Tanjungpinang Kota Pendidikan

0
1750

Tanjungpinang menjadi kota pendidikan. Hal ini sesuai Perda Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kota Tanjungpinang 2005-2025 7yang disahkan DPRD Tanjungpinang tanggal 1 September 2016 lalu. Tak hanya sekedar slogan, perlu kerja keras semua pihak agar Tanjungpinang semakin diminati. Tanjungpinang jadi pilihan utama orang Kepri untuk tempat kuliah. Tanjungpinang minimal bisa ‘mengalahkan’ Batam dan tahap berikutnya baru menyaingi Pekanbaru dan Padang.

Di Indonesia, ada tujuh kota pendidikan yang menjadi incaran mahasiswa dari berbagai daerah untuk menuntut ilmu. Yakni, Jogjakarta, Bandung, Jakarta, Malang, Solo, Padang dan Makasar. Di kota-kota ini selain perguruan tinggi negeri, perguruan tinggi swasta terus tumbuh. Tak perlu target muluk-muluk, Tanjungpinang tahap awal bisa mengambil porsi Pekanbaru dan Padang. Selama ini anak-anak Kepri cukup banyak yang kuliah ke Pekanbaru dan Padang selain ke Pulau Jawa. Selain itu, anak-anak dari provinsi tetangga, Riau banyak yang kuliah ke Padang, selain Pekanbaru.

Kalau dikaji ke belakang, sejarah pendidikan Tanjungpinang jauh lebih tua dari Pekanbaru dan daerah lainnya di Sumatera. Aswandi Syahri dalam artikelnya, “Dari Cornets de Grootfonds Hingga Riouw Studiefonds (Sekolah dan Pendidikan Modern di Kepulauan Riau 1857-1939)”menyebutkan, pendidikan di Kepri sudah mulai jauh sebelum Ki Hajar Dewantara lahir pada tahun 1889. Dua Resident Riouw yang amat berjasa dalam pembangungan yayasan penunjang pendidikan adalah Cornet de Groot yang mendirikan Cornet de Groot Fonds dan Doeve yang mendirikan Doeve Stichting. Dalam perjalanan masa, intelektual bumiputera dan orang Tionghoa terlibat pula dalam bidang pendidikan di Kepri.

Hal ini tak terlepas kebijakan Belanda. Menurut Parsudi Suparlan, Belanda menjadikan Tanjungpinang pusat kekuasaannya di Riau dan mengakui Bahasa Melayu bahasa kedua setelah Bahasa Belanda. Hal ini mendorong anak-anak dari kepulauan Riau sekolah di zaman belanda bersekolah di Tanjungpinang. Lebih banyak dari anak-anak daratan Riau. Tamatan-tamatan sekolah Belanda ini nantinya ditempatkan jadi guru di berbagai daerah di Riau. Ada pendapatan orang Riau daratan yang menyebutkan pekerjaan guru dan pendidikan adalah monopoli orang kepulauan riau. Sementara orang Riau monopoli kegiatan dunia pemerintahan dan administrasi.

Sebagai ‘daerah ibukota” Tanjungpinang juga menjadi magnet di bidang pendidikan di masa lampau. Banyak orang tua dari daerah sekitar mengirim anak-anak mereka bersekolah ke Tanjungpinang. Suryadi menulis sejak sebelum perang dunia kedua, di Tanjungpinang telah ada asrama pelajar putra putri. Namanya Asrama Doeve Stichting, dimuat dalam majalah Waktoe (terbit di Medan), No. 9, Tahun III, Sabtu 26 Maret 1949. Keberadaan asrama disebabkan pelajar itu datang dari berbagai wilayah di Kepri yang akses transportasinya sulit sehingga mereka harus tinggal diasrama. Anak-anak dari Kalimantan Barat juga diyakini ada yang sekolah ke Tanjungpinang.

Guru-guru yang menjadi pengasuh diasrama tersebut, diantaranya datang dari Minangkabau, diantaranya Moehamad Saleh dan Tuan Moehamad Kasim gelar Chatib Sampono. Beberapa orang Minangkabau terpelajar memang pernah ditempatkan di Tanjungpinang, antara lain Soetan Mohamad Salim (ayah Haji Agus Salim) yang diangkat menjadi hoofddjaksa di sana pada awal 1900 (Bintang Hindia, No. 8. Tahoen jang pertama, 15 April 1903:80) dan Baginda Dahlan Abdoellah asal Pariaman, aktivis Indische Vereeniging di Belanda yang kembali ke Indonesia pada awal 1924, kemudian pada 1950 menjadi Duta RIS di Baghdad.

Fakta sejarah ini, jadi modal berharga untuk menjadikan Tanjungpinang kota pendidikan. Perlu digarisbawahi slogan kota pendidikan tak cukup hanya Pemko Tanjungpinang dan DPRD Tanjungpinang yang tahu, melainkan harus disosialisasikan secara gencar. Ini tanggungjawab bersama, termasuk lembaga pendidikan, baik pendidikan dasar dan perguruan tinggi untuk mengaungkan tagline baru kota Tanjungpinang. Kota kebanggaannya tak lagi sebagai hanya sebagai kota pusat budaya dan pusat perdagangan. Di pintu-pintu pelabuhan, bandara dan lokasi yang strategis di kota ini perlu dibuat tanda ‘Tanjungpinang Kota Pendidikan’. Ini ikon baru yang sesegera mungkin masuk dalam benak kepala warga Tanjungpinang.

Perlu Keyakinan dan Sosialisasi

Pembenahan sarana-prasarana dan peningkatan sumberdaya manusia tenaga pendidik menjadi pekerja utama yang lain. Saat ini, dari segi kualitas sekolah menengah pertama (SMP) dan Sekolah Menangah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Tanjungpinang cukup bagus. Namun, untuk pendidikan menengah ini tak terlalu besar dampaknya menjadi daya tarik orang untuk datang ke Tanjungpinang. Hal ini berbeda dengan jika di Tanjungpinang ada pondok pesantren berkualitas bagus. Diyakini banyak calon santri yang datang ke Tanjungpinang.

Perguruan tinggi yang ada di Tanjungpinang diminta terus berbenah. Saat ini di Tanjungpinang baru satu perguruan tinggi negeri, yakni UMRAH. Itu pun masih terseok-seok dan yang muncul sering ke permukaan atau publik adalah permasalahan internal atau pun masalah anggaran. Belum lagi berbicara masalah kualitas, akreditasi dan sebagainya, itu masih jauh. Perguruan tinggi swasta yang eksis, yakni Stisipol, STIE Pembangunan, STIKES Hang Tuah. Selebihnya ada STAI Miftahul Ulum dan STTI. Kondisi PTS yang ada di Tanjungpinang masih dalam tahap berbenah.

Kalau kondisi UMRAH dan PTS yang ada di Tanjungpinang kondisinya masih seperti sekarang, jangan diharap orang tua anak-anak di Lingga, Karimun, Bintan maupun Tanjungpinang bersemangat mendaftarkan anaknya kuliah di Tanjungpinang. Khusus UMRAH, jangan terjebak dipermasalahan internal dan berkutat masalah anggaran. Parahnya itu pula yang sering diekspos media massa. Ini yang membuat ketakutan para tua dan calon mahasiswa. Sering juga terjadi demonstrasi mahasiswa masalah ketidakjelasan wisuda, akreditasi jurusan hingga masalah biaya kuliah yang tak transparan menjadi kendala yang lain.

Soal perguruan tinggi, Tanjungpinang masih kalah dibandingkan Batam. Di kota industri ini, ada Politeknik Batam yang statusnya PTN dan reputasinya diakui. Termasuk politeknik paling top di Sumatra. PTS-nya juga banyak jumlah mahasiswa dan kualitasnya semakin membaik. Ada Universitas Internasional Batam (UIB) yang sudah lama membuka jejang pendidikan hingga strata dua (S2). Begitu juga Universitas Batam (UNIBA), Universitas Riau Kepulauan (UNRIKA), dan Universitas Putra Batam. Di Batam juga ada sejumlah STIE Ibnu Sina, STT Ibnu Sina, GICI, sejumlah sekolah tinggi dan akademisi kesehatan.

Jika tak yakin, lupakan saja mimpi itu. Lupakan slogan Tanjungpinang kota pendidikan. Lebih baik fokuskan saja mengandalkan Tanjungpinang sebagai pusat budaya Melayu dan pusat perdagangan. Butuh perjuangan panjang mewujudkan mimpi itu. Untuk kemajuan pendidikan Tanjungpinang yang lebih baik.  (dedi arman, Terbit di Harian Tanjungpinangpos, 7 September 2016)