Menolak Amnesia Sejarah, Pelaku Seni Lingga Rayakan 21 Tahun, “Daik Bunda Tanah Melayu”. Lewat pertunjukan seni rakyat, sejumlah anak-anak muda dari berbagai komunitas budaya dan alam mengajak orang Daik kembali meresapi ingatan akan peristiwa besar dan bersejarah tersebut. Kegiatan diberi judul, Merawat Adab dan Akal Budi.
Bagaimana tidak, peristiwa yang berlangsung pada 4-8 Juli 1999 di Daik inilah yang menjadi pijakan dan dasar penabalan Daik oleh para budayawan dan sejarawan Semenanjung sebagai “Bunda Tanah Melayu.” Rangkaian kegiatan budaya dengan tema, Perkampungan Penulis Melayu Serumpun (PPMS) diikuti oleh 127 orang penulis yang berasal dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei dan Thailand.
“Kerja keras para budayawan dan sejarwan 21 Tahun lalu untuk mengangkat kembali Daik bukan pekerjaan mudah. Hari ini, kami yang muda-muda terpanggil untuk mewujudkan cita-cita Tanah Melayu, yang maju dengan ilmu dan pengetahuannya serta dibentengi akal budi. Daik, adalah kampung dan rumah tempat kembali bagi seluruh orang dan bangsa melayu,” ungkap Hasbi Muhammad, panitia kegiatan tersebut, Sabtu (11/7) malam.
“Kalau kita membaca lagi Antologi Kembara Budaya Gapena, buku yang diberi jud Daik Bunda Tanah Melayu itu berisi essay dan puisi, jelas menggambarkan bagaimana cerita perjalanan dan keinginan serta kesadaran agar generasi melayu hari ini tidak amnesia sejarah,” papar Hasbi.
Kemashuran Daik sebagaj pusat Kesultanan terakhir Johor -Pahang-Riau-Lingga dalam sejumlah literatur dan manuskrip tak dapat dibantah. Ia telah bertahan sebagai pusat Ibukota Kesultanan selama 114 Tahun yang kini wilayah taklukannya terbagi dalam tiga buah negara, yaitu Indonesia, Malaysia dan Singapura. Tepat 98 Tahun kurang 2 Tahun seabad, setelah Lingga ditinggalkan karena kondisi politik ketika itu, para penulis seperti terpanggil seruan tanah bunda. Hampir seabad lamanya, Daik bak hilang ditelan rimba.
“Tahun 1999 itu, Daik masih lagi sebuah kecamatan. Kapal laut tidak seperti sekarang. Perhelatan waktu itu benar-benar membuat kami kagum dengan para orang-orang tua kami dulu disini. Menyambut tamu dari berbagai negara dengan segala keterbatasannya. Tak ada hotel waktu itu. Tamu menginap dirumah-rumah warga. Bahasa yang sama, ramah tamah itu juga yang membuat kesan Daik dimata para tamu begitu istimewa. Segala pertunjukan seni disuguhkan. Permainan rakyat yang sudah lama hilang di kota-kota sana dapat lagi dilihat dan dimainkan para tamu seperti yang dicatat dalam buku. Untuk menghargai semua itu, malu rasanya kalau hari ini kamipun diam saja tak merayakan dan berbuat apa-apa,” tambahnya.
Perayaan 21 Tahun kali ini berlangsung cukup sederhana. Kegiatan diisi doa selamat serta ungkapan syukur dengan menabur beras kunyit. Ada juga talkshow dengan sejumlah pelaku budaya yang saat peristiwa tersebut terlibat secar langsung. Sementara pelaku seni seperti Kelompok Dendam Tak Sudah membuka kegiatan tersebut dengan Silat dan Tari Inai.
“Ada yang istimewa. Lagu Pulau Lingga yang menjadi ikon kegiatan 21 tahun lalu itu, kami minta dinyanyikan kembali oleh penyanyi aslinya. Bunda kami, Syarifah Faridah. Lagu itu, benar-benar membangkitkan semangat dan ingatan kami. Talkshow sengaja kami konsep, agar adik-adik kami mendengar langsung cerita dari pelaku yang terlibat,” jelasnya.
Dalam kegiatan tersebut, Syarifah Faridah memberi apresiasi kepada anak-anak muda penggagas kegiatan ini.
“Mereka anak-anak muda ini, tak ingin membuang begitu saja seni dan budaya. Kegiatan ini mengembalikan lagi ingatan kami akan peristiwa itu. Anak-anak muda teruslah berbuat untuk Daik Bunda Tanah Melayu untuk seni dan budaya. Semoga generasi muda terus mencintai seni melayu,” kata Bunda Syarifah Faridah.
Selain itu ada juga pertunjukan Musim Zapin yang dibawakan oleh Sanggar Seni Megad Syah Alam, Eksplorasi Seni dari gabungan komunitas, puisi dan musik Joget memeriahkan kegiatan tersebut.
“Saya merasa haru dan bangga. Swadaya seperti yang dilakukan anak-anak muda ini, gotong royong yang dilakukan persis dengan apa yang kami lakukan dulu. Teruslah berbuat, tak perlu tergantung dengan pihak lain. Kita same-sama pasti bisa,” kenang Tengku Candra yang waktu peristiwa itu bertugas sebagai pengumpul dana dari sumbangan masyarakat sekaligus menjadi ketua Sanggar Tun Bilik, salah satu kelompok pengisi acara 21 Tahun lalu.
Selain merayakan 21 Tahun peringatan Daik Bunda Tanah Melayu, anak-anak muda di Lingga ini juga mencurahkan kegelisahannya dalam karya seni dan puisi. Kerusakan alam menjadi salah satu perhatian serius.
“Banyak hal yang sudah berubah. Pelaku seni sudah banyak yang meninggal. Warisan tradisi seni beberapa sudah tak pernah dijumpai lagi. Sementara keasrian alam, air yang jernih di hulu Tanda seperti lirik lagu Pulau Lingga itu sudah berubah warna. Pengrusakan alam makin menjadi-jadi. Walau semua orang sekarang fasih menyebut Bunda Tanah Melayu, sayang pesan-pesan nya tidak muncul sebagai jati diri. Daik dalam konteks ini adalah sebuah kesadaran akan sejarah masa lalu, kesalahan masa lalu yang menjadi titik balik agar tidak lagi teruang dimasa depan. Zaman boleh terus berubah dengan segala penemuan dan modrenisme nya, tapi seperti yang dikatakan Budayawan Yusmar Yusuf, penggagas PPMS, musuh kita tetap sama, Kebodohan,” jelas Riyan, salah seorang pengisi acara 21 Tahun Daik Bunda Tanah Melayu.
Kedepan sambungnya, kegiatan ini jadi agenda rutin gabungan komunitas yang membuka diri kepada siapa saja untuk ikut terlibat. Kami sangat berterima kasih kepada seluruh komunitas yang mendukung dan ambil bagian seperti, HPI Lingga, GenPi Lingga, Lingga Geografia, Perpetual, Yayasan Kajang, Balai Seni Pusaka Lingga, Nelsya Group, Kebun Soultone, Friska, Sanggar Seni Megad Syah Alam, Kelompok Seni Dendam Tak Sudah, LCC, Kopi Balang, VapeWay, Malagenta dan Komunitas Perpustakaan Jalanan.**