Syamsinar, tak Lelah Melestarikan Pantun

0
1226

Menyebut pantun di Kepulauan Riau tak terlepas dari sosok pemantun atau pelestari pantun, Hj Syamsinar Azhar. Wanita yang0 akrab disapa Unai menjadi sosok pemantun populer di Kepri, khususnya di Batam.  Apalagi dari sejumlah pemantun lebih didominasi laki-laki.

====================================================================================

Provinsi Kepulauan Riau dikenal sebagai Bunda Tanah Melayu.  Dikenal juga dengan negeri pantun.  Dalam masyarakat Melayu,  pantun menjadi  sastra lisan lahir dan berkembang yang tujuannya menyampaikan pesan-pesan moral yang sarat berisi nilai-nilai luhur agama, pendidikan, budaya dan norma-norma sosial masyarakatnya.  Membaca pantun sudah menjadi keseharian dalam masyarakat Melayu. Ini tergambar dalam ungkapan. ‘Dimana orang berkampung, di sana pantun bersambung. Di mana ada nikah kawin, disana pantun dijalin. Di mana orang berunding di sana, pantun bergandeng. Dimana orang bermufakat, di sana pantun diangkat. Di mana ada adat dibilang, di sana pantun diulang. Di mana adat dibahas, di sana pantun dilepas’.

Nama HJ Syamsinar alias Unai  begitu populer di kampung kelahirannya dan tempat tinggalnya saat ini, yakni Belakangpadang, salah satu kecamatan di Batam. Ia lahir 10 Oktober 1955. Dari tukang becak, ibu rumahtangga hingga tukang pancung (pompong), alat transportasi laut dari Batam ke Belakangpadang, sangat familiar dengan nama Unai. “Pas di pelabuhan nanti, tanya saja pada warga di sana. Tanya di mana rumah Ibu Unai, pasti semua orang tahu,”kata Zabur, salah warga asal Belakangpadang yang tinggal di Batam saat saya tanya alamat Hj Syamsinar.

Hj Unai namanya bahkan lebih populer dari pemantun laki-laki yang populer di Batam, seperti  Muhammad Zein, Raja Zahar Jordan dan Syamsul Jafar, Samani Hasyim, Rohaizan , Edi Nur Jafar (Jalak Lenteng), dan Samsudin Jafar (Tun Kelana) Munculnya nama Unai ke permukaan sebagai pemantun dalam sejumlah acara, termasuk acara yang digelar Pemko Batam, diawali tahun 2001. Saat itu Walikota Batam dijabat Nyat Kadir yang kini menjadi anggota DPR RI periode 2014-2019.

Saat ini Nyat Kadir datang ke Belakangpadang. Syamsinar  membawa sebuah buku dan  datang ke pelantar pelabuhan. Saat itu Wali Kota Batam dan rombongan baru sampai di dermaga Belakangpadang.Syamsinar menyerahkan buku pantun tersebut pada Nyat Kadir. Ditunjukkannya beberapa halaman isinya. Nyat Kadir membaca sekilas. Lalu membolak-balik halamannya satu per satu.”Baguslah. Walaupun sikit, tulis!” kata Nyat Kadir.

Perkataan Nyat Kadir  begitu mendalam maknanya di hati Syamsinar. Sejak itulah Syamsinar membulatkan tekad untuk terus menulis pantun. Buku yang ia tunjukkan pada Nyat Kadir adalah sebuah buku kumpulan pantun. Pantun bukan benda asing bagi Syamsinar. Wanita yang akrab disapa Unai ini selalu menggunakan pantun sebagai bagian dari bahasa tutur. Sebagai orang Melayu, berpantun adalah hal yang serta merta dipelajari. Unai ingat ia menggemari pantun sejak muda. Ini berawal dari zaman radio Orari sedang jaya-jayanya. Unai menggunakan satu frekuensi untuk berbalas pantun.  Mereka yang hendak mengambil alih frekuensinya harus bisa membeli (istilah untuk membalas dalam berpantun) pantun terlebih dahulu. Kalau Unai tak bisa menjawab, itu tanda ia kalah. Dan ia akan menyerahkan frekuensi.

Suasana hati sangat mempengaruhi  dalam berpantun. Ketika terjadi peristiwa yang sangat berkesan, ia akan segera membuat pantun. Apalagi kalalu sedang marah. Semakin cepat gerigi otaknya berputar. Semakin cepat jemari tangannya menulis. Semakin banyak bait-bait pantun yang tercipta. Pantun seakan menjadi cara untuk menghempaskan amarah.

“Pantun ini saya buat sebagai pelampiasan hati yang tak lepas-lepas. Kalau sakit hati, sedih, masalah banyak, saya lebih cepat membuat pantun,” kata istri Muhammad Azhar Batubara tersebut.

Unai biasa membawa buku tulis dan pena kemana pun ia pergi. Ia lalu mencatat seadanya pantun yang tiba-tiba melesat di pikiran. Di rumah, satu dari ketiga anaknya akan membantu menuliskannya dengan komputer. Hingga kemudian mencetak, memperbanyak dengan fotokopi, dan menjilidnya satu per satu.

Jilidan itu tidak mewah. Hanya dengan sampul mika plastik saja. Satu jilid satu tema. Satu tema berisi lima puluh pantun yang berbeda. Ada pantun tentang menikah. Ada pantun tentang orang tua. Ada pantun tentang berkasih-kasihan.

Buku-buku itu kemudian dijual di setiap kegiatan seminar yang Unai datangi. Dijajakannya satu per satu. Ditawarkannya ke sana ke mari. Wali Kota Batam Ahmad Dahlan dan mantan Gubernur Kepri Ismeth Abdullah sering membeli buku pantunnya. Harganya, bisa sampai Rp 2 juta per buku. Unai menjual buku itu hanya untuk menutup ongkos fotokopi buku. Hasil penjualan kemudian akan diputar lagi sebagai modal penjilidan buku-buku selanjutnya.

“Asal ongkos buat buku sudah ditutupi, saya tak jual buku lagi. Saya bagi-bagikan gitu saja. Uang penjualan buku itu bisa untuk buat buku lagi,” kata Unai.

Kepiawaian Unai merangkai kata-kata menjadi pantun semakin diasah saat menjadi bagian dari tim kampanye Nyat Kadir saat maju dalam pilkada Gubernur Kepri tahun 2005. Nyat yang kala itu sedang berjuang menjadi Gubernur selalu membawa Unai ke daerah manapun ia pergi. Nama Unai semakin besar. Ia pun mulai mendapat gelar Ratu Pantun asal Pulau Penawar Rindu dari masyarakat. Penawar Rindu adalah nama lain dari Pulau Belakangpadang.

Tak sebatas acara-acara seremonial yang digelar instansi pemerintah, Unai juga dipanggil jadi pemantun dalam acara-acara pernikahan. Dari sanalah, pantun mulai menambah penghasilannya. Sebelumnya, ia bergantung pada honor sebagai mak andam (perias pengantin), tukang masak, dan biduan kampung. Unai juga dikenal lihai bernyanyi. Ia pandai membawakan syair-syair Melayu. Ia juga sering diundang acara pantun di Malaysia. Tak hanya itu, ia juga pernah mewakili Kepri bertarung pantun di Malaysia. Di Malaysia,ia mendapat julukan Mak Datin. Memanggilnya kini bisa dengan Mak Datin Unai.

Membuat pantun bagi seorang Unai tak sulit. Satu pantun dalam waktu kurang satu menit sudah bisa dibuat. Ia punya trik khusus membuat pantun. Caranya, ia meluangkan waktu khusus untuk membuat pantun.Setiap hari, sambil menunggu bedug subuh, Unai menulis pantun. Ketika kemudian Subuh tiba, ia berhenti untuk beribadah. Setelah itu lanjut kembali hingga pagi tiba. Kalau sedang mood, ia bisa mendekam di dalam kamar untuk menulis. Kalau tiba-tiba mood hilang di tengah jalan, ia akan tutup bukunya. Ia nyalakan radio atau televisi di kamar. Tak berapa lama, suasana hati kembali datang untuk menulis.

Semakin hari, keinginan menulis pantun semakin besar. Katanya, ia ingin menulis selagi bisa. Kalau tiba-tiba ia tak bisa lagi menulis, itulah berarti saatnya untuk berhenti. Namun, setidaknya, ia sudah menunjukkan bahwa Melayu itu bisa, Melayu itu boleh. Dua kalimat itulah yang selalu ia dengung dengungkan setiap kali bercerita.

Ia bangga jadi budak Melayu asli. Ia ingin tunjukkan kalau Melayu itu bisa, Melayu itu boleh.Unai sudah menulis puluhan buku pantun. Buku yang diterbitkan sudah 32 buku. Judulnya macam-macam, seperti korupsi, poligami, selamat datang, pantn gurauan di bulan Ramadhan, panton gurau senda mabok kepayang dan lainnya. Buku pantun dibawanya kemana-mana, termasuk kalau ada acara seminar. Tak heran banyak orang yang tertarik. Tawaran membuat buku pantun tak hanya datang dari Kepri, tapi juga dari Jakarta. Termasuk juga dari Sik, Riau yang memintanya mengembangkan pantun di sana. Ia tolak karena hanya ingin mengembangkan pantun di Belakangpadang (Batam), kampung kelahirannya.

Menulis pantun baginya juga melepas uneg-uneg dikepalanya. Sebagai warga tempatan, ia miris warga asli Melayu banyak terpinggirkan di Batam. Orang tempatan kini tinggal dipelosok-pelosok dan terpinggirkan secara ekonomi, pendidikan dan lainnya. “Pendatang banyak mengusai. Orang tempatan tak berperan. Melalui pantun saya bisa menumpahkan uneg-uneg soal kondisi Batam saat ini,”katanya.

Sosok Syamsinar Azhar alias Hj Unai dengan pantun-pantunnya ternyata juga diketahui sastrawan Jamal D Rahman. Dalam catatan kebudayaan yang ditulis bulan April 2014, Jamal menulis pantun karya Hj Unai. Bunyinya:

Pokok lada pokok pepaya

Ditanam orang sama sejajar

Kalau ada orang berjaya

Baiknya kita ikut belajar.

Hj Unai disebut Jamal, pemantun cekatan asal Kepri. Pantun yang ditulis Unai mengambarkan hubungan manusia dan alam. Apa pun isi, pesan, atau tema yang disampaikan pantun, sampiran seringkali berbicara tentang alam. Isi pantun boleh nasihat agama atau pelipur lara, namun sampiran tetaplah tentang alam. Pantun boleh berbicara tentang cinta atau bahkan sekadar pantun jenaka, namun sampiran nyaris tidak bisa tidak tetaplah tentang alam. Pantun boleh menasihati orang untuk belajar pada orang berjaya, namun sampiran tetaplah tentang pokok lada. Dengan demikian, alam merupakan pusat “kesadaran” sampiran dalam pantun.

Sementara itu, isi pantun pastilah berkaitan dengan manusia. Ia tidak lain tidak bukan berbicara tentang hidup-mati manusia, pandangan, nilai, norma, akhlak, nasihat, dan lain sebagainya. Pendek kata, isi selalu mengemukakan suatu gagasan tentang manusia dan ditujukan kepada manusia itu sendiri. Dirumuskan dengan cara lain, manusia merupakan pusat “kesadaran” isi pantun. Tradisi pantun kata diwariskan dalam berbagai bentuk dan cara. Pantun diajarkan, dibacakan, dilombakan, dinyanyikan, diciptakan, dan lain sebagainya.

Di Batam sendiri telah ada wadah persatuan pemantun. Rencana dibentuknya wadah ini berawal ketika dilaksanakan Tarung Pantun I Piala Senator Hardi Hood pada tahun 2012 lalu. Waktu itu, para pemantun Batam berharap ada wadah yang bisa mempersatukan mereka dalam menjaga tradisi pantun di masyarakat Batam. Munculnya wadah pemantun difasilitasi Batam Bisa Production, salah satu lembaga yang giat menggelar pagelaran kebudayaan Melayu di Batam.

Said Abdullah Dahlawi dari Batam Bisa Production menilai, dengan adanya wadah pemantun Batam diharapkan bisa mengembangkan seni pantun kepada generasi muda yang dinilai berpotensi selama ini dan mengasah kemampuan mereka dalam menurunkan seni pantun kepada para generasi muda di Batam. Pantun selama ini terlihat sangat berkembang di masyarakat, sebab di dalam kegiatan masyarakat apapun di Batam selalu ada pantun. Para pemantun di Batam cukup kewalahan menghadapi undangan masyarakat, khususnya acara pernikahan. Dalam satu hari, pemantun banyak orderan diundang untuk membacakan pantun dalam berbagai acara.(dedi.a).