Wayang Cecak adalah salah satu jenis kesenian menjadi khasanah tradisi lisan di Pulau Penyengat, Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepri.Tradisi lisan dengan media wayang ini merupakan akulturasi antara budaya Tionghoa dan budaya Melayu.
Kesenian ini merupakan sebuah kesenian yang menggunakan Boneka tangan, terbuat dari kain perca dimainkan oleh dalang. Dengan menggambarkan kehidupan. Dalam kotak yang kira-kira berukuran 2×3 meter, boneka itu digerakkan oleh tangan Manusia (dalang) dari belakang. Kesenian ini memiliki kandungan filosofi, terutama filosofi hidup. Kehidupan akan digambarkan dalam tokoh-tokoh wayang. Kesenian ini juga bertujuan dalam menyampaikan pendidikan karakter untuk anak-anak kita, dalam bentuk yang menarik dan sederhana. Sehingga dalam menjadi sebuah pembelajaran bagi anak-anak generasi muda tentan filosofi kehidupan. Dalam tokoh-tokoh wayang ada yang digambarkan dengan karakter baik dan ada yang digambarkan dengan karakter kurang baik. Nilai-nilai kehidupan itulah yang bisa kita serap dalam kehidupan kita
Wayang cecak merupakan kesenian yang dipertunjukan untuk kalangan elit tertentu dan tak menyebar ditengah masyarakat. Sampai pada tahun 1940-an pemain wayang cecak yang berada di Pulau Penyengat satu orang bernama Khadijah Terung. Kesenian ini dipelajarinya dari persentuhan keluarga Kapitan Cina di tanjungpinang. Dengan boneka yang terbuat dari kain perca dan sebuah ranjang miniatur sebagai pentas dimainkan untuk mengantar cerita-cerita yang memang sudah diketahui yang merupakan sari dari beberapa syair-syair diantaranya : syair semacam Siti Zubaidah, Selindung Delima dan lainnya.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) melalui Pusat Pengembangan dan Pelindungan pernah menyelenggarakan Revitalisasi Sastra Lisan Wayang Cecak Berbasis Komunitas di Balai Desa Pulau Penyengat, Kepulauan Riau. Kegiatan tersebut diselenggarakan bekerja sama dengan Kantor Bahasa Kepulauan Riau, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Tanjungpinang, dan Dinas Kebudayaan Provinsi Kepulauan Riau.**