SOEMAN HS : TOKOH SASTRA & PENDIDIKAN YANG TERLUPAKAN

0
8375

Siapa itu Soeman Hs? mungkin nama ini belum familiar bila dibandingkan dengan nama-nama sastrawan lainnya. Ketidaktahuan masyarakat tentang sosok Soeman Hs dinilai wajar, karena nama Soeman Hs. hanya dikenal oleh mereka yang menggeluti dunia sastra. Padahal sosok ini bukan saja sebagai sastrawan, melainkan juga sebagai pejuang dan pendidik. Soeman Hs merupakan salah satu tokoh generasi tua di Riau.
Generasi muda di Kota Pekanbaru misalnya, ketika ditanya mengenai pengetahuannya tentang sosok Soeman Hs. banyak yang tidak mengetahuinya, sebagian besar mereka hanya tahu nama Soeman Hs. adalah nama Gedung Perpustakaan Wilayah Provinsi Riau. Memang benar, nama Soeman Hs. sudah diabadikan sebagai nama Gedung Perpustakaan Wilayah Provinsi Riau di Kota Pekanbaru. Sungguh sangat disesalkan, banyak generasi muda Riau khususnya Pekanbaru tidak mengetahui latar belakang (riwayat) Soeman Hs. Soeman Hs adalah tokoh penting sastra Indonesia modern. Dia dianggap penancap tonggak sejarah cerita pendek, meski tetap masih menjadi perdebatan. Sayangnya, banyak generasi sekarang yang tidak mengenalnya, juga karya-karyanya.
Sebagai upaya untuk mengenalkan kembali sosok Soeman Hs kepada generasi muda, maka dibuatlah tulisan ini dengan harapan dapat menambah wawasan mengenai tokoh-tokoh daerah setempat yang mempunyai peran sangat penting di dunia pendidikan di Riau.
Soeman Hs adalah sosok yang lengkap dan unik. Kecintaannya kepada budaya Melayu bukan hanya kata-kata di bibir saja, tetapi dibuktikan dalam kehidupan keseharian dan dalam karya-karyanya. Soeman bahkan menyingkat marga yang ada di belakang namanya, yakni Hasibuan, menjadi Hs. Dia pernah menyindir salah seorang pentolan TNI yang lolos dari penculikan saat peristiwa G 30 S/PKI tahun, 1965, Abdul Haris Nasution. “Jika AH Nasution menyingkat nama aslinya, yang saya singkat adalah marga saya,” katanya setengah bergurau. Dia mengaku lebih Melayu dari orang Melayu sendiri, padahal dia lahir dari keluarga Batak di Tapanuli Selatan
Soeman Hs. terlahir dengan nama Soeman Hasibuan, kemudian disingkat menjadi Soeman Hs. Ia merupakan anak keenam dari tujuh bersaudara, yang lahir pada tahun 1904 di daerah Tapanuli Selatan, Sumatra Utara. Ayahnya bernama Wahid Hasibuan, keturunan Raja Mandailing yang berasal dari Tapanuli Selatan. Sementara itu, ibunya bernama Turumun Lubis. Setelah menikah, kedua orang tua Soeman Hs. Meninggalkan Tapanuli menuju ke Bengkaslis, Riau dan menetap disana. Ditempat ini, ayah Soeman Hs menjadi pengurus masjid sehingga namanya terkenal dengan sebutan Lebai Wahid. Di samping itu, Wahid menjadi petani dan mengajar mengaji.
Soeman Hs. Menenpuh pendidikan dasarnya di Sekolah Melayu (setingkat Sekolah Rakyat) di Bengkalis dan lulus pada 1918. Pada masa pemerintahan Belanda, dia bersekolah di Normaal Cursus (setingkat SMP) di Medan pada tahun 1919. Di tempat itu, Soeman Hs. belajar sambil mengajar. Pada tahun 1920 Soeman Hs. terpilih untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah guru di Normaal School (setingkat SMA) di Langsa, Aceh dan tamat pada tahun 1923. Setamat dari Normaal School, ia diangkat menjadi guru Hollands Indlandsche School (HIS) di Siak Sri Indrapura hingga tahun 1930.
Pada tahun 1930-1942, ia menjadi Kepala di Sekolah Bumi Melayu di Pasirpengrayan. Ketika masa pemerintahan Jepang (1942), ia menjadi Penilik Sekolah (Shinaku). Kemudian, ia menjadi anggota Sagikai Giin (semacam DPRD) pada tahun 1943. Ia juga pernah menjadi anggota Komite Nasional Indonesia (KNI) di Rokan Kanan/Kiri, anggota Komando Pangkalan Gerilya (KPG), Penilik Sekolah merangkap Kepala Jawatan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Pekanbaru, anggota Badan Pemerintah Tingkat I Riau (1960-1966), anggota DPRD Riau (1966-1968), serta Ketua Umum Yayasan Lembaga Pendidikan Islam (YLPI). Soeman Hs. meninggal dunia pada tanggal 8 Mei 1999 di kediamannya di Jalan Tangkubanperahu, Pekanbaru, Riau di usia 95 tahun.
Menjelang akhir hayatnya, dia sering mengeluh dan menyesali, mengapa roman-romannya tak lagi dicetak, sehingga banyak generasi sekarang yang tidak mengenal karya-karyanya itu. Menurut Fakhrunnas maupun Abel Tasman, sudah semestinya karya-karya Soeman menjadi bacaan wajib anak-anak sekolah, khususnya di Riau. “Tetapi hingga kini, jangankan siswa, banyak guru bahasa dan sastra yang malah belum pernah membaca karya-karya Soeman. Ini sangat menyedihkan,” kata Fakhrunnas dan Abel senada. Padahal, sejarah sastra Indonesia mencatat, Soeman adalah salah satu satrawan terkemuka Indonesia asal Riau yang menjadi salah seorang penancap pancang cerita spionase dan cerita pendek, dalam sastra modern Indonesia. Sayang memang, generasi sekarang banyak yang tak mengenalnya lagi
Selain sebagai seoramng sastrawan, Soeman Hs. dikenal sebagai seorang tokoh pendidikan. Kiprahnya dalam memperjuangkan dunia pendidikan, khususnya di Riau, tidak diragukan lagi. Kiprah Soeman Hs. di dunia pendidikan mulai terlihat saat ia mengabdi sebagai guru di Siak Sri Indrapura. Perjuangannya di dunia pendidikan tidak berjalan mulus karena ia selalu bertentangan dengan Pemerintah Hindia Belanda. Karena itu, pada tahun 1930 Soeman Hs. dibuang ke Pasirpengrayan. Di sana, Soeman Hs. menjadi Kepala di Sekolah Bumi Melayu. Kemudian pada tahun 1942 ia diangkat menjadi Penilik Sekolah (Shinaku).
Setelah Indonesia merdeka, Soeman Hs. pindah ke Pekanbaru. Di Pekanbaru Soeman Hs semakin dikenal di dunia pendidikan. Pada tahun 1954, ia mendirikan SMA Setia Dharma, yang merupakan SMA pertama di Riau. Tidak lama setelah sekolah itu berdiri, Menteri Pendidikan dan Perkembangan Budaya saat itu dijabat oleh Muhammad Yamin datang berkunjung dan menyampaikan pidato, selesai Yamin berpidato, Soeman Hs naik ke panggung untuk menyampaikan pidato. Isi pidato Soeman Hs. sungguh mengejutkan Yamin, Soeman mengatakan bahwa masyarakat Riau hanya dianggap sebagai “anak tiri” oleh pemerintah pusat. Salah satu alasan yang Soeman lontarkan saat itu adalah di Riau belum ada satu pun SMA negeri. Hal ini berbeda dengan si Sumatra Utara, aceh, atau daerah lain. Dalam kesempatan itu, Soeman mengajukan permohonan kepada Yamin agar bersedia memberikan guru pemerintah (negeri) ke SMA Setia Dharma.pernyataan tersebut Soeman lontarkan karena ia merasa miris pendidikan di Riau yang sangat tertinggal. Meskipun Indonesia sudah merdeka, namun rIau tidak memiliki SMA negeri.
Setelah mendengar pidato Soeman, Yamin merasa tersinggung. Ia tidak mengatakan sepatah kata pun hingga ia kembali ke Jakarta. Yamin kemudian mengirim surat kepada Gubernur Sumatra Tengah. Dalam surat itu, Yamin mengungkapkan bahwa sebagai pegawai pemerintah, tidak semestinya Soeman menggunakan istilah “anak tiri”. Yamin meminta Ruslan menyampaikan hal itu kepada Soeman. Meskipun Yamin marah, keinginan Soeman untuk melihat masyarakat Riau memiliki sekolah negeri terkabul. Yamin membantu pemerintah daerah mendirikan SMA negeri pertama di Riau. Kemudian, Soeman Hs. ikut mengajar di SMA negeri tersebut karena sekolah itu kekurangan guru, sambil ia tetap mengajar SMA Setia Dharma.
Pada tahun 1961, tujuh tahun setelah mendirikan SMA Setia Dharma, Soeman Hs. mendirikan universitas pertama di Riau yaitu Universitas Islam Riau (UIR). Tidak lama setelah UIR berdiri, pemerintah Riau mendirikan Universitas Riau (UNRI). Soeman Hs. kemudian mendirikan Yayasan Lembaga Pendidikan Islam (YLPI) pada tahun 1963 dan menjabat sebagai Ketua Umumnya. YLPI merupakan sebuah yayasan yang mengelola berbagai lembaga pendidikan, seperti TK, SD, SMP, dan universitas (Universitas Islam Riau). Mengingat jasanya yang begitu besar terhadap dunia pendidikan, pada tanggal 29 Agustus 1981, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan memberikan anugerah (piagam penghargaan) kepada Soeman Hs.
Kegemaran Soeman Hs. terhadap dunia sastra dimulai sejak kanak-kanak, tepatnya sejak masuk Sekolah Melayu. Sejak saat itu, Soeman mempunyai kebiasaan ikut nimbrung percakapan ayahnya dengan kaum saudagar yang menceritakan kehidupan mereka di Singapura. Dari sinilah ia banyak berimajinasi, dan kemudian melahirkan beberapa cerita. Inspirasi datang dari kebiasaannya membaca buku dan berlama-lama di perpustakaan milik pemerintah Belanda. Dua buku yang menjadi favoritnya saat itu adalah Siti Nurbaya karya Marah Rusli dan Teman Duduk karya M. Kasim.
Kepengarangan Soeman Hs. muncul berkat dorongan M. Kasim, gurunya. M. Kasim sering menceritakan pengalamannya dalam menulis sehingga memunculkan keinginan Soeman untuk menjadi pengarang. Soeman dikenal sebagai sastrawan yang memfokuskan tulisannya pada jenis cerita detektif. Pada zamannya, ia dikenal sebagai pengarang yang selalu menggunakan bahasa yang segar dan penuh humor. Pengalaman yang sangat membekas dalam diri Soeman adalah ketika ia dibuang ke Pasirpengrayan. Saat di Pasirpengrayan itulah Soeman melihat bahwa adat Melayu begitu merendahkan kaum perempuan, yang kemudian memberinya inspirasi untuk menulis Kasih Tak Terlarai (1930) dan Mencari Pencuri Anak Perawan (1932).
Soeman pernah menjelaskan alasannya memakai nama asing di dalam setiap novelnya dan alasan tentang novel-novelnya yang selalu bercorak detektif. Menurutnya, karya yang ia tulis selalu berusaha mendobrak kekolotan adat istiadat Melayu agar adat itu lebih longgar dan tidak kaku. Untuk menggambarkan hal itu, Soeman Hs. memilih tokoh orang asing agar lebih diterima jika memberontak adat. Karya-karya Soeman lainnya adalah Percobaan Setia (1931), Kasih Tersesat (1932), Kawan Bergelut (kumpulan cerpen, 1938), dan Tebusan darah (1939). Karya-karya Soeman tidak hanya berbentuk novel dan cerita pendek. Soeman juga menulis puisi yang dimuat di majalah Pandji Poetaka dan Poedjangga baroe. Pada tahun 1993, novel Mencari Pencuri Anak Perawan diangkat ke layar kaca dalam bentuk sinetron.
Pada tahun 192, Soeman Hs. diangkat menjadi guru di HIS Siak Sri Indrapura. Tujuh tahun kemudian, seorang guru dari Jawa memperdengarkan lagu Indonesia Raya ditempat mengajarnya. Soeman Hs sangat menyukai lagu itu. Lagu Indonesia Raya itulah yang membakar semangat Soeman Hs. Rasa nasionalismenya pun bangkit. Dengan berpindah-pindah tempat setiap malam, Soeman bersama guru dari Jawa mengdakan pertemuan dengan penduduk, tetapi Belanda mengendusnya. Pada tahun 1930, Soeman pun dibuang pemerintah Hindia Belanda ke Pasirpengarayaan karena tertangkap basah sedang menyanyikan lagu Indonesia Raya dirumahnya.
Pada masa pemerintahan Jepang, Soeman Hs. dan beberapa rekannya mengajak masyarakat untuk melawan pemerintah. Caranya, dengan mengimbau masyarakatagar tidak menyerahkan hasil ladang kepada pemerintah Jepang. Soeman Hs. menilai kebijakan itu tidak masuk akal. Lebih-lebih jika mengingat hasil ladang masyarakat yang tidak seberapa besar. Soeman Hs. dan beberapa rekannya meminta masyarakat untuk menyimpan sebagian hasil padi mereka di rumah dan sebagian lagi di ladang. Tujuannya, jika tentara Jepang berhasil merampas sebagian hasil ladang rakyat, itu sebatas pada hasil ladang yang disimpan di rumah karena sisanya masih disimpan di ladang. Dengan demikian, rakyat diharapkan tidak akan didera kelaparan.
Ajakan Soeman Hs. dan rekan-rekannya tersebut membuat pemerintah Jepang geram. Soeman Hs. hampir dijatuhi hukuman mati. Suatu hari, Soeman Hs. didatangi beberapa anggota polisi militer Jepang dan diajak berburu dihutan. Namun, ajakan berburu itu urung dilaksanakan karena hujan deras turun selama dua hari. Padahal ajakan berburu tersebut tidak lain merupakan siasat licik tentara Jepang karena tujuan utamanya adalah membunuh Soeman Hs. di hutan. Soeman Hs. pun lolos dari upaya pembunuhan. Setelah Jepang menyerah kepada sekutu pada tahun 1945, Soeman Hs. tidak berhenti berjuang. Bahkan, pada masa Agresi Militer Belanda II (1948), Soeman Hs. menjabat sebagai Komandan Pangakalan Gerilya, sekaligus merangkap Wedana Rokan Kanan.
Menurut Fakrunnas MA Jabbar, kekuatan seorang Soeman Hs adalah lokalitas Melayu yang sangat kental dalam karya-karyanya, dan penerjemahan dalam kehidupannya sehari-hari. Lokalitas inilah yang menjadi tema utama adalam Konggres Cerpen Indonesia di Pekanbaru, November 2005 lalu. Ketika itu, banyak pembicara seperti Budi Darma, Maman S Mahayana, Melanie Budianta dan yang lainnya, menganggap Soeman Hs memiliki kekuatan dalam karyanya karena konsistensinya dalam membawa aroma lokalitas Melayu dalam semua karyanya. Nyaris tak ada jejak budaya Batak dalam karya-karya Soeman Hs, juga dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan seumur hidupnya, Soeman Hs tidak pernah pulang ke kampung halaman keluarganya di Tapanuli Selatan.
Menurut Fakhrunnas, tidak seperti AA Navis yang masih tetap berkarya sampai akhir hayatnya, masa aktif kepengarangan Soeman hanya berlangsung dalam waktu 20 tahun, yakni tahun 1925-1945. Sementara menurut Abel Tasman, meski dalam menulis karyanya Soeman Hs masih menggunakan bahasa Melayu lama yang cenderung membosankan, namun pandangannya tentang bahasa telah jauh berbeda dari pengarang Melayu seelumnya, dengan salah satu cirinya adalah lebih bebas berekspresi menggunakan bahasa. Soeman Hs juga dianggap sebagai pelopor penulisan cerita detektif berbahasa Indonesia modern, juga pelopor cerita humor. Sebelumnya, di Indonesia memang banyak beredar cerita-cerita detektif dan petualangan seperti Robin Hood dan Oliver Twist yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, sementara cerita detektif asli berbahasa Indonesia belum ada ketika itu. Roman Mencari Pencuri Anak Perawan, adalah cerita detektif Soeman Hs yang paling terkenal. Mengutip Pamusuk Eneste, Abel juga menjelaskan bahwa Soeman Hs harus dianggap sebagai salah seorang pemula penulisan cerpen dalam kesusasteraan modern Indonesia di samping “guru”-nya, Muhammad Kasim.
“Karya-karya Soeman Hs menyeruak dan memberi warna tersendiri dalam sastra Indonesia saat itu yang didominasi karya-karya spionase terjemahan, dan model roman percintaan dari Sumatera Barat seperti Siti Nurbaya, Salah Asuhan dan sebagainya itu,” kata Abel Tasman. Ada polemik yang cukup hangat ketika roman Kasih Tak Terlerai diterbitkan oleh Balai Pustaka (1930). Dipaparkan Abel, ketika itu staf Balai Pustaka banyak orang Sumatera Barat (Minangkabau) yang mungkin masih asing dengan kata “terlerai” karena kata tersebut tidak ada dalam bahasa Minangkabau. Akhirnya, kata “terlerai” diganti menjadi “terlarai” yang justru tidak ada dalam bahasa Melayu. Hingga cetakan terakhir, judul buku tersebut masih Kasih Tak Terlerai. Menurut Abel, kesalahan tersebut semestinya diperbaiki. “Tetapi tetap tidak ada perbaikan yang dilakukan oleh Balai Pustaka, meskipun kata “lerai” sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia,” kata Abel.
Kini, setelah Soeman Hs tiada, namanya diabadikan sebagai nama Gedung Perpustakaan Propinsi Riau Soeman Hs. Gedung Perpustakaan Soeman Hs bisa jadi merupakan gedung perpustakaan termegah se-Indonesia, selain itu gedung perpustakaan Soeman Hs. Juga terkesan mewah, tidak kalah dengan bangunan mall di Jakarta. Desain gedungnya terinspirasi dari bentuk rehal yang biasa digunakan sebagai alas untuk membaca Alquran atau buku-buku lainnya. Sepintas juga terlihat seperti bentuk sebuah buku terbuka yang sedang dibaca. Perpustakaan ini dibangun oleh pemerintah Provinsi Riau. Perpustakaan ini mempunyai 6 lantai guna memenuhi fasilitas publik berupa perpustakaan daerah, yang pada saat itu di Riau belum memiliki gedung yang representatif. Selain menjadi ruang baca, perpustakaan ini juga sekaligus menjadi ruang publik bagi masyarakat. Pada tahun 2008, Wakil Presiden Jusuf Kalla datang untuk meninjau dan meresmikan Perpustakaan Soeman Hs.