MENELUSURI BENTENG PERTAHANAN DI PULAU LINGGA

0
3521

Kerajaan Lingga telah dikenal sebagai salah satu kerajaan Melayu pada abad ke-16. Pada masa itu kerajaan-kerajaan di Semenanjung Malaka disibukkan dengan dominasi Portugis di jalur perdagangan tersebut. Beberapa kali terjadi perlawanan dari kerajaan pribumi, walaupun akhirnya dapat dipatahkan. Keberadaan Portugis berakhir seiring dengan kedatangan Belanda. Namun hal ini tidak menjadikan keadaan lebih baik, ditambah lagi dengan datangnya Inggris. Perebutan pengaruh antara Belanda dan Inggris terhadap Selat Malaka turut memperkeruh keadaan sehingga mengakibatkan pecahnya kerajaan-kerajaan Melayu. Tidak banyak yang dapat dilakukan kerajaan-kerajan Melayu dalam penentuan kebijakan ekonomi perdagangan pada masa itu akibat politik adu domba yang diterapkan oleh Belanda. Hal inilah yang perlahan-lahan menggerogoti perekonomian kerajaan sehingga akhirnya mengakibatkan keruntuhannya.

Tingginya tingkat konflik di Selat Malaka, mengakibatkan kerajaan-kerajaan harus melengkapi keberadaanya dengan berbagai sistem pertahanan. Sistem pertahanan keamanan yang diterapkan oleh Kerajaan Lingga diantaranya adalah membangun pos-pos pertahanan, yang sampai saat ini masih dapat kita jumpai yaitu berupa tanggul-tanggul tanah yang dilengkapi dengan beberapa meriam untuk menjaga akses masuk ke kerajaan. Tanggul-tanggul tanah itu diantaranya adalah di Pulau Mepar, Bukit Cening, Kuala Daik dan tanggul tanah yang terdapat di Pabean.

Kota Kerajaan Lingga berpusat di Daik, yang saat ini merupakan ibukota Kecamatan Lingga, termasuk dalam wilayah Kabupaten Kepulauan Riau, Propinsi Riau. Secara astronomis Kelurahan Daik-Lingga terletak antara 00 13’ — 00 14’ LS dan 1040 36’ — 1040 41 BT. Peninggalan sejarah di bekas Kerajaan Lingga cukup banyak, diantaranya adalah beberapa bangunan monumental, seperti; mesjid, makam, bekas istana, benteng-benteng pertahanan, dan tinggalan artefaktual lainnya. Kerajaan Lingga memiliki peninggalan benteng pertahanan yang cukup banyak, bangunan tanah ini berfungsi sebagai pos-pos pertahanan yang merupakan bagian dari suatu sistem pertahanan di Kerajaan Lingga. Benteng-benteng tersebut, antara lain:

1. Benteng Tanah Bukit Cening
Benteng tanah ini berjarak sekitar 3 km sebelah selatan ibukota Kecamatan Lingga, tepatnya di Kampung Seranggo, Kelurahan Daik. Benteng ini dibangun di atas bukit, menghadap ke tenggara, dengan pintu masuk berada di sebelah utara. Bagian selatan benteng ini adalah tebing yang menghadap ke Selat Kolombok, sebelah utara tampak Gunung Daik dan Sepincan, baratdaya tampak Pulau Mepar, sedangkan sebelah barat-baratlaut merupakan daratan dan lokasi istana Sultan Lingga. Melalui benteng ini pandangan bebas mengawasi daerah sekelilingnya. Di dalam benteng ini terdapat sebanyak 19 buah meriam yang diletakkan berjajar di sisi selatan. Meriam-meriam di benteng ini dapat diklasifikasikan sebagai meriam berukuran sedang dan besar, dengan ukuran panjang antara 2-2,80 meter. Lubang laras berdiameter 8-12 cm. Pada meriam-meriam tersebut terdapat pertulisan yang terletak di bagian pangkal atau pada pengaitnya, sebagian dalam keadaan aus. Angka-angka tahun yang terdapat pada meriam itu adalah 1783 dan 1797.

2. Benteng Tanah Kuala Daik
Terletak di tepi muara Sungai Daik, sekitar 2 km dari Kampung Cina. Untuk mencapai lokasi ini dapat ditempuh dengan menggunakan sampan. Masyarakat menyebut tempat ini sebagai Tanjung Meriam, Sisa bangunan yang ada saat ini hanyalah susunan batu yang menjorok ke laut. Letak benteng ini sangat strategis, yaitu berada di pintu masuk ke pusat kota yang dapat dilalui dengan menggunakan kapal. Kerusakan benteng tersebut kemungkinan akibat gerusan air laut yang semakin tinggi pada saat pasang, akibat pengendapan Lumpur pada muara Sungai Daik.

3. Benteng Tanah di Pabean
Benteng tanah ini terletak di pusat Kota Kecamatan Lingga, di sebelah utara Kantor Kecamatan Lingga dan tidak jauh dari arah aliran Sungai Daik. Kondisinya saat ini tidak beraturan, hampir rata dengan tanah akibat aktivitas penduduk disekitarnya. Lebar bangunan tanah saat ini mencapai 4 – 6 meter, dengan tinggi tidak lebih dari 1 meter. Berdasarkan sisa bangunan yang ada, benteng tersebut memanjang dari arah timur–barat. Bagian tengah benteng terputus, karena tepat pada bangunan ini digunakan sebagai pintu masuk ke halaman rumah penduduk. Menurut masyarakat, tempat ini merupakan Pabean pada masa lalu, tepatnya berada disekitar belokan aliran Sungai Daik. Pengamatan di lapangan menunjukkan di tempat tersebut permukaan tanahnya lebih rendah dan kondisinya berair. Di sekitarnya banyak ditemukan meriam yang saat ini diletakkan di alun-alun. Dua buah meriam yang terdapat di depan Mess Kecamatan memiliki keistimewaan, berbahan tembaga, berukuran panjang 3,35 m.

4. Benteng Tanah di Pulau Mepar
Secara administratif Pulau Mepar termasuk dalam wilayah Desa Mepar, Kecamatan Lingga, berjarak sekitar 1 km dari Tanjung Butun. Untuk mencapai pulau ini ditempuh dengan menggunakan sampan dengan waktu tempuh sekitar 15 menit. Di Pulau ini terdapat 5 buah benteng dan beberapa buah meriam yang saat ini terletak di sekitar perkampungan penduduk.
Tiga buah benteng terletak di selatan pulau, satu di sebelah barat, dan sisanya berada di utara (lihat gambar). Benteng I terletak di atas bukit, sebelah tenggara pulau. Benteng ini dikelilingi oleh parit yang cukup dalam, di bagian pintu masuknya terdapat saluran yang kemungkinan digunakan untuk mengeluarkan air dari dalam benteng. Benteng I menghadap ke baratlaut, Benteng terletak di tempat lebih tinggi, sehingga memudahkan pengawasan daerah sekitarnya. Melalui benteng I ini dapat diawasi Pulau Lingga yang berada di sebelah utaranya, dan Pulau Kolombok di sebelah selatan.

Benteng II berbentuk persegi empat, berjarak sekitar 5 meter dari garis pantai dan berada pada ketinggian 3 meter diatas permukaan laut. Benteng seluas sekitar 300 m2 ini, terletak di sebelah selatan pulau. Melalui benteng ini tampak Pulau Kolombok yang berada di sebelah selatannya. Benteng III terletak di Kampung Hulu, berjarak sekitar 200 meter di sebelah baratdaya benteng II. Bangunan ini berjarak sekitar 20 meter dari garis pantai, dengan ketinggian sekitar 6 meter diatas permukaan laut. Bangunan ini berbentuk segitiga dengan luas sekitar 150 m2. Benteng IV terletak di kampung yang sama dengan benteng III, dengan jarak sekitar 200 meter dari benteng III. Benteng ini berbentuk persegi empat berukuran luas sekitar 300 m2, sedangkan benteng V terletak di kampung yang sama, berjarak sekitar 200 meter dari benteng IV, berbentuk persegi empat.

Sejarah mencatat bahwa kekuasaan para sultan pada akhirnya berada di bawah dominasi Belanda. Perdagangan yang menjadi tulang punggung perekonomian kerajaan dan hasil-hasil perdagangan yang dilakukan daerah-daerah pada akhirnya harus dijual pada Belanda dengan harga yang telah ditentukan, terutama barang-barang yang bernilai tinggi di pasaran dunia. Para sultan dipaksa menandatangani perjanjian-perjanjian yang memberatkan. Setiap pergantian sultan merupakan suatu kesempatan baru bagi Belanda untuk mengadakan dan memperbaharui perjanjian dengan ikatan-ikatan yang lebih berat. Hal inilah yang mengakibatkan beberapa sultan membangkang.

Tampaknya sistem pertahanan keamanan yang terdapat di Kerajaan Lingga merupakan suatu sistem pertahanan semu. Pertahanan keamanan hanya dipakai oleh kerajaan apabila kedatangan “musuh”, yaitu perompak yang mengganggu perdagangan Belanda, karena pada hakekatnya saat itu sesama Bangsa Melayu merasa memiliki beban yang sama, yaitu mematahkan dominasi Belanda atas jalur-jalur perdagangan di Selat Malaka. Salah satu contoh adalah sikap mendua pasukan dari Kerajaan Lingga yang diperintahkan menyerang Reteh. Pasukan Kesultanan Riau-Lingga yang tergabung dengan pasukan Belanda melakukan penyerangan ke Reteh tidak dengan sepenuh hati, sehingga Belanda terpaksa meminta tambahan pasukan untuk mengganti posisi orang-orang Melayu tersebut.

Penempatan benteng-benteng pertahanan di beberapa kerajaan pada masa itu sedikit banyak untuk kepentingan Belanda. Peralatan perang yang didatangkan dari Belanda merupakan salah satu petunjuk bahwa pembelian persenjataan untuk pertahanan keamanan dengan sepengetahuan dan dikontrol oleh Belanda. Sedangkan salah satu bentuk pengawasan terhadap penggunaannya dilakukan dengan menempatkan sepasukan kecil di Pulau tersebut.

Kerajaan Riau-Lingga merupakan sebuah kerajaan yang dilengkapi dengan sistem pertahanan keamanan, untuk menjaga akses masuk ke kerajaan. Sistem pertahanan keamanan tersebut bertumpu pada keberadaan pos-pos pertahanan yang berupa bangunan-bangunan tanah yang terdapat di Mepar, Bukit Cening, Kuala Daik, dan yang terdapat di Pabean. Benteng-benteng tersebut tersusun secara sistematis sesuai dengan arah perjalanan sebuah kapal untuk mencapai pusat kota kerajaan. Tetapi kuatnya dominasi Belanda atas para sultan mengindikasikan lain. Benteng-benteng tersebut oleh Belanda digunakan untuk “mengurung “ para sultan agar tetap berada di kerajaannya. Penempatan sepasukan kecil tentara Belanda merupakan salah satu bukti bahwa penggunaan benteng-benteng pertahanan berada dibawah pengawasan dan digunakan sepenuhnya untuk kepentingan Belanda.

Berdasarkan data, sejarah meriam yang terdapat di Pulau Lingga dan dibandingkan dengan yang terdapat di Pulau Mepar terdapat indikasi bahwa meriam-meriam di Pulau Lingga memiliki persamaan. Meriam-meriam tersebut berasal dari Belanda, sedangkan yang terdapat di Mepar kemungkinan buatan lokal atau daerah yang memiliki teknik pembuatan kurang maju.