlanjut kepada memenuhi bahan persyaratan seperti :
Tebu yang dicabut dari pangkal bermakna sebagai istiqamah dalam melakukan kebaikan layaknya pangkal tebu yang tegak menopang batang tebu.
Seikat padi kuning bermakna sebagai pencapaian kemakmuran yang harus diiringi dengan sikap padi yang semakin menguning dan berisi semakin menunduk dan tidak sombong.
Bendera yang bermakna sebagai semangat dan kemerdekaan dalam mencapai cita-cita dan keinginan hingga berada dalam kenyamanan dan ketenangan.
Kelapa yang bertunas memberikan makna pemanfaatan, agar dalam hidup kita dapat bermanfaat bagi orang banyak layaknya kelapa yang hampir seluruh bagiannya bermanfaat, mulai dari batang, buah, hingga daunnya.
Bubung yang diartikan sebagai ketinggian atau di atas, untuk sampai pada puncak ketinggian di sana ada perjuangan, ada kesenangan, kesombongan, mawas diri sebagai perlindungan dalam menjalani hidup dan penghidupan.
Karya tari ini melibatkan banyak stakeholder kebudayaan, sampai kepada pemain, penarinya, dari anak-anak setingkat PAUD yang berumur 5 tahun, sampai para penari dan pemain yang telah menyelesaikan pascasarjananya, dan konseptor ide materi dari para seniman dan penggiat penggiat budaya, di sini proses sinergi, transfer, pewarisan itu bekerja hingga ia berwujud pada “Pewarisan”. Kerja pembangunan kebudayaan itu adalah kerja tim, kerja dengan melibatkan semua stakeholder dalam membangun sebuah proses berkelanjutan, bukan kerja satu dua orang saja, karena kebudayaan adalah sebuah ekosistem yang di dalamnya banyak ragam jenis objek yang mesti dirajut, sehingga bisa menjadi ekosistem yang kuat.
*Penggiat Budaya Kota Jambi.