Natuna: Mutiara Kita

0
1436


Oleh :
Anastasia Wiwik Swastiwi
Peneliti Madya di Balai Pelestarian Nilai Budaya Kepulauan Riau

Pendahuluan

Kabupaten Natuna berbatasan dengan wilayah Malaysia di sebelah barat dan timur, serta dengan Vietnam dan Laut China Selatan di sebelah utara. Luas wilayah daratannya hanya 2.000,85 km2, sementara luas wilayah lautannya mencapai 222.683,74 km2 (BPS Kabupaten Natuna, 2018: 1). Dengan kata lain, 99,11% wilayah Natuna berupa lautan. Hal ini mengindikasikan strategisnya dimensi laut bagi eksistensi Kabupaten Natuna. Menyadari strategisnya Natuna bagi eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia, pemerintah Indonesia sejak awal tahun 1950-an hingga sekarang telah memberikan perhatian yang lebih kepada kawasan ini. Strategisnya Natuna sebagai kawasan perbatasan yang kaya sumber daya alam ternyata diiringi dengan potensi gangguan yang besar terhadap kedaulatan. Hal ini terjadi lantaran posisi Natuna sebagai salah satu wilayah perbatasan laut Indonesia.
Salah satu potensi gangguan terhadap kedaulatan terkait dengan sengketa yang terjadi di Laut China Selatan, yang berada tepat di utara Laut Natuna Utara. Sengketa ini dimulai pada tahun 1946 ketika Tiongkok mengklaim bahwa Kepulauan Spratly adalah bagian dari Provinsi Guangdong. Padahal, kepulauan-kepulauan di Wilayah Laut China Selatan pada waktu itu sudah diklaim dan dikuasai oleh Jepang saat Perang Dunia II. Pada tahun 1951, Perjanjian San Fransisco membatalkan semua klaim Jepang tersebut, tetapi belum dicapai resolusi mengenai status kepemilikannya. Pada tahun 1974, Tiongkok memperluas klaimnya dengan merebut Kepulauan Paracel dari pasukan Vietnam Selatan. Ketegangan antarnegara semakin memanas pada tahun 1988 dengan terjadinya pertempuran antara angkatan laut Tiongkok dengan Vietnam dalam memperebutkan karang Johnson yang menewaskan 70 tentara Vietnam. Pada tahun 1991, untuk memformalkan klaim terhadap Spratly dan Paracel, Tiongkok mengeluarkan Law on the Territorial Sea and the Contiguous Zone of the Republic of Tiongkok (raharjo, 2014: 55-70).
Sandi Nur Ikfal Raharjo (2019) menyebutkan bahwa Republik Rakyat Tiongkok merupakan salah satu aktor utama dalam sengketa Laut China Selatan yang mengklaim seluruh wilayah tersebut. Klaim Tiongkok ini didasarkan pada latar belakang sejarah Tiongkok kuno tentang wilayah kekuasaan kerajaannya. Menurut Tiongkok, Dinasti Han lah yang menemukan wilayah ini pada abad ke-2 masehi. Pada abad ke-12, Dinasti Yuan kemudian memasukkan Laut China Selatan ke dalam peta wilayahnya, yang kemudian kembali diperkuat oleh Dinasti Ming dan Dinasti Qing pada abad ke-13 (Suharna, 2012: 33-41). Pada tahun 1947, Tiongkok membuat peta wilayah yang memuat 9 garis putus-putus (nine-dashed lines) yang membentuk huruf U, yang melingkupi seluruh Laut China Selatan. Semua wilayah yang berada di dalam garis putus-putus tersebut diklaim Tiongkok sebagai wilayahnya.
Peta 9 (sembilan) garis putus-putus tersebut ternyata juga mengklaim sebagian wilayah ZEE Indonesia di Perairan Natuna. Walaupun secara resmi Indonesia tidak mengakui klaim Tiongkok tersebut, tetapi dengan kekuatan militer dan politik Tiongkok yang kuat dipadu dengan pendekatan agresif dan ekspansif di Laut China Selatan, bukan tidak mungkin tumpang tindih klaim wilayah tersebut dapat menimbulkan masalah yang besar bagi Indonesia. Misalnya pernah terjadi insiden penahanan delapan kapal dan 77 nelayan berkebangsaan Tiongkok oleh patroli Indonesia pada 20 Juni 2009, disusul dengan insiden serupa pada 22 Juni 2010 (Forbes, 2014: 11). Insiden terakhir yang sempat memicu ketegangan adalah penangkapan kapal nelayan China oleh kapal patroli KKP dan TNI AL yang sempat dihalang-halangi kapal coast guard Tiongkok pada Maret dan Juni 2016. Bahkan, dalam beberapa pekan terakhir (Desember 2019 dan awal Januari 2020), terjadi serangkaian aktivitas mencurigakan yang dilakukan oleh beberapa kapal penjaga pantai Tiongkok di perairaan Natuna.
Tindakan kapal-kapal penjaga pantai Tiongkok tersebut memang keterlaluan. Tak hanya memasuki Zona Ekonomi Eksklusif, kapal-kapal tersebut rupanya juga melakukan ‘pengawalan’ terhadap kapal nelayan Tiongkok agar dapat bebas mendekati perairan Natuna dan mencaplok sumber daya maritim di kawasan tersebut. Penyelesaian sengketa perairan tak semudah penyelesaian sengketa perbatasan darat yang mungkin dapat diselesaikan dalam dua-tiga kali negosiasi. Tulisan terkait memanasnya kasus Natuna ini sudah sangat banyak dikupas di media masa terutama dari perspektif politik. Demikian juga ulasannya baik media cetak maupun elektronik. Namun hampir nyaris belum disinggung bagaimana Sejarah Natuna berikut potensi sosial budayanya. Padahal, aspek kesejarahan berikut potensi sosial budaya menjadi nilai lebih untuk mempertahankan Natuna dan Kedaulatan Negara kita. Tulisan ini akan mengupas bagaimana Sejarah Natuna dan potensi sosial budayanya secara singkat.

Natuna Dalam Perjalanan Sejarah
Gugusan Pulau Natuna Besar, awalnya bernama Pulau Serindit dan kemudian berkembang penamaanya menjadi Pulau Bunguran. Pulau Bunguran inilah serta pulau-pulau lainnya seperti Pulau Siantan, Pulau Jemaja, Pulau Subi, Pulau Serasa, Pulau Laut dan Pulau Tambelan sekitar abad 16 sudah diperintah oleh seorang Datuk Kaya.
Berdasarkan cerita rakyat yang berkembang dalam masyarakat Natuna, peranan Datuk Kaya di Pulau Bunguran bahkan sudah ada sekitar tahun 1200 atau abad 13. Orang Kaya atau Datuk Kaya yang pertama di Pulau Bunguran diyakini bernama Orang Kaya Serindit Dana Mahkota. Yang asalnya diyakini berasal dari Siam. Orang Kaya Serindit Dana Mahkota tinggal di sekitar Sungai Segeram (Bunguran Barat kini)
Dalam istilah lokal, pemimpin wilayah tersebut disebut dengan “Tokong Pulau“. Julukan “Tokong Pulau” diberikan kepada Datuk Kaya di Pulau Tujuh mengibaratkan seorang pemimpin yang mengendalikan Pemerintah di wilayah terkecil. Sejak tahun 1857, kekuasaan seorang Datuk Kaya diberi hak oleh Sultan Riau sesuai dengan ketentuan “ Yayasan Adat “ yang sudah ada pada masa itu.
Wan Taruhsin (2000) menyebutkan bahwa ketika Raja Ali menjadi Yang Dipertuan Muda Lingga Riau ke-VIII tahun 1857, terdapat suatu perjanjian yang disebut “Tawarikh Al Watsu” yang berisikan sumpah setia Sultan Mahmud Al Muzafar Syah yang menyebutkan “Tokong Pulau” termasuk dalam kawasan Lingga Riau dengan masing-masing memiliki wilayah. Adapun nama-nama Datuk Kaya dalam wilayah Pulau Tujuh tersebut adalah sebagai berikut.
1. Wilayah Pulau Siantan : Pangeran Paku Negara dan Orang Kaya Dewa Perkasa
2. Wilayah Pulau Jemaja : Orang Kaya Maha Raja Desa dan Orang Kaya Lela Pahlawan.
3. Wilayah Pulau Bunguran : Orang Kaya Dana Mahkota, dua orang Penghulu dan satu orang Amar Diraja
4. Wilayah Pulau Subi : Orang Kaya Indra Pahlawan dan Orang Kaya Indra Mahkota
5. Wilayah Pulau Serasan : Orang Kaya Raja Setia dan Orang Setia Raja.
6. Wilayah Pulau Laut : Orang Kaya Tadbir Raja dan Penghulu Hamba Diraja.
7. Wilayah Pulau Tambelan : Petinggi dan Orang Kaya Maharaja Lela Setia.
Datuk Kaya itulah yang pada masa itu memerintah di wilayah Pulau Tujuh dengan masing-masing wilayah secara turun temurun dan sampai pada akhir kekuasaannya. Oleh karena pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu masih memegang peranan “Zich Bemoelen Met“, yang ikut mencampuri urusan pemerintahan terkait strateginya di Pulau Tujuh, maka penempatan kedudukan para Datuk Kaya diatur sedemikian rupa dengan mengemukakan kepentingan yang bertujuan memecah belah persatuan dan kesatuan di wilayah Pulau Tujuh dan berpegang kepada politik “ Devide et Impera “ yang menguntungkan pihak Belanda.
Djoko Marihandono (2019) menyebutkan bahwa setelah tahun 1864 Pulau Tujuh menjadi bagian dari Kesultanan Riau Lingga. Menurut daftar yang terlampir pada kontrak pelengkap tanggal 19 Agustus 1864, Pulau Tujuh terdiri atas hampir 300 pulau. Pulau-pulau tergabung dalam:
a. Kepulauan Anambas di bawah Jemaja;
b. Kepulauan Anambas di bawah Siantan;
c. Kepulauan Natuna Besar;
d. Kepulauan Natuna Utara;
e. Kepulauan Natuna Selatan;
f. Kepulauan Perompak;
g. Kepulauan Tambelan.
Masing-masing kepulauan ini terdiri atas antara 6 sampai dengan 76 buah pulau. Selanjutnya, ditetapkan seorang penguasa Belanda bernama “Van Kerkhorff“ pada tahun 1908 di Tanjung Belitung atau di Binjai di depan Pulau Sedanau. Pada masa itu hutan belukar di daerah Binjai dan sekitarnya sangat lebat dan penuh rawa-rawa yang merupakan tempat sarang nyamuk Malaria. Oleh karena itu, tidak lama kemudian Kerkhorff terkena Malaria lalu pindah ke Sedanau dan tak lama kemudian meninggal dunia.
Sementara itu, Sultan Abdul Rahman Al Muazam Syah beserta Tengku Besar Umar langsung dimakzulkan oleh Belanda pada tahun 1911 dan pada tahun 1913 dengan resmi Kesultanan Riau Lingga dibubarkan oleh Belanda. Pada masa itu, seluruh Datuk Kaya di Pulau Tujuh dan wilayah lainnya di wilayah Riau Lingga berkumpul di gedung tempat kediaman Residen untuk menerima penjelasan-penjelasan dari penguasa Belanda. Penjelasan diantaranya tentang wilayah Pulau Tujuh mengalami perubahan pembagian wilayah yaitu:
1. Wilayah Datuk Kaya Pulau Bunguran dibagi dua wilayah yaitu Bunguran Barat dan Bunguran Timur sedangkan Pulau Panjang tersendiri.
2. Wilayah Datuk Kaya Jemaja di bagi dua, yaitu wilayah Datuk Kaya Ulu Maras dan Kuala Maras. Hasil dari pemecahan wilayah menunjukkan adanya usaha untuk memecah masyarakat Melayu yang relative sudah harmonis dibawah kepemimpinan Datuk Kaya di Pulau Tujuh.
Dalam perkembangannya, adanya pengakuan kedaulatan pemerintah Belanda terhadap keberadaan Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) yang dilakukan oleh Ratu Juliana di hadapan Muhammad Hatta dan De Lowink dari Belanda membawa satu konsekuensi, yaitu daerah yang merupakan bagian dari RIS yang berstatus keresidenan dihapus, termasuk keresidenan Riau. Berhubung wilayah Sumatera Tengah sangat luas, maka Riau diberi status Keresidenan (setingkat Kabupaten) dengan Residen R.M. Oetoeyo yang berada di bawah koordinasi Gubernur Sumatera Tengah. Berdasarkan Undang-Undang No. 10 tahun 1948, keresidenan Riau merupakan bagian dari Provinsi Sumatera Tengah yang beribukota di Bukittinggi. Adapun Gubernur Sumatera Tengah pertamanya adalah Ruslan Mulyohardjo. Pemerintah daerah Provinsi Sumatera Tengah kemudian mengadakan konsolidasi untuk mengambil langkah-langkah terhadap penghapusan keresidenan tersebut. Setelah status keresidenan Riau dihapuskan, residen Riau R.M. Oetoeyo ditarik ke kantor Gubernur Sumatera Tengah di Bukittinggi. Adapun keputusan yang diambil yaitu keresidenan Riau dibagi dalam empat kabupaten (Sutjiatiningsih, 1999 :36), yaitu:
1. Kampar (sebagai ganti kabupaten Pekanbaru). Kabupaten yang wilayahnya meliputi Siak Hulu, Bangkinang, Rokan Kiri dan Kanan, Kampar Kiri, dan Langgam ini beribukota di Pekanbaru. Orang yang ditunjuk sebagai kepala daerah (bupati) adalah Dt. Wan Abdulrachman.
2. Bengkalis yang beribukota di Bengkalis. Kabupaten ini meliputi kewedanan : Bengkalis, Siak Pelalawan, Selat Panjang dan Bagan Siapi-api. Bupatinya adalah H. Muhammad.
3. Inderagiri yang beribukota di Rengat. Kabupaten ini wilayahnya meliputi : Sengingi, Kuantan Hulu dan Hilir, Pasirpenyu, Rengat, Siberida, Tembilahan, Enok, Reteh, Mandah, Kateman, dan Gaung Anak Serka. Bupatinya adalah Umar Usman.
4. Kepulauan Riau yang beribukota di Tanjungpinang. Kabupaten ini meliputi kewedanan Tanjungpinang, Karimun, Dabo Singkep dan Pulau Tujuh.
Selanjutnya, Berdasarkan Surat Keputusan Delegasi Republik Indonesia, Provinsi Sumatera Tengah tanggal 18 Mei 1956 menggabungkan diri ke dalam Wilayah Republik Indonesia, dan Kepulauan Riau diberi status Daerah Otonomi Tingkat II yang dikepalai Bupati sebagai kepala daerah yang membawahi 4 kewedanaan sebagai berikut:
1. Kewedanaan Tanjungpinang, meliputi Kec. Bintan Selatan (termasuk Bintan Timur, Galang, Tanjungpinang Barat dan Tanjungpinang Timur).
2. Kewedanaan Karimun, meliputi wilayah Kecamatan Karimun, Kundur dan Moro.
3. Kewedanaan Lingga, meliputi wilayah Kecamatan Lingga, Singkep dan Senayang.
4. Kewedanaan Pulau Tujuh, meliputi wilayah Kecamatan Jemaja, Siantan, Midai, Serasan, Tembelan, Bunguran Barat dan Bunguran Timur.
Dengan demikian, Berdasarkan Surat Keputusan Delegasi Republik Indonesia, Provinsi Sumatera Tengah tanggal 18 Mei 1956, Pulau Tujuh merujuk kepada sebuah kewedanan. Dari semula 7 (tujuh) pulau yaitu Pulau Bunguran, Pulau Siantan, Pulau Jemaja, Pulau Subi, Pulau Serasan, Pulau Laut dan Pulau Tambelan menjadi 7 (tujuh) kecamatan yaitu Kecamatan Jemaja, Siantan, Midai, Serasan, Tembelan, Bunguran Barat dan Bunguran Timur.
Kewedanaan Pulau Tujuh yang membawahi Kecamatan Jemaja, Siantan, Midai, Serasan, Tambelan, Bunguran Barat dan Bunguran Timur beserta kewedanaan lainnya dihapus berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Riau tanggal 9 Agustus 1964 No. UP/247/5/1965. Berdasarkan ketetapan tersebut, terhitung 1 Januari 1966 semua daerah administratif kewedanaan dalam Kabupaten Kepulauan Riau dihapus.
Seiring dengan semangat Otonomi Daerah maka terbentuklah Kabupaten Natuna berdasarkan UU No: 53 Th 1999, Tanggal 12 Oktober 1999 dari hasil pemekaran Kabupeten Kepulauan Riau yang terdiri dari Enam Kecamatan yaitu :
1. Kecamatan Bunguran Timur,
2. Bunguran Barat,
3. Midai,
4. Jemaja,
5. Siantan,
6. Serasan.
Sedangkan Tambelan yang dahulunya masih tergabung dalam wilayah Pulau Tujuh harus memisahkan diri karena pembagian wilayah termasuk ke dalam wilayah Tanjungpinang. Seiring dengan kewenangan Otonomi Daerah, Kabupaten Natuna kemudian melakukan pemekaran daerah Kecamatan, yang hingga tahun 2004 menjadi 10 kecamatan dengan penambahan, Kecamatan Palmatak, Subi, Bunguran Utara, dan Pulau Laut. Hingga tahun 2007 ini Kabupaten Natuna telah memiliki 16 Kecamatan. 6 Kecamatan pemekaran baru itu diantaranya adalah Kecamatan Pulau Tiga, Bunguran Timur Laut, Bunguran Tengah, Siantan Selatan, Siantan Timur dan Jemaja Timur dengan total jumlah kelurahan/desa sebanyak 75.
Dalam perkembangannya, Kabupaten Natuna dimekarkan menjadi satu Kabupaten lagi yaitu Kabupaten Anambas di bawah Propinsi Kepri pada tahun 2008. Kabupaten Natuna sendiri harus memekarkan lagi Kecamatan baru yang berada di bawah Kabupaten Natuna, yaitu Kecamatan Bunguran Selatan dan Kecamatan Serasan Timur. Dengan itu Kabupaten Natuna terdiri dari 12 Kecamatan. Selanjutnya, tahun 2015 dilakukan pemekaran desa dan kecamatan, sehingga saat ini Kabupaten Natuna terdiri dari 15 Kecamatan, 70 Desa, dan 6 Kelurahan. 15 kecamatan di Kabupaten Natuna tersebut yaitu Kecamatan Midai, Suak Midai, Pulau Tiga, Pulau Tiga Barat, Pulau Laut, Bunguran Batubi, Bunguran Barat, Bunguran Utara, Bunguran Timur, Bunguran Timur Laut, Bunguran Tengah, Bunguran Selatan, Serasan, Serasan Timur, dan Subi.
Dengan demikian, wilayah Kabupaten Natuna (kini) yang merupakan “sisa” Pulau Tujuh pada masa lalu hanyalah Pulau Bunguran, Pulau Subi, Pulau Serasan, dan Pulau Laut. Sisanya, Pulau Siantan dan Pulau Jemaja menjadi wilayah Kabupaten Anambas. Sedangkan Pulau Tambelan menjadi wilayah Kabupaten Bintan.
Berdasarkan Publikasi Natuna Dalam Angka tahun 2018, Kabupaten Natuna memiliki luas wilayah 224.684,59 Km2, dan dimana sebagian besar wilayahnya terdiri dari perairan seluas 222.683,74 Km2 dan sisanya daratan yang berbentuk kepulauan seluas 2.000,85 km2. Kabupaten ini memiliki 154 pulau, dengan 27 pulau (17,53%) yang berpenghuni dan sebagian besar pulau (127 pulau atau 82,47%) tidak berpenghuni. Pulau-pulau yang ada di Kabupaten Natuna menyebar dan terpisah-pisah satu sama lain dan tidak mudah mencapainya.
Terdapat 7 pulau terluar di Kabupaten Natuna yaitu Pulau Kepala, Pulau Subi Kecil, Pulau Senoa, Pulau Sekatung, Pulau Sebetul, Pulau Semiun dan Pulau Tokong Boro. Diantara ketujuh pulau tersebut, Pulau Subi Kecil merupakan satu-satunya Pulau yang berpenghuni. Sedangkan pulau lainnya tidak berpenghuni dan digunakan masyarakat sebagai lahan perkebunan tanaman kelapa, karet, cengkeh dan lainnya.

Pesona Natuna
Berdasarkan kondisi geografisnya, Kabupaten Natuna merupakan tanah berbukit dan bergunung batu. Hampir 10% dari wilayah Kecamatan Bunguran Timur dan Bunguran Barat merupakan daratan rendah dan landai terutama di pinggiran pantai, 65% berombak dan 25% berbukit sampai bergunung. Ketinggian wilayah antar kecamatan cukup beragam, yaitu berkisar antara 3 sampai dengan 959 meter dari permukaan laut dengan kemiringan antara 2 sampai dengan 5 meter. Sampai tahun 1990 an sebagian besar wilayah Pulau Natuna masih tertutup oleh hutan primer, penebangan hutan yang berlangsung masih menyisakan hutan di sekitar bukit Ranai dan bukit Bendung. Hutan Natuna menghasilkan kayu dan gaharu, yang sampai sekarang masih menjadi mata pencarian penduduk.
Hidrologi, air tawar merupakan sumber yang amat penting bagi kehidupan di kepulauan. Air permukaan berasal dari sumbernya dari Daerah Aliran Sungai yang cukup banyak sungai itu antara lain: Daerah Aliran Sungai Kelarik, Daerah Aliran Sungai Cinak, Daerah Aliran Sungai Cinak Besar, Daerah Aliran Sungai Segeram,Daerah Aliran Sungai Binjai, Daerah Aliran Sungai Kelarik Hulu, Daerah Aliran Sungai Bunguran Timur, Daerah Aliran Sungai Hulu, Daerah Aliran Sungai Pulau Tiga. Sementara itu sumber air tanah yang terdapat di Natuna berkisar 1-3 m wilayah dataran, sedangkan pada wilayah yang topografinya berbukit-bukit kedalaman muka air tanah berkisar 1-7 m. Potensi sumber air tawar yang relatif melimpah dan tersebar memungkinkan tumbuhnya permukiman di Pulau ini di pesisir dan pedalaman.
Natuna juga memiliki potensi dalam sektor perkebunan yaitu kelapa dan cengkeh. Kisah tentang masa keemasan cengkeh di Pulau Tujuh termasuk Natuna salah satunya dituangkan dalam cerpen BM. Syamsudin yang bertajuk Cengkeh Pun Berbunga Di Natuna. Dalam perkembangannya, berdasarkan Publikasi Natuna Dalam Angka Tahun 2018. Luas lahan tanaman perkebunan terbesar yaitu cengkeh (12.103 hektar) dan kelapa (11.644 hektar). Namun, tanaman perkebunan yang merupakan tanaman perdagangan yang potensial di Natuna yaitu kelapa yang memiliki angka produksi terbesar yaitu 7.154 ton jika dibandingkan komoditas lainnya. Hal ini disebabkan karena cengkeh merupakan tanaman musiman yang hanya panen sekali setahun, sedangkan tanaman kelapa jumlahnya banyak dan produksinya berkelanjutan/kontinu sepanjang tahun.
Berdasarkan naskah Pohon Perhimpunan Peri Perjalanan yang ditulis oleh Raja Ali Kelana dari tanggal 9 Februari 1896 hingga 6 Maret 1896 dan diperkuat oleh Vleer (1935), menyebutkan bahwa :
1. Tanah yang paling subur adalah tanah Pulau Bunguran dengan dibuktikan hasil kelapa kering (kopra) yang berlimpah ruah dan memiliki 1420 dusun kebun kelapa.
2. Kapal dagang dan perahu-perahu besar yang keluar masuk di Pelabuhan Sedanau 40 buah, dan tongkang yang berangkat sampai 2 dan 3 kali keluar dari Pelabuhan Sedanau menuju Singapura kemudian ke Kuching dan Serawak.
3. Hutan belukar sangat lebat dan banyak mengandung air. Selain itu, banyak ditemukan sungai yang relative luas.
4. Ditemukan banyak jenis hasil hutan seperti rotan dan kayu-kayuan. Jenis Kayu tersebut antara lain : kayu balau, kayu rengas, kayu serayu, kayu belian, kayu tempinis, kayu merbau, kayu mentigi dan lain-lain.
Vleer (1935) menyebutkan bahwa jenis-jenis kayu tersebut tersebar di Pulau Jemaja, Siantan, Matak, Serasan dan Bunguran. Bahkan pasar Eropa dan Cina menunjukkan minat pada jenis kayu ini.
5. Ditemukan hasil laut yang banyak mengandung jenis ikan, gamat (teripang), kima (sejenis karang), rumput laut (untuk dijadikan agar-agar). Ada tujuh jenis gamat atau sejenis makanan laut ini, yaitu gamat belah, batang pandan, gulung, suluh, teripangt, suluh keras dan siring limau.
Terkait dengan jenis gamat ini Vleer dalam Memorie van overgave betreffende de. onderafdeeling Poelau Toedjoeh, Afdeeling Tandjoeng Pinang, Residentie Riouw en Onderhorigheden 14 December 1935 menyebutkan beberapa jenis gamat lainnya yaitu gamat susu, gamat pulut, gamat belanan, gamat tapak, gamat pandan, gamat siang, gamat malam dan gamat mata punai (Vleer, 1935:53).
6. Ada juga sarang burung, madu hutan, telur penyu dan sebagainya.
Vleer (1935) menyebutkan meskipun produksinya tidak begitu besar, namun hampir semua wilayah di Natuna memproduksi sarang burung. Sarang burung yang ada bahkan dibedakan 2 jenis yaitu sarang burung putih dan sarang burung hitam. Demikian juga dengan telur penu yang ditemukan di hamper setiap pulau di wilayah Natuna.
7. Masyarakatnya memiliki kemampuan bertenun kain, membuat anyam anyaman.
Potensi ekonomi seperti disebutkan dalam naskah Pohon Perhimpunan Peri Perjalanan dan dalam tulisan Vleer (1935) seperti tersebut di atas masih dapat dijumpai hingga sekarang. Pada abad ke- 19, kelapa menjadi komoditi unggulan Natuna. A.J. Vleer dalam Memorie van overgave betreffende de. onderafdeeling Poelau Toedjoeh, Afdeeling Tandjoeng Pinang, Residentie Riouw en Onderhorigheden 14 December 1935 menyebutkan bahwa kelapa di Natuna diolah menjadi kopra. Kopra Pulau Tujuh termasuk bahkan menjadi komoditi perdagangan yang terpenting di era 1920 hingga 1934 (Vleer, 1935:22). Berdasarkan data 1920, Pulau Tujuh, termasuk Natuna, merupakan penghasil kopra yang diekspor ke luar negeri semenjak tahun 1917.
Sementara itu, Kabupaten Natuna merupakan hasil pemekaran Kabupaten Kepulauan Riau menjadi 3 (tiga) yaitu Kabupaten Kepulauan Riau (sekarang menjadi Kabupaten Bintan), Kabupaten Karimun dan Kabupaten Natuna menyusul kemudian Kota Tanjungpinang yang diresmikan pada tahun 2001. Kemudian berdasarkan UU No. 33 Tahun 2008 tanggal 21 Juli 2008 tentang pembentukan kabupaten pemekaran dari Kabupaten Natuna yaitu Kabupaten Kepulauan Anambas dengan 7 Kecamatan di gugusan pulau Anambas.
Sejak penerapan otonomi daerah, yang mulai berlaku efektif pada 1 Januari 2001 dengan UU No. 22 tahun 1999, maka proses sosialisasi terhadap undang-undang tersebut menjadi penting untuk dipahami dan dimengerti oleh setiap komponen masyarakat. Hal yang sangat penting dalam proses sosialisasi adalah sejauh mana penerapan otonomi daerah dapat memberikan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dalam proses sosialisasi adalah sejauh mana penerapan otonomi daerah ini dapat memberikan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dalam proses membangun ekonomi rakyat. Momentum otonomi daerah tentunya akan memberikan upaya peningkatan ekonomi rakyat.

Penutup
Ditinjau dari sejarahnya, wilayah Natuna masuk dalam Kerajaan Riau Lingga. Setelah berakhirnya Kerajaan Riau Lingga tahun 1913, Natuna menjadi wilayah kedaulatan RI. Kehidupan sosial ekonomi dan budayanya pun mengikut adat Melayu. Adat yang berlaku sebagai bagian dari Kepulauan Riau. Posisi dan letak Natuna yang strategis tersebut, dapat menjadikannya sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan wilayah. Dengan ketersediaan sumber daya alam berupa minyak dan gas bumi, pemerintah dapat mengundang investor untuk dapat menanamkan modalnya. Dengan masuknya penanaman modal, maka diharapkan pembangunan yang berorientasi kepada kesejahteraan rakyat dapat dilaksanakan (Hasrul Sani, 2004 : 11).
Disebutkan cadangan gas alam di kepulauan ini terbesar di Asia Pasifik, bahkan terbesar di dunia, sehingga tidak mengherankan jika banyak Negara-negara yang sangat tergiur untuk dapat memiliki Kepulauan Natuna. Hitungan dari pemerintah mengacu pada salah satu ladang gas alam yaitu Blok Natuna D-Alpha, dimana menyimpan cadangan gas dengan volume 222 Triliun Kaki Kubik, dan jika akan diambil dan digunakan, cadangan gas alam ini tidak akan habis untuk 30 tahun mendatang. Sementara untuk potensi gas yang recoverable atau yang dapat diperkirakan di Kepulauan Natuna sebesar 46 TCF (Triliun Cubik Feet) setara dengan 8.383 Miliar Barel Minyak. Total jika digabung dengan Minyak Bumi, terdapat sekitar 500 Juta Barel cadangan energy hanya di Blok tersebut. Sudah seharusnya pemerintah mengantisipasi pencaplokan wilayah perairan Natuna sedini mungkin, sebab jika tidak dipertahankan maka Indonesia akan kehilangan cadangan Migas yang sangat besar. Jika kita kehilangan Natuna, itu dampaknya sangat terasa karena sector migas salah satu paling besar pendapatannya (Butje Tampi, 2017 : 7).
Di bidang perikanan, Kepulauan Natuna yang terletak dalam perairan Laut China Selatan, kaya dengan berbagai jenis ikan serta sumber-sumber kekayaan mineral yang potensial. Djoko Marihandono (2019) bahkan menyebutkan Natuna memiliki sumber daya ikan laut yang besar hingga mencapai 1 juta ton per tahun, sementara hanya 4.3% digunakan untuk keperluan masyarakat di Kabupaten Natuna sendiri.