Tanjungpinang Kota Budaya
Sebutan Kota Tanjungpinang sebagai kota pendidikan, itu sesuatu yang wajar. Sejumlah perguruan tinggi terus tumbuh di Tanjungpinang. Mahasiswa dari sejumlah daerah ramai menuntut ilmu di kota ini. Sebutan Tanjungpinang sebagai kota perdagangan, siapa yang bisa membantah. Para pedagang dari sejumlah kabupaten di Kepri, seperti Lingga, Anambas, Natuna, Bintan maupun Karimun banyak mengantungkan pasokan dagangannya dari Tanjungpinang. Kebutuhan masyarakat pulau-pulau itu banyak dipasok dari Tanjungpinang. Tanjungpinang juga cocok disebut kota jasa. Sebagai ibukota provinsi Kepri, Tanjungpinang ramai karena aktivitas sektor jasa. Banyak instansi vertikal ada di Tanjungpinang, termasuk juga ramai berdirinya perbankan. Hotel ramai karena aktivitas tamu konvensi, seperti seminar, rapat atau pertemuan.
Dari berbagai potensi itu, jangan dilupakan Kota Tanjungpinang sebagai kota budaya. Tanjungpinang dikenal karena kaya potensi sejarah dan budaya. Hasil survei yang cukup menarik dilakukan Lembaga Kajian Kebijakan Publik dan Politik Lokal yang bekerja sama dengan Komunitas Bakti Bangsa. Survei menyimpulkan Tanjungpinang disukai sebagai kota budaya. Berdasarkan hasil survei pada 1-9 Oktober 2012, diperoleh informasi bahwa jumlah responden yang menginginkan Tanjungpinang menjadi kota budaya dan pariwisata sebanyak 41,51 persen dari 425 responden yang tersebar di kota itu. Sementara responden yang menginginkan Tanjungpinang menjadi kota pendidikan sebanyak 31,19 persen. Responden yang memiliki Tanjungpinang sebagai kota perdagangan sebanyak 14,68 persen dan kota industri 12,61 persen. (https://kepri.antaranews.com, 13/10/ 2012).
Pilihan Tanjungpinang sebagain kota perdagangan dan kota industri direspons sedikit oleh masyarakat, lantaran kemungkinan masyarakat menilai wajah Kota Batam yang berdekatan dengan Tanjungpinang lebih tepat untuk dijadikan kota industri dan perdagangan. Batam memiliki potensi yang lebih besar untuk menjadi kota industri dan perdagangan. Sedangkan Tanjungpinang layak menjadi kota budaya, pariwisata dan pendidikan. Survei yang dilakukan dapat menjadi referensi dalam pengembangan kota Tanjungpinang ke depannya.
Bidang kebudayaan belum jadi perhatian utama Pemko Tanjungpinang dalam sektor pembangunan. Hal ini bisa dicermati dalam visi misi Walikota Tanjungpinang tahun 2013-2018 yang tergambar dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Visinya adalah Tanjungpinang yang sejahtera, berakhlak mulia, dan berwawasan lingkungan dengan pemerintahanan yang bersih, transparansi, akuntabel serta melayani. Dalam mewujudkan visi itu, ada delapan misi. Yakni: 1. Meningkatkan kualitas sumber daya masyarakat (modal sosial) dengan menjamin kemudahan akses terhadap fasilitas kesehatan dan pendidikan yang berkualitas. 2. Meningkatkan kesejahteraan melalui pemberdayaan ekonomi lokal yang berbasis ekonomi kerakyatan. 3. Mewujudkan kehidupan yang agamis dan berbudaya, demokratis serta berkesetaraan gender dalam bingkai Pancasila. 4. Membangun pemerintahan yang bersih, transparan dan akuntable yang berorientasi pada pelayanan publik. 5. Menciptakan iklim investasi yang kondusif bagi dunia usaha dengan mengutamakan keunggulan komparatif Kota Tanjungpinang. 6. Mengembangkan potensi pariwisata dan budaya daerah. 7. Mengembangkan dan meningkatkan sumber daya pemuda dan olah raga. 8. Melaksanakan pembangunan yang ramah lingkungan dengan penataan ruang yang efektif dalam rangka mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan. (https://sipd.kemendagri.go.id, diakses 20 Agustus 2018).
Pengembangan budaya daerah memang dimasukkan dalam misi itu, namun dalam penjabarannya tetap saja sektor budaya tak jadi perhatian utama. Padahal suka tidak suka bidang kebudayaan menjadi kekuatan Kota Tanjungpinang. Tanjungpinang menjadi kota budaya lebih banyak mendapat dukungan dan aspirasi dari masyarakat ketimbang menjadikan Tanjungpinang kota perdagangan, kota pendidikan, atau kota jasa.
Visi kebudayaan nampaknya tertumpang pada pasangan Walikota Tanjungpinang yang baru dilantik. Syahrul-Rahma memiliki visi budaya dalam pemaparannya saat debat Pilkada Tanjungpinang. Visinya adalah Tanjungpinang sebagai Kota Maju, Berbudaya dan Sejahtera dalam Harmoni Kebhinekaan Masyarakat Madani. Visi itu diwujudkan dalam lima misi, yaitu: 1.Meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang agamis, berbudaya dan berwawasan kebangsaan dan berdaya saing global.2.Meningkatkan pengembangan pariwisata dan ekonomi kreatif. 3. Mengembangkan dan melestarikan khasanah budaya lokal dan nusantara untuk menciptakan masyarakat yang harmonis, bertoleransi dan berkebhinekaan guna mendukung pembangunan berkelanjutan 4.Mewujudkan tata kelola pemerintahan yang professional, berwibawa, amanah, transparan, dan akuntabel didukung struktur birokrasi yang berintegritas dan kompeten. 5.Melanjutkan pembangunan yang adil dan merata, serta menciptakan iklim inventasi yang kondusif yang berwawasan lingkungan dan sistem pengupahan yang berkeadilan. (http://kota-tanjungpinang.kpu.go.id/diakses 20 Agustus 2018).
Dalam lima misi itu tergambar adanya perhatian pada pengembangan dan pelestarian budaya lokal. Tak hanya budaya lokal, juga ada upaya keinginan meningkatkan pengembangan pariwisata dan ekonomi kreatif. Visi misi Syahrul Rahma bidang kebudayaan lebih jelas dan Nampak ketimbangan dua kepala daerah sebelumnya. Namun, hal ini baru di atas kertas dan perlu diwujudkan dalam program kerja dalam penjabaran visi misi tersebut. Dari keinginan dalam pengembangan menjadikan Tanjungpinang sebagai kota budaya, perlu dibuat strategi. Hal ini agar visi yang agung itu tak tinggal hanya sebagai janji kampanye dan tak terealisasi dalam program kegiatan Pemko Tanjungpinang ke depannya. Beranjak dari fakta ini, tulisan ini mengupas bagaimana strategi pengembangan Tanjungpinang sebagai kota budaya harus berkiblat pada kekayaan sejarah dan tradisi yang dimiliki Kota Gurindam Negeri Pantun ini.
Strategi Pengembangan Kota Budaya
Program pelestarian dan pengembangan kebudayaan pada dasarnya dilaksanakan untuk mengetengahkan nilai-nilai kebudayaan guna memperkokoh ketahanan budaya bangsa. Kebijakan yang dikembangkan dalam melaksanakan program ini adalah mengembangkan kebudayaan sebagai alat pemersatu bangsa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia serta meningkatkan adab masyarakat Indonesia.
Tantangan yang dihadapi dalam pembangunan kebudayaan pada dasarnya masih tingginya sifat materialisme di masyarakat yang mulai meninggalkan nilai-nilai luhur budaya bangsa serta menurunnya akhlak moralitas pada sebagian masyarakat. Di samping itu permasalahan yang mendesak dalam pembangunan kebudayaan adalah adanya kecenderungan semakin menurunnya tingkat pengelolaan aset-aset budaya baik yang bersifat intangible (tak benda) ataupun tangible (benda), terutama yang berada di daerah. Pengelolaan dan masih lemah terhadap aset dan pemahaman keragamaan budaya terlihat belum adanya kriteria yang jelas dalam pengamanan aset kebudayaan terutama aset kebudayaan yang berskala daerah,nasional dan internasional. Ketidakjelasan tersebut tercermin dari ketidakpedulian terhadap keberadaan aset budaya tersebut. (Sastrayuda,2010).
Dalam pengembangan Tanjungpinang sebagai kota budaya hal yang mutlak harus dilakukan adalah pelestarian budaya. Pelestarian budaya terbagi dua, yakni pelestarian cagar budaya dan pelestarian nilai budaya. Faktor kesejarahan dan budaya Melayu menjadi faktor utama daya tarik wisatawan asing dari Singapura dan Malaysia berkunjung ke Tanjungpinang. Tulisan M Juramasi Esram menyebutkan, wisatawan mancanegara yang datang ke Tanjungpinang umumnya berasal dari negara Singapura dan Malaysia. Banyaknya wisatawan dari Singapura dan Malaysia yang datang bisa dipahami karena kedekatan jarak geografis, sejarah dan sosial budaya. Motivasi kunjungan wisatawan mancanegara ke Kota Tanjungpinang, khususnya Singapura dan Malaysia erat kaitannya dengan keberadaan objek-objek wisata sejarah dan sosial budaya yang terdapat di kota ini. Dengan demikian motif kunjungan mereka termasuk ke dalam kategori menikmati dan mengagumi kekayaan sejarah dan seni budaya Kota Tanjungpinang. Di sisi lain, banyak juga wisatawan tersebut yang datang karena adanya hubungan kekerabatan (etnis Melayu) dengan sanak saudara yang ada di Kota Tanjungpinang. (Esram,2006:5).
Minat wisatawan domestik dan mancanegara berbeda-beda. Wisatawan domestik memiliki minat wisata sejarah, kunjungan dinas pemerintahan dan transit untuk menuju objek wisata ke daerah lain. Wisatawan mancanegara didominasi oleh turis Singapura (71.500 orang) dan Malaysia (13.500 orang) data per 2013. Angka kunjungan tahun 2016 juga menunjukkan fenomena yang sama. Tahun 2016, angka kunjungan turis Singapura 63.672, turis Malaysia 12.203, Filipina 1.850. (Safira,2017). (bersambung)/terbit di Koran Tanjungpinang, 30 September 2018