Oleh:
M. Ali Surakhman
(NGO-For The Kerinci Culture)
Abstrak
Tradisi lisan tidak sekadar merepresentasikan aktivitas sosio kultural masyarakat sebagai cerminan kesadaran kosmik mereka, tetapi juga sebagai simbolisasi kesadaran spiritual utama masyarakat. Tulisan ini menyajikan dan membuktikan Asyeik sebagai tradisi ritual religius sentral masyarakat Kerinci, yang di dalamnya melampaui dimensi sosial, bahkan lebih menegaskan dimensi yang lebih luas, dalam, dan beragam. Dengan mengunakan metode deskriptif kualitatif, dan pendekatan arkeologi. untuk menggambarkan secara sistematik dan akurat fakta dan karakteristik dengan menekankan pada deskripsi alami yang menggunakan konsep-konsep hubungan satu sama lain, sehingga dapat menggambarkan mitologi dan kosmologi Proto Melayu, yang menyimpan pengetahuan kosmologi histori masa lampau.
Kata Kunci : Tradisi Lisan, Asyeik, Kebudayaan Dongson dan Bacson-Hoa
Oral tradition is not merely represent the activity of socio cultural community as a reflection of their cosmic consciousness, but also as symbolizing a major spiritual awareness society. This paper presents and proved Asyeik as the Central religious ritual traditions society Kerinci, which goes beyond the social dimension, even more affirmed a broader dimension, in, and diverse. By using qualitative descriptive method, and archaeological approach. to describe systematically and accurate facts and characteristics with emphasis on natural description using the concepts of relationship to each other, so as to illustrate the mythology and Cosmology of the Proto Malays, who saves the past history cosmological knowledge.
Key words: oral tradition, Dongson culture, culture and Asyeik Bacson-Hoabinh.
PENDAHULUAN
Dataran tinggi Kerinci dapat dikatakan merupakan kawasan pedalaman yang jauh dari jalur perdagangan maritim. Selain itu juga bergunung-gunung dan berbukit-bukit dengan sungai-sungai bertebing terjal, sehingga menghambat mobilitas horisontal. Namun, ternyata kawasan tersebut tidak benar-benar terisolasi. Museum Nasional Jakarta mengumpulkan temuan lepas dari Kerinci berupa tiga buah benda keramik Cina dari dinasti Han (abad ke-1 – 3 M). Menurut Abu Ridho, ketiga benda keramik tersebut berupa bejana penjenazahan dari dinasti Han (abad 1 – 2 M), mangkuk sesaji dari dinasti Han (abad ke-1 – 3 M), dan guci tempat anggur bertutup dari dinasti Han (abad 1 – 2 M) (1979:105 – 118). Pengaruh kebudayaan Hindu-Budha pun hampir tidak terlihat di Kerinci dan Merangin. Hingga kini belum ditemukan situs-situs Hindu-Budha di kedua wilayah tersebut, tetapi di Kerinci ditemukan arca lepas berupa dua buah arca Boddhisattwa perunggu berukuran kecil (tinggi 16 cm) (Schnitger,1937:13).
Keramik Cina dari dinasti Sung (960 – 1270 M) banyak ditemukan di dataran tinggi Kerinci, dan daerah lembah kaki Gunung Raya . Temuan tersebut membuktikan bahwa ketika di dataran rendah Jambi berkembang pesat kerajaan Malayu bercorak Budis, di dataran tinggi Jambi bertahan kehidupan bercorak tradisi megalitik. Bahkan tradisi megalitik di dataran tinggi Kerinci bertahan hingga kedatangan Islam. Tradisi megalitik di kawasan tersebut tampaknya baru berakhir pada abad ke-18,
Masyarakat bercorak tradisi megalitik di dataran tinggi Kerinci mungkin sekali menghuni lahan di sekitar batu monolit yang mempunyai nama lokal batu gong, batu bedil atau batu larung. Bukti-bukti hunian di sekitar batu megalitik ditemukan dalam ekskavasi Bagyo Prasetyo tahun 1994 di Bukit Talang Pulai, Kerinci . Tinggalan artefak menonjol di situs megalit adalah pecahan tembikar yang merupakan bukti pemukiman.
Kehidupan bercorak megalitik di dataran tinggi Kerinci telah mengenal pula penguburan dengan wadah tempayan tanah liat sebagaimana di dataran tinggi Sumatera Selatan (lihat Soeroso,1998). Di desa Renah Kemumu, Kecamatan Jangkat, Kabupaten Merangin, ditemukan tinggalan megalit di Bukit Batu Larung, tetapi juga puluhan tempayan tanah liat insitu di suatu tempat yang berjarak sekitar 1 kilometer dari megalit. Keadaan tinggalan tempayan-tempayan tersebut tidak utuh karena pengaruh erosi dan aktivitas manusia sekarang yang menghuni situs tersebut. Melalui analisis C-14 yang dilakukan di Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, arang yang ditemukan dalam tempayan diketahui berumur 810 ± 120 BP (tahun 1020 — 1260 M). Sementara itu, situs Bukit Batu Larung berumur 970 ± 140 BP (tahun 840 — 1120).
Hasil awal tradisi melagitik yang belum mengenal tulisan, yang di kenal juga dengan tradisi lisan ini salah satunya upacara ritual Asyeik. Sebagian masyarakat menyebutnya dengan upacara ritual suku Kerinci, upacara ritual ini merupakan upacara pemanggilan roh-roh nenek moyang, dengan mengunakan obyek-obyek tertentu ( pusaka, tumbuh-tumbuhan, makanan, batu-batuan ) dengan tujuan untuk menolak bala dan menuntun anak cucu (masyarakat Kerinci) kearah kebenaran dan kebaikan.
Tradisi lisan merupakan identitas komunitas dan salah satu sumber penting dalam pembentukan karakter bangsa melalui nilai-nilai luhur yang diwariskannya. Tradisi lisan juga dapat menjadi pintu masuk guna memahami permasalahan yang dihadapi masyarakat pendukung tradisi tersebut. Di dalam tradisi itu, kita dapat mengenal kehidupan komunitas suatu masyarakat mulai dari kearifan lokal, sistem nilai, pengetahuan tradisional, sejarah, hukum adat, pengobatan, sistem kepercayaan dan religi.
KERANGKA TEORI
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah : Untuk mengetahui awal latar belakang pelaksanaan upacara ritual Asyiek yang dilaksanakan oleh masyarakat Kerinci dan bagaimana tradisi lisan ini lahir di tengah masyarakat Proto Melayu pengunungan, dengan data dan fakta yang ada dilapangan tidak mungkin “tidak” tradisi lisan ini sebagai “ibu” dari tradisi lisan lain yang ada di pulau Sumatera.
Dengan sasaran penelitian : pembinaan dan pengembangan pembangunan kesenian dan kebudayaan daerah dalam upaya mempertahankan dan mempromosikan aset seni budaya anak bangsa, penguatan basis data dan sumber informasi tentang upacara ritual Asyiek, serta referensi tentang nilai tradisi, seni dan nilai budaya bangsa, peningkatan inventarisasi, pemberdayaan komunitas pemerhati tradisi lisan, dan revitalisasi nilai-nilai tradisi lisan, seni dan budaya.
Acuan dalam jurnal ini adalah ,dimana budaya adalah hasil cipta, karya, dan karsa manusia. Dengan definisi seperti itu maka kebudayaan mempunyai nilai pragmatis karena sebelum manusia mencipta yang terlebih dahulu ada adalah tujuan dari penciptaan itu sendiri. Dalam kehidupan, antara manusia dan kebudayaan terjalin hubungan yang sangat erat. Teori fungsi kebudayaan yang diungkapkan oleh Malinowski memberikan pemahaman kepada kita bahwa setiap kebudayaan harus memberikan manfaat untuk masyarakatnya. Dengan kata lain, pandangan fungsional atas kebudayaan menekankan bahwa setiap pola tingkah-laku, setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bagian dari kebudayaan suatu masyarakat.
Disini dapat dijelaskan bahwa teori fungsionalisme melihat religi dan agama sebagai suatu bentuk kebudayaan yang istimewa, yang pengaruhnya meresapi tingkah laku manusia penganutnya baik lahiriyah maupun batiniah sehingga sistim sosialnya untuk sebagian terdiri dari kaidah yang dibentuk oleh agama (Hendropuspito ,( 1983: 27-28).
Upacara (ritual, ceremony) dalam kamus istilah antropologi didefinisikan sebagai sistem aktivitas atau rangkaian tindakan yang ditata oleh adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat, yang berhubungan dengan berbagai macam peristiwa yang biasanya terjadi dalam masyarakat yang bersangkutan (Koentjaraningrat dkk. 1984:19, yang dikutip Wahyono 2008: 359)
Untuk melihat awal proses tradisi lisan dalam ritual Asyeik sebagai tradisi lisan peninggalan kebudayaan Dongson dan Bacson-Hoabinh, kita mengacu pada suatu rumpun bahasa atau kelompok linguistik yang tersebar luas di tenggara dan timur Asia sampai Pasifik. yaitu Malayu-Polinesia, dengan dukungan hasil rekonstruksi perspektif linguistik (H. Kern 1889, R. Blust 1995), arkeologi (Heine Geldern 1932; Solheim 1974; Bellwood, 1997), paleoantropologi (Jacob 2003), dan Linguistik-Arkeologi (Blust 1976). Demikian pula halnya dengan rekonstruksi prasejarah Asia Tenggara didasarkan pada studi etnografi, linguistik, dan arkeologi.
Tradisi lisan sebagai sumber sejarah, Kuntowijoyo menyimpulkan bahwa sejarah lisan merupakan tuntutan metodologi historiografi modern sekaligus metode mutakhir dalam proses penulisan sejarah, kemudian di tegaskan oleh Paul Thompson telah lama menganjurkan sejarah lisan tak sekedar dimengerti sebagai pengumpulan sumber melalui wawancara. Sebab sejarah lisan sanggup menempatkan sejarah menjadi lebih manusiawi sehingga sejarah menjadi produksi dan kepemilikan setiap kelas sosial dalam Oral Tradition: A Study in Historical Methodology (hlm. xxvi).
Untuk membuktikan itu kita mengunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Metode deskriptif kualitatif adalah suatu pendekatan yang digunakan untuk menggambarkan secara sistematik dan akurat fakta dan karakteristik mengenai masyarakat, bidang tertentu dengan menekankan pada deskripsi alami yang menggunakan konsep-konsep dalam hubungannya satu sama lain. Dan metode kajian pustaka ari penelitian ilmiah yang sudah ada.
Ruang lingkup pembahasan dibatasi tradisi lisan pada upacara ritual asyeik secara umum yang ada di Kerinci dan hubungan awalnya pada tinggalan arkeologi yang tersebar di daerah Kerinci.
PEMBAHASAN
Kebudayaan Bacson-Hoabinh diperkirakan berasal dari tahun 10.000 SM-4000 SM, kira-kira tahun 7000 SM. Kebudayaan ini berlangsung pada kala Holosen. Awalnya masyarakat Bacson-Hoabinh hanya menggunakan alat dari gerabah yang sederhana berupa serpihan-serpihan batu tetapi pada tahun 600 SM mengalami perubahan dalam bentuk batu-batu yang menyerupai kapak yang berfungsi sebagai alat pemotong. Ciri khas alat-alat batu kebudayaan Bacson-Hoabinh adalah penyerpihan pada satu atau dua sisi permukaan batu kali yang berukuran ± 1 kepalan dan seringkali seluruh tepiannya menjadi bagian yang tajam. Hasil penyerpihannya itu menunjukkan berbagai bentuk seperti lonjong, segi empat, segitiga dan beberapa di antaranya ada yang mempunyai bentuk berpinggang. Alat-alat dari tulang dan sisa-sisa tulang belulang manusia dikuburkan dalam posisi terlipat serta ditaburi zat warna merah. Kebudayaan Bacson-Hoabinh ini diperkirakan berkembang pada zaman Mesolitikum.
Pusat kebudayaan zaman Mesolitikum di Asia berada di dua tempat yaitu di Bacson dan Hoabinh. Kedua tempat tersebut berada di wilayah Tonkin di Indocina (Vietnam). Istilah Bacson Hoabinh pertama kali digunakan oleh arkeolog Prancis yang bernama Madeleine Colani pada tahun 1920-an. Nama tersebut untuk menunjukkan tempat pembuatan alat-alat batu yang khas dengan ciri dipangkas pada satu atau dua sisi permukaannya.
Menurut C.F. Gorman dalam bukunya The Hoabinhian and after : Subsistance patterns in South East Asia during the latest Pleistocene and Early Recent Periods (1971) menyatakan bahwa penemuan alat-alat dari batu paling banyak ditemukan dalam penggalian di pegunungan batu kapur di daerah Vietnam bagian utara, yaitu di daerah Bacson pegunungan Hoabinh.
Di samping alat-alat dari batu yang berhasil ditemukan, juga ditemukan alat-alat serpih, batu giling dari berbagai ukuran, alat-alat dari tulang dan sisa tulang belulang manusia yang dikubur dalam posisi terlipat serta ditaburi zat warna merah.
Sementara itu, di daerah Vietnam ditemukan tempat-tempat pembuatan alat-alat batu, sejenis alat batu dari kebudayaan Bacson-Hoabinh. Bahkan di Gua Xom Trai (dalam buku Pham Ly Huong ; Radiocarbon Dates of The Hoabinh Culture in Vietnam, 1994) ditemukan alat-alat batu yang sudah diasah pada sisi yang tajam. Alat-alat batu dari Goa Xom Trai tersebut diperkirakan berasal dari 18.000 tahun yang lalu, kemudian dalam perkembangannya alat-alat dari batu atau yang dikenal dengan kebudayaan Bacson-Hoabinh tersebar dan berhasil ditemukan hampir di seluruh daerah Asia Tenggara, baik darat maupun kepulauan, termasuk wilayah Indonesia.
Hasil-hasil Kebudayaan Bacson-Hoabinh di Indonesia adalah, kapak genggam, kapak genggam yang ditemukan di dalam bukit karang tersebut dinamakan dengan pebble atau kapak Sumatera (Sumatralith) sesuai dengan lokasi penemuannya yaitu di Kerinci pulau Sumatera, kapak dari tulang dan tanduk, di sekitar daerah Nganding dan Sidorejo dekat Ngawi, Madiun (Jawa Timur), Flakes adalah berupa alat alat kecil terbuat dari batu yang disebut dengan flakes atau alat serpih. Flakes selain terbuat dari batu biasa juga ada yang dibuat dari batu-batu indah berwarna seperti calsedon, dan Kjokkenmoddinger adalah bukit-bukit sampah kerang yang berdiameter sampai 100 meter dengan kedalaman 10 meter. Peninggalan ini ditemukan di Sumatra. Lapisan kerang tersebut diselang-selingi dengan tanah dan abu. Tempat penemuan bukit kerang ini pada daerah dengan ketinggian yang hampir sama dengan permukaan air laut sekarang dan pada kala Holosen daerah tersebut merupakan garis pantai.
Kebudayaan Bacson – Hoabinh yang terdiri dari pebble, kapak pendek serta alat-alat dari tulang masuk ke Indonesia melalui jalur barat. Sedangkan kebudayaan yang terdiri dari flakes masuk ke Indonesia melalui jalur timur. Pengaruh utama budaya Hoabihn terhadap perkembangan budaya masyarakat awal kepulauan Indonesia adalah berkaitan dengan tradisi pembuatan alat terbuat dari batu. Beberapa ciri pokok budaya Bacson-Hoabinh ini antara lain: Pembuatan alat kelengkapan hidup manusia yang terbuat dari batu. Batu yang dipakai untuk alat umumnya berasal dari batu kerakal sungai. Alat batu ini telah dikerjakan dengan teknik penyerpihan menyeluruh pada satu atau dua sisi batu. Hasil penyerpihan menunjukkan adanya keragaman bentuk. Ada yang berbentuk lonjong, segi empat, segi tiga dan beberapa diantaranya ada yang berbentuk berpinggang. Pengaruh budaya Hoabihn di Kepulauan Indonesia sebagian besar terdapat di daerah Sumatra. Hal ini lebih dikarenakan letaknya yang lebih dekat dengan tempat asal budaya ini.
Kebudayaan Dongson.
Sejarah awal kebudayaan Dongson adalah kebudayaan zaman Perunggu yang berkembang di Lembah Sông Hồng, Vietnam. Kebudayaan ini juga berkembang di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia dari sekitar 1000 SM sampai 1 SM. Kebudayaan Dongson ini berawal dari evolusi kebudayaan Austronesia. Asal usulnya sendiri telah dicari adalah bangsa Yue-tche yang merupakan orang-orang barbar yang muncul di barat daya China sekitar abad ke-8 SM. Kebudayaan Dongson secara keseluruhan dapat dinyatakan sebagai hasil karya kelompok bangsa Austronesia yang terutama menetap di pesisir Annam, yang berkembang antara abad ke-5 hingga abad ke-2 Sebelum Masehi. Kebudayaan ini sendiri mengambil nama situs Dongson di Tanh hoa.
Kebudayaan Dongson merupakan kebudayaan perunggu yang ada di Asia Tenggara. Daerah ini merupakan pusat kebudayaan perunggu di Asia Tenggara. Di daerah ini ditemukan segala macam alat-alat perunggu, alat-alat dari besi serta kuburan dari masa itu. Daerah ini merupakan tempat penyelidikan yang pertama. Diperkirakan kebudayaan ini berlangsung pada tahun 1500 SM-500 SM. Bertempat di kawasan Sungai Ma, Vietnam.
Kebudayaan Dongson diambil dari salah satu nama daerah di Tonkin. Kebudayaan perunggu di Asia Tenggara biasa dinamakan kebudayaan Dongson. Di daerah ini ditemukan bermacam-macam alat yang dibuat dari perunggu. Di daerah Tonkin itulah kebudayaan perunggu berasal. Pengolahan logam menunjukkan taraf kehidupan yang semakin maju, sudah ada pembagian kerja yang baik, masyarakatnya sudah teratur. Teknik peleburan logam merupakan teknik yang tinggi. Pendukung kebudayaan ini adalah bangsa Austronesia, juga pendukung kapak persegi.
Pengetahuan mengenai perkembangan kebudayaan logam ini mulai banyak dikenal setelah Payot mengadakan penggalian di sebuah kuburan Dongson (Vietnam) pada tahun 1924. Namun perlu diketahui bahwa benda-benda perunggu yang telah ada sebelum tahun 500 SM terdiri atas kapak corong (corong merupakan pangkal yang berongga untuk memasukkan tangkai atau pegangannya) dan ujung tombak, sabit bercorong, ujung tombak bertangkai, mata panah dan benda-benda kecil lainnya seperti pisau, kail, gelang dan lain-lain.
Kebudayaan Dongson mulai berkembang di Indochina pada masa peralihan dari periode Mesolitik dan Neolitik yang kemudian periode Megalitik. Pengaruh kebudayaan Dongson ini juga berkembang menuju Indonesia yang kemudian dikenal sebagai masa kebudayaan Perunggu sekitar 1000 SM sampai 1 SM.
Penemuan benda-benda dari kebudayaan Dongson sangat penting karena benda-benda logam yang ditemukan di wilayah Indonesia umumnya bercorak Dong Son, dan bukan mendapat pengaruh budaya logam dari India maupun Cina. Budaya perunggu bergaya Dongson tersebar luas di wilayah Asia Tenggara dan kepulauan Indonesia. Hal ini terlihat dari kesamaan corak hiasan dan bahan-bahan yang dipergunakannya. Misalnya nekara, menunjukkan pengaruh yang sangat kuat. Nekara dari tipe Heger 1 memiliki kesamaan dengan nekara yang paling bagus dan tertua di Vietnam. Benda-benda perunggu lainnya yang berhasil ditemukan di daerah Dongson serta beberapa kuburan seperti daerah Vie Khe, Lang Cha, Lang Var. Satu nekara yang ditemukan yang besar berisi 96 mata bajak perunggu bercorang. Dari penemuan itu terdapat alat-alat dari besi, meskipun jumlahnya sangat sedikit. Dari penemuan benda-benda budaya Dongson itu, diketahui cara pembuatannya dengan menggunakan teknik cetak lilin hilang yaitu dengan membuat bentuk benda dari lilin, kemudian lilin itu di balut dengan tanah liat dan dibakar hingga terdapat lubang pada tanah liat tersebut.
Budaya Dongson sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan budaya perunggu di Indonesia. Bahkan tidak kurang dari 56 nekara yang berhasil ditemukan di beberapa wilayah Indonesia dan terbanyak nekara ditemukan di Sumatera Kerinci , Jawa, Maluku Selatan.
Benda-benda arkeologi dari Dongson sangat beraneka ragam, karena mendapat berbagai macam pengaruh dan aliran. Hal tersebut nampak dari artefak-artefak kehidupan sehari-hari ataupun peralatan bersifat ritual yang sangat rumit sekali. Perunggu adalah bahan pilihan. Benda-benda seperti kapak dengan selongsong, ujung tombak, pisau belati, mata bajak, topangan berkaki tiga dengan bentuk yang kaya dan indah. Kemudian gerabah dan jambangan rumah tangga, mata timbangan dan kepala pemintal benang, perhiasan-perhiasan termasuk gelang dari tulang dan kerang, manik-manik dari kaca dan lain-lain. Semua benda tersebut atau hampir semuanya diberi hiasan. Bentuk geometri merupakan ciri dasar dari kesenian ini diantaranya berupa jalinan arsir-arsir, segitiga dan spiral yang tepinya dihiasi garis-garis yang bersinggungan. Dari motif-motif yang dijumpai pada nekara yang sering disebut-sebut sebagai nekara hujan, ditampilkan dukun-dukun atau syaman-syaman yang kadang-kadang menyamar sebagai binatang bertanduk, menunjukkan pengaruh China atau lebih jauhnya pengaruh masyarakat kawasan stepa. Jika bentuk ini disimbolkan sebagai perburuan, maka ada lagi simbol yang menunujukkan kegiatan pertanian yakni matahari dan katak (simbol air). Sebenarnya, nekara ini sendiri dikaitkan dengan siklus pertanian. Dengan mengandalkan pengaruh ghaibnya, nekara ini ditabuh untuk menimbulkan bunyi petir yang berkaitan dengan datangnya hujan.
Pada nekara-nekara tersebut, yang seringkali disimpan di dalam makam terlihat motif perahu yang dipenuhi orang yang berpakaian dan bertutup kepala dari bulu burung. Hal tersebut boleh jadi menggambarkan arwah orang yang sudah mati yang berlayar menuju surga yang terletak di suatu tempat di kaki langit sebelah timur lautan luas. Pada masyarakat lampau, jiwa sering disamakan dengan burung dan mungkin sejak periode itu hingga sekarang masih dilakukan kaum syaman yang pada masa kebudayaan Dongson merupakan pendeta-pendeta menyamar seperti burung agar dapat terbang ke kerajaan orang-orang mati untuk mendapatkan pengetahuan mengenai masa depan.
Lagi pula nekara-nekara tersebut sendiri didapatkan pada awal abad ke-19 masih digunakan untuk upacara ritual keagamaan. Sehingga bisa disimpulkan bahwa pada nekara tesebut digambarkan kehidupan orang-orang Dongson mulai perburuan, pertanian hingga kematian.
Banyaknya perlengkapan pemakaman tersebut menunjukkan ritual yang dilakukan masyarakat Dongson. Antara lain masalah jenazah yang dikelilingi semua benda-benda sehari-hari miliknya agar dapat hidup secara normal di alam baka. Belakangan sebagai upaya penghematan, yang ikut dikuburkan bersama jenazah adalah benda-benda berukuran kecil saja. Kemudia pada masa akhir kebudayaan Dongson, muncul bentuk ritual baru. Sebelumnya makamnya berbentuk peti mati sederhana dari kayu yang dikubur, sementara pada berikutnya yang dinamakan periode Lach-truong, yang mungkin diawali pada abad pertama sebelum Masehi, telah ditemukan makam dari batu bata yang berbentuk terowongan atau lebih tepatnya gua yang terbagi menjadi tiga kamar oleh tembok-tembok lengkung beratap. Semula perlengkapan ini dikait-kaitkan dengan pengaruh Yunani tentang kehidupan alam baka, meski sebenarnya menunjukkan pengaruh China yang terus-terus bertambah besar yang beranggapan bahwa arwah orang mati bersembunyi dalam gua-gua yang terdapat di lereng-lereng gunung suci, tempat bersemayam para arwah yang abadi.
Makam yang berbentuk terowongan itu boleh dikatakan tiruan dari gua alam gaib tersebut. Peletakan peti mati di kamar tengah, kemudian di ruangan bersebelahan ditumpuk sesajen sebagai makanan untuk arwah dan ruangan ketiga disediakan altar yang terdapat lampu-lampu yang dibawa atau dijaga oleh patung-patung terbuat dari perunggu. Secara sekilas terasa pengaruh Hellenisme yang menandai akhir kebudayaan Dongson.
Hubungan tradisi lisan dalam ritual Asyeik di Kerinci di mulai saat pertebaran bangsa Austronesia (MelayuTua) yang berlangsung pada zaman Prahistoria antara (10.000-2.000) tahun SM dengan ditemukan alat-alat Neolitikum. Alat-alat prahistoria yang sangat tua dan unik itu salah satunya ditemukan di dataran tinggi daerah Kerinci. Khusus mengenai alat serpihan obsidian, daerah Kerinci disebut menjadi inti dari kebudayaan alat serpih (flakes culture) termasuk dalam zaman Mesolitikum. Peninggalan bersejarah dari masa prahistoria di Kerinci sejenis menhir batu, keadaannya sangat unik berbentuk silindrik dengan posisi tergeletak di permukaan tanah. Posisi semacam ini belum pernah di temukan pada daerah lainnya di Indonesia, keadaan silindrik di Kerinci merupakan penyimpangan dari tradisi umum megalitik di Indonesia. Batu silindrik yang ada di Kerinci saat sekarang sebanyak tujuh buah, bermotifkan relief manusia kangkang, matahari, lingkaran aura dan sebagainya. Ada yang polos tanpa motif, secara kronologis berasal dari masa 12.000 tahun SM. Motif ini berhubungan erat dengan bentuk tarian dan alat yang di gunakan pada upacara ritual “Asyeik”.
Benda-benda yang berasal dari zaman perunggu yang di temukan di daerah Kerinci yaitu gelang, giring-giring, cakram, nekara dan sebuah bejana. Nekara perunggu Kerinci termasuk dalam kelompok Heger –1, menunjukan persamaan dengan temuan di Dongson dan Phom Penh. Sedangkan bejana perunggu memiliki motif persamaan dengan seni hias yang terdapat pada bangunan tradisional Kerinci, serta pada bangunan ibadah lainnya. Benda-benda perunggu ini dikatakan sebagai peninggalan zaman Paleometalik berasal dari 1.000-500 tahun SM.
Temuan tertua lain di daerah Kerinci berupa keramik kuno yang berasal dari masa pemerintahan Dinasti Han di Cina (Tahun 202 SM-221 Masehi). Adanya keramik Han di daerah Kerinci, memperkuat dugaan kita akan kemampuan penduduk prasejarah Kerinci dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan daratan Cina. Besar kemungkinan daerah Kerinci pada zaman itu sebagai pusat sebuah peradaban tertua di Sumatra, mengingat catatan yang di buat oleh K’ang-tai dan Wan-Chen dari dinasti wangsa Wu (222-280 SM), diterangkan sebuah kerajaan di Sumatra terdapat banyak gunung api dan di selatannya ada sebuah teluk bernama Wen.
Dari penggalian arkeologi di dataran tinggi Kerinci, merupakan salah satu sasaran penelitian arkeologi sejak tahun 1932 dengan perintisnya adalah A.N.J.Th a Th van der Hoop. Tinggalan menonjol di kawasan tersebut adalah alat obsidian dan megalit. Sejak tahun 2005 mulai ditemukan sejumlah situs kubur tempayan yang berasosiasi dengan tinggalan megalit, sehingga diperkirakan kedua unsur budaya tersebut hidup sezaman. Penelitian kubur tempayan selama ini mengungkapkan bahwa di dataran tinggi Kerinci berkembang tradisi penguburan dengan tempayan sebagaimana terdapat juga di berbagai situs arkeologi di Indonesia. Penelitian kubur tempayan juga mengungkapkan adanya pemberian bekal kubur yang menunjukkan kepercayaan adanya kehidupan setelah mati.
Penelitian kubur tempayan di Desa Muak, Kecamatan Batang Merangin, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi yang dilaksanakan pada bulan Juli 2007 merupakan salah satu rangkaian penelitian yang dilakukan sebelumnya yang bertujuan untuk merekonstruksi aspek-aspek kehidupan tradisi megalitik di dataran tinggi Jambi. Penelitian tersebut dipimpin oleh Drs. Tri Marhaeni SB dengan anggota inti Sondang M. Siregar, SS (arkeolog), Sigit Eko Prasetyo, S.Hum (arkeolog), dan Armadi, ST (pemetaan).
Ekskavasi di Desa Muak dilakukan di tiga tempat, yaitu dua situs kubur tempayan dan satu situs megalit. Di situs Ulu Muak dibuka satu lobang ekskavasi berukuran 2×2 meter. Di kotak tersebut ditemukan lima buah wadah tembikar yang bentuk dan ukurannya bervariasi serta kedalaman penemuannya berbeda. Temuan wadah yang dikenali tiga buah, yaitu satu buah periuk bertutup periuk, satu buah tempayan bertutup belanga, dan satu buah guci bertutup pasu. Dalam tempayan tidak ditemukan tinggalan arkeologis.
Ekskavasi kubur tempayan lainnya dilakukan di situs Dusun Baru Muak. Situs ini terletak sekitar 150 meter dari Ulu Muak. Di situs Dusun Bartu Muak dibuka empat kotak ekskavasi yang masing-masing berukuran 2×2 meter. Ekskavasi tersebut menemukan enam buah wadah tembikar yang diperkirakan semuannya berbentuk tempayan. Keadaannya retak dan pecah, sehingga tidak dapat dikenali bentuknya. Dalam tempayan tidak ditemukan tinggalan arkeologis. Dibanding dengan temuan di Ulu Muak, wadah tembikar dari situs ini lebih homogen bentuknya (mungkin semuanya tempayan) serta lebih besar ukurannya. Wadah tembikar yang dipergunakan sebagai wadah kubur di Ulu Muak pun berbeda bentuknya dengan yang ditemukanb di Lolo Gedang, sebuah situs kubur tempayan lain yang berada sekitar 2,3 km dari Ulu Muak.
Ekskavasi delapan buah kotak berukuran 2×2 meter dilakukan di situs Batu Patah, sekitar 500 meter dari Ulu Muak. Ekskavasi dimaksudkan untuk mengetahui lapisan budaya di sekitar megalit karena di permukaan situs telah ditemukan pecahan tembikar dari galian cangkul untuk menanam ubi jalar. Ternyata lapisan budaya dengan temuan menonjol pecahan wadah tembikar terbatas pada lapisan lempung coklat di atas lanau kuning. Kedalamannya dari permukaan tanah bervariasi antara 40–60 cm. Temuan lapisan budaya ini sekaligus membuktikan bahwa di sekitar megalit terdapat hunian yang diperkirakan sezaman karena pola demikian ditemukan pula di situs-situs di dataran tinggi Jambi lainnya. Perbedaannya dengan situs-situs lainnya di kawasan yang sama, yaitu keletakan antara megalit dan kubur tempayan di Muak lebih berdekatan (sementara ini 500 meter), sedangkan di tempat lain tidak kurang dari 1 km.
Dari pengalian arkeologi ini menegaskan tradisi lisan dalam ritual Asyeik sudah ada sejak zaman pra-aksara dimana zaman ketika manusia belum mengenal tulisan, ditandai dengan belum ditemukannya keterangan tertulis mengenai kehidupan manusia. Periode ini ditandai dengan cara hidup berburu dan mengambil bahan makanan yang tersedia di alam. Pada zaman pra-aksara pola hidup dan berpikir manusia sangat bergantung dengan alam. Tempat tinggal mereka berpindah-pindah berdasarkan ketersediaan sumber makanan. Zaman pra-aksara sering disebut juga dengan zaman nirleka. Nir artinya tanpa dan leka artinya tulisan.Zaman pra-aksara berakhir ketika masyarakatnya sudah mengenal tulisan.
Pembabakan masa pra-aksara Indonesia telah dimulai sejak 1920-an oleh beberapa peneliti asing seperti P.V. van Stein Callenfels, A.N.J. Th. van der Hoop, dan H.R. van Heekern. Pembabakan masa pra-aksara Indonesia didasarkan pada penemuan-penemuan alat-alat yang digunakan manusia pra-aksara yang tinggal di Kepulauan Nusantara. Para ahli arkeologi dan paleontologi membagi masa pra-aksara Indonesia ke dalam dua zaman, yaitu zaman batu dan zaman logam.
Upacara Asyeik suatu bentuk tarian primitif masyarakat Kerinci yang dilakukan pada kesempatan tertentu, yang mengandung unsur kerohanian, ini sangat menarik dalam penampilan sewaktu menari. Tari asyeik ini lebih tepat dikatakan “Upacara ritual asyeik” karena merupakan persembahan dengan menggunakan sesajian, sedangkan mantra yang dilakukan berirama beserta dengan gerak-gerik, dan dilakukan dengan sangat sederhana tapi penuh dengan penghayatan, yang dihubungkan dengan arti mantra yang diucapkan. Sejalan dengan perkembangan zaman dan masuknya Islam ke daerah Kerinci, upacara asyeik ini kemudian berasimilasi dengan kebudayaan Islam, dimana didalam mantra-mantranya dimasukkan pula nama-nama Nabi serta para sahabatnya.
Upacara asyeik beragam maksud dan tujuannya, seperti upacara asyeik minta kesuburan tanah, membuka lahan baru pertanian, selamat panen, minta obat, minta anak (bagi pasangan suami istri yang sudah lama menikah, namun belum dikaruniai anak), upacara asyeik minta ilmu, upacara asyeik tolak bala, upacara asyeik lindung negeri dari timpaan bencana alam.
Untuk melindungi kepunahan upacara ritual asyeik ini, pada tahun enam puluhan oleh seniman suku Kerinci mencoba menggarap tari asyeik ini menjadi seni pertunjukan, tapi hasil yang mereka capai sangat jauh berbeda, meskipun tari tersebut bisa diangkat ke atas pentas tapi ia tetap kehilangan keakraban, karena tarian ini adalah upacara ritual yang bersifat spontan dan tidak bisa dilepaskan dari suasana alam Kerinci.
Dengan mengambil upacara asyeik yang sangat kuno dan mengandung nilai-nilai kearifan lokal yang dalam yaitu dengan mengadakan upacara ritual asyeik tolak bala yang meliputi upacara ritual mintak selamat atas berkah alama, (Kesuburan tanah dan agar melimpah ruah hasil panen padi maupun perkebunan), Asyeik secara kosmologi yang didalam mantranya sarat akan petuah dan nasehat untuk menjaga alam semesta dan pendekatan kepada Ketuhanan, hutan tanah dapat selalu memberi kesejahteraan buat umat manusia.
Alur kegiatan upacara ritual Asyeik persiapan sesajian : bunga lima macam, bunga tujuh macam, bunga sembilan macam, pisang dingin, pisang batu, pisang raja, pisang serai, benang berjalin tiga warna, benang berjalin lima warna, benang berjalin tujuh warna, benang berjalin sembilan warna, metas padi biasa (metas=ikatan padi yang akan dituai), beras kunyit (beras kuning), nasi putih, nasi kuning, nasi merah, nasi hitam, ayam, telur ayam, lemang putih (ketan putih yang dimasak dalam ruas bambu), lemang hitam, macam-macam jeruk, air jeruk, manik yang dibuat bentuk tangga, kayu cendana, bunga cina, kemenyan putih, rokok nipah, pinang di belah empat (delapan x lima buah), keris, kapur sirih, tembakau dua kepal, hati kambing jantan, pecahan kaca.
Sesajian yang sudah siap diletakkan diatas rak-rak undakan dilatar belakangi oleh layar hitam yang digantungi manik-manik dan keris. Semua sajian disusun dalam mangkuk –mangkuk porselin putih dari peninggalan dinasti Sung.
Alat-alat yang dipergunakan : gong besar, gong kecil, rebana yang besar (dap), rebana yang kecil,
Tingkatan pelaksanaannya : pembukaan, tingkat orang jadi, tingkat masuk bumi, tingkat naik tangga, tingkat muji guru.
Pembukaan : Dalam babakan ini Salih (Dukun) bersimpuh menghadap kearah sajian sambil membaca mantra yang berisi puja-puji terhadap roh-roh nenek moyang serta menyatakan maksud diadakannya asyeak tersebut, sambil membaca mantra guru-guru tersebut menabur beras kuning kearah sajian yang ada.
Tingkat orang jadi : Pada babakan ini salah seorang anggota masyarakat didudukkan di tengah arena asyeik, luasnya lebih kurang 6×6 meter dengan lampu penerangannya obor. Setelah duduk menggelilingi salah satu angota masyarakat yang ditunjuk oleh dukun tadi, dukun mengelilingi sambil membaca mantra, sehingga orang tadi trance (masuknya roh-roh ke dalam tubuh manusia).
Tingkat masuk bumi : Babak ini guru-guru (Dukun) kembali duduk menghadap sesajiian sedangkan orang tadi kembali ke tepi arena. Disini Salih (Dukun) yang memimpin upacara, dengan mantra dan diiringi irama dari gong dan rebana yang dikuti oleh semua yang hadir. Salih menceritakan tentang kejadian alam, manusia yang diciptakan oleh Tuhan, dan bagaimana Tuhan mengangkat derajat umat manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya diatas muka bumi ini, kemudian menceritakan pula bagaimana naik kepintu langit. Dalam mantra inilah disebut dan salih memberi nasehat untuk menjaga ciptaan Tuhan seperti hutan dan isinya.
Tingkat naik tangga : Pada babakan ini orang tadi diselubungi dengan kain kemudian diasapi dengan kemenyan yang dibakar. Sementara orang tadi diasapi, masyarakat mengelilingi si sakit sambil mengikuti lagu mantra yang dibacakan dukun atau salih.
Kemudian satu-persatu masyarakat trance, ada yang bertingkah seperti harimau, atau bersilat, serta mandi dengan pecahan kaca, namun tidak semua yang hadir ikut trance, biasanya yang trance adalah mereka yang memiliki turunan langsung dengan arwah nenek moyang yang disebut oleh salih dalam mantranya.
Bagi masyarakat yang trance tadi, si salih menanyakan kepada roh-roh nenek moyang yang masuk ke tubuh mereka yang trance, apa salah masyarakat selama ini dan bagaimana untuk memperbaikinya . Biasanya pada waktu inilah, roh-roh yang masuk ketubuh mereka yang trance tadi mengatakan sebabnya, seperti ada anggota masyarakat yang menebang pohon di hutan, padahal pohon itu tempat bersemayam roh-roh nenek moyang, atau ada yang berburu dan membunuh binatang di hutan sehingga menyebabkan murkanya roh-roh tadi.
Muji Guru : Pada babakan ini seluruh yang ada disitu kut menari dan membaca bacaan mantra yang berisikan pujian terhadap salih-salih yang terdahulu, sambil berjanji tidak akan menggangu tempat-tempat bersemayamnya roh-roh nenek moyang tadi dan tidak akan mengganggu binatang di hutan.
Pembudayaan : Upacara ritual asyeik dilaksanakan sesuai kebutuhan dan bukan upacara rutin yang dilaksanakan tiap tahunnya seperti upacara lain di Kerinci. Upacara ritual asyeik yang saya maksud bukan upacara ritual yang sudah dikemas dalam bentuk pertunjukan diatas pentas tapi upacara ritual yang sudah-turun temurun, dengan sentuhan alami, tanpa merubah, menambah atau mengurangi, namun dibiarkan utuh apa adanya seperti yang sudah turun-temurun diwariskan oleh nenek moyang suku Kerinci. Upacara yang hanya dimiliki oleh suku Kerinci dan berhubungan dengan kerohanian serta alam ghaib serta bersifat spontan.
KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat di tarik kesimpulan, tradisi lisan dalam ritual Asyeik, tidak sekedar sebuah seni tradisional dalam suatu kelompok komunitas masyarakat, tapi tradisi lisannya penuh kandungan makna akan ungkapan dan fakta sejarah masa lampau, dengan mengambil nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung didalam tradisi lisan dapat dijadikan media informasi dan tali penghubung antara suatu suku bangsa dengan suku bangsa lainnya. Dan ini menegaskan juga bahwa tradisi lisan dalam kebudayaan tidak sekedar “berkesenian”: atau bagian kecil dari kebudayaan global, namun ia merupakan tonggak, induk, dasar dari lahirnya cabang dan buah dari ilmu budaya secara keseluruhan.
Dari fakta dan data yang dipaparkan diatas tidak bisa dibantah bahwa tradisi lisan yang dibawa dalam ritual Asyeik, merupakan produk masa pra-aksara dari zaman Neolitikum, ini membuktikan di dataran tinggi pelosok pulau Sumatera sekian ratus tahun lalu sudah lahir tradisi lisan dalam bentuk upacara ritual serta sudah berkembang peradaban dan kebudayaan awal.
DAFTAR PUSTAKA
Alimin, Dpt dan Amri Swarta. (2006). Adat dan Budaya Daerah Kerinci. Kerinci: Dinas Pendidikan Kabupaten Kerinci.
Finnegan, Ruth. (1992). Oral Tradition and The Verbal Arts: A Guide to research Practices. London: Routledge.
Ife, Jim & Frank Tesoriero. (2008). Alternatif Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi: Community Development. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Parani, Julianti. (2011). Seni Pertunjukan Indonesia: Suatu Politik Budaya. Jakarta: Nalar
Kozok, Uli. (2006). Kitab Undang-undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu Yang Tertua. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Koentjaraningrat. (1990) Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta
Lindsay, Jennifer(ed). (2006). Telisik Tradisi: Pusparagam Pengelolaan Seni. Jakarta: Yayasan Kelola
Lord, Albert B. (1995). The Singer Resumes The Tale. London: Cornell University Press
——————-. (2000). The Singer of Tales Second Edition. London: Harvard University.
Der Hoop, A. N. J. Th. a. Th. van, 1932. Megalithic Remains in South Sumatra. (Translated by William Shirlaw). W. J. Thieme & Cie, Zutphen, Netherland.
Mulia, Rumbi, 1980. “Beberapa Catatan Mengenai Arca-arca yang Disebut Arca Tipe Polinesia”, dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi, Cibulan, 21-25 Februari 1977. Jakarta: Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional. Hlm. 599-646.
Munandar, Agus Aris, 2010. “Bronze Masks Discovered in Made Cave and Its Surrounding”, Research Report for Hettabrezt Spa via Emilia Ponente 130-40133, Bologna, Italy. (Unpublish).
…………….. , & Yose Rizal, 2009. “Simbolisme Kepurbakalaan Megalitik di Wilayah Pagar
Alam, Sumatera Selatan”, makalah dalam Seminar Nasional Peradaban Besemah Sebagai Pendahulu Kerajaan Sriwijaya. Kerja sama antara Pemerintah Kota Pagar Alam, Yayasan Jurai Besemah, dan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Pagar Alam, 27 Februari—1 Maret 2009.
Prasetyo, Bagyo & Dwi Yani Yuniawati (Penyunting), 2004. Religi pada Masyarakat Prasejarah Indonesia. Jakarta: Proyek Penelitian dan Pengembangan Arkeologi.
Santos, Arysio Nunes dos, 2010. Atlantis The Lost Continent Finally Found: The Deflnitive Localization of Plato’s Lost Civilization. Indonesia Ternyata Tempat Lahir Peradaban Dunia. Jakarta: Ufuk Press.
Soejono, R. P., 1981. Tinjauan Tentang Pengkerangkaan Prasejarah Indonesia, dalam Aspek-aspek Arkeologi Indonesia (Aspects of Indonesian Archaeology) No. 5. Jakarta: Proyek Penelitian Kepurbakalaan. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
———, (penyunting jilid), 1984. Sejarah Nasional Indonesia I: Jaman Prasejarah di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Steiner, Andreas M. & Massimo Vidale, 2010. “Goa Made: The mystery of the green masks”, Archeo Attualita Del Passato. Anno XXVI, n 2 (300), Febbraio 2010 Mensile Culturale. Milano: via Castel Morrone, 18-20129.
Sweeney, Amin. (1980). Author and Audiences In Tradisional Malay Literature. Berkeley: Centre For South and Southeast Asia Studies.