Sejarah Kesenian Gubang di Jemaja, Anambas

0
4669

Oleh:
Nuraini
Peneliti Muda BPNB Kepulauan Riau

ABSTRAK

Jemaja merupakan salah satu Kecamatan dalam wilayah Kabupaten Kepulauan Anambas, yang masih memelihara kesenian Gubang sebagai kesenian daerahnya. Kesenian Gubang telah dikenal masyarakat Melayu Jemaja sejak ratusan tahun yang silam. Kesenian ini berawal dari sebuah permainan orang Bunian, yang di tiru oleh penduduk Jemaja. Pada awal kesenian ini ditampilkan, oleh masyarakat Jemaja digunakan sebagai sarana pengobatan dan tolak bala bagi orang Melayu di daerah ini. Akan tetapi, dengan perkembangan zaman, kesenian ini mulai dijadikan sebuah hiburan yang sangat amat diminati oleh masyarakat Melayu di Jemaja. Dalam pertunjukan kesenian Gubang, pemainnya menggunakan dua jenis topeng (topeng Ka dan Topeng Bangkung), sehingga menjadi dua versi tarian. Topeng Ka yaitu jenis topeng yang lucu di pandang, sedangkan jenis topeng Bangkung merupakan topeng lawa (cantik) dengan memakai baju koat, topi dan sepatu seperti tuan tanah Belanda.

Kata kuci: Kesenian, Gubang, Jemaja

Pendahuluan

Kesenian menurut Koentjaraningrat (1979) adalah sebagai salah satu dari unsur kebudayaan (cultural universal) yang pada hakikatnya terdiri dari 2 lapangan besar yaitu seni rupa dan seni suara. Seni rupa berupa kesenian yang dinikmati oleh manusia dengan mata, sedangkan seni suara adalah kesenian yang dinikmati oleh manusia dengan telinga. Suatu lapangan kesenian yang meliputi budaya adalah seni drama, yang didalamnya terkandung unsur gerak atau tari, musik dan suara. Seni drama lebih lazim juga disebut sebagai kesenian teater, bisa bersifat tradisional dan bisa bersifat modern. Demikian pula dengan jenis kesenian lainnya seperti; seni tari, musik, suara, sastra dan lain-lain.
Kesenian-kesenian tersebut tumbuh dan hidup berkembang di dalam kehidupan masyarakat, pada masyarakat tani, nelayan dan seniman tradisional. Penyelenggaraannya dapat dilakukan secara perseorangan maupun secara kolektif. Bentuk kesenian yang terdapat di desa dan di kota memiliki perbedaan, di desa lebih kuat sifat tradisionalnya dalam bentuk gerak dan gaya serta tidak banyak berubah dari pola semula dan tetap dirasakan sebagai milik bersama. Sedangkan di kota telah mulai bercampur dengan kesenian lain atau kreasi baru. Begitu juga antar beberapa masyarakat atau suku bangsa memiliki ragam kesenian yang berbeda dan ciri khas tersendiri. Aneka ragam jenis kesenian yang terdapat dalam suatu masyarakat mencerminkan keaneka ragam jenis kesenian yang terdapat dalam suatu masyarakat tersebut. Setiap kesenian yang mereka miliki mengandung nilai-nilai budaya yang luhur sehingga bisa menunjukkan jati diri masyarakat pengembangnya. Nilai-nilai tersebut berfungsi mengatur tata hubungan masyarakatnya dan merupakan refleksi dari pandangan hidup mereka yang telah terpelihara secara turun temurun.
Berbagai macam kesenian rakyat yang ada dalam suatu masyarakat pada masa sekarang ini semakin kurang diminati oleh masyarakat pengembangnya. Hal ini desebabkan kecendrungan masyarakat dewasa ini untuk lebih memikirkan hal yang baru dan modern. Sebagai akibat dari perkembangan zaman, jelas kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Suatu hal yang tidak difungkiri, telah banyak jenis kesenian rakyat (tradisional) yang tidak diketahui lagi bagai mana bentuknya. Salah satu kesenian yang hampir dilupakan oleh masyakat adalah kesenian Gubang di Kecamatan Jemaja. Kalaupun ada yang tahu hanya berbatas pada kaum tua saja. Para generasi muda sekarang tidak banyak yang mengenalnya atau yang tertarik pada kesenian tradisional. Padahal dalam kesenian tradisonal terkandung nilai-nilai yang baik dan patut dikembangkan dalam kehidupannya sehari-hari.
Tulisan ini bertujuan untuk mengungkapkan latar belakang sejarah kesenian Gubang. Setelah hal tersebut diketahui, diharapkan masyarakat Jemaja dapat memahami arti penting kesenian tersebut, sehingga akhirnya dapat menumbuhkan kesadaran sejarah dan menemukan jatidiri dan identitasnya.
Metode yang digunakan dalam tulisan ini bersifat deskkriptif melalui pendekatan kualitatif. Penggunaan metode ini dimaksud agar data yang terkumpul dapat lebih bersifat representatif dan tepat guna serta memberi gambaran yang secermat mungkin mengenai kesenian yang akan dibahas. Untuk mendapat data dan informasi digunakan teknik pengumpulan data wawancara mendalam. Melalui wawancara mendalam diharapkan dapat digali selengkap mungkin hal-hal yang berkaitan dengan yang diteliti, baik dengan informan kunci (key informan) maupun informan yang dapat dipertanggungjawabkan dengan masyarakat sekitarnya sesuai dengan pedoman yang telah dipersiapkan. Wawancara mendalam dilakukan dengan tokoh masyarakat setempat maupun tokoh adat yang bertempat tinggal di Kecamatan Jemaja. Selain itu, pengumpulan data juga dilakukan dengan cara mengumpulkan berbagai naskah maupun cerita rakyat untuk mendukung data-data lainnya.

Pulau Jemaja
Jemaja merupakan sebuah pulau dalam wilayah Kabupaten Kepulauan Anambas, Provinsi Kepulauan Riau yang terletak antara 02053’20-0307’ Lintang Utara, 1050 34’50 – 105045’17” Bujur Timur, dengan batas wilayah :
– Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Cina Selatan (Laut Internasional)
– Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Cina Selatan (Malaysia Barat)
– Sebelah Barat berbatasan dengan Jemaja Timur
– Sebelah Timur berbatasaan dengan Laut Cina Selatan (Laut Internasional).
Jemaja awalnya masuk dalam wilayah Kabupaten Kepulauan Riau, Provinsi Riau. Kemudian dengan adanya pemekaran wilayah Kabupaten Kepulauan Riau, maka Jemaja masuk dalam wilayah Kabupaten Natuna yang di bentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999. Jemaja yang menjadi bagian dari Kabupaten Natuna, di bentuk menjadi sebuah Kecamatan yaitu Kecamatan Jemaja dengan ibukotanya Letung berdasarkan Undang-Unadang Nomor 53 Tahun 1999 yang berkedudukan setingkat dengan Kecamatan lainnya di Kabupaten Natuna.
Terbentuknya Kecamatan Jemaja adalah sebagai institusi eksekutif yang akan menjalankan roda Pemerintahan dan Pembangunan Kemasyarakatn serta menjadi harapan untuk dapat menjawab setiap permasalahan maupun tantangan yang muncul sesuai dengan perkembangan sosial ekonomi, sosial budaya, politik dan lainnya dalam masyarakat.

Foto 1: Pulau Letung
Sumber: Dokumentasi
Nuraini (2012)

Foto 2: Kantor Camat Jemaja
Sumber: Dokumentasi
Nuraini (2012)

Kecamatan Jemaja awalnya terdiri dari 2 (dua) desa yaitu Desa Mampok dan Impol. Selanjutnya, pada tahun 2012 dimekarkan menjadi 9 (sembilan) desa/kelurahan, meliputi:
1. Desa Mampok
2. Kelurahan Letung
3. Desa Rewak
4. Desa Keramut
5. Desa Impol
6. Desa Air Biru
7. Desa Sunggak
8. Desa Batu Berapit
9. Desa Landak

Foto 3: Pusat Kota Kecamatan Jemaja
Sumber: Dokumentasi
Nuraini (2012)

Foto 4 :Tugu Proklamasi terletak di pusat kota Kecamatan Jemaja
Sumber: Dokumentasi
Nuraini (2012)

Wilayah Kecamatan Jemaja terdiri dari pulau kecil dan besar. Pulau-pulau tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
No Nama Pulau No Nama Pulau
1. Sugi Atas 45. Mempoyong Kecil
2. Sugi Bawah 46. Mentaling
3. Combol 47. Mandah Kecil
4. Ciklim 48. Mandah Besar
5. Durian Besar 49. Batu Berlayar
6. Durian Kecil 50. Matu Berlobang
7. Panjang 51. Kain Tiga
8. Jaga 52. Kain Dua
9. Pasai 53. Kain Satu
10. Mempoyong Besar 54. Perasi Besar
11. Perasi Kecil 55. Binga
12. Jemaja Darat 56. Jerapong Besar
13. Jemaja Tengah 57. Jerapong Kecil
14. Jemaja Laut 58. Seranjau
15. Belukar 59. Pandan
16. Menteras Besar 60. Anak Pandan
17. Menteras Kecil 61. Pisang
18. Karang Itik 62. Pisang Batu
19. Itik 63. Semangki
20. Karang 64. Badas
21. Paloi 65. Duku
22. Paloi Kecil 66. Parang
23. Bontot 67. Bahan
24. Dok 68. Murai Batu
25. Manis 69. Ojol
26. Jangkar 70. Cuping
27. Murai 71. Nibung
28. Keloncing 72. Lemas
29. Berdaun 73. Anak Lemas
30. Pauh 74. Pait
31. Subi Laut 75. Sepatu
32. Selarang 76. Keban
33. Subi Darat 77. Sekatip
34. Anak Subi Darat 78. Kelelawar Besar
35. Jang 79. Kelelawar Kecil
36. Conding laut 80. Sebaik
37. Conding darat 81. Nenas
38. Telunas 82. Cutei
39. Maribung 83. Lini
40. Merottok Kecil 84. Dulang
41. Merottok Besar 85. Resam
42. Saoma 86. Tokong Sekatip
43. Anak Saoma 87. Nipah
44. Separi

Sumber: BAKOSURTANAL

Pada tahun 2008 Kabupaten Natuna terjadi pemekaran wilayah. Anambas dan pulau-pulau sekitarnya, termasuk pulau Letung, Kecamatan Jemaja yang awalnya masuk dalam wilayah Kabupaten Natuna, memisahkan diri dan membentuk Kabupaten sendiri yaitu Kabupaten Kepulauan Kepulauan Anambas, yang di bentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2008. Pulau Jemaja letaknya cukup dekat dengan Kabupaten Kepulauan Anambas, menjadi bagian dari Kabupaten Kepulauan Anambas..

Asal Mula Nama Jemaja

Berdasarkan informasi yang diperoleh dilapangan, terdapat dua versi tentang asal mula nama Jemaja. Versi pertama, menyebutkan bahwa Jemaja berasal dari “Jam Raja”. Dahulu pulau ini tempat istirahat raja-raja dari segala penjuru. Raja yang dimaksud disini bukan raja yang berdaulat/memerintah dari sebuah kerajaan, tetapi raja yang dimaksud adalah orang-orang yang kuat atau orang-orang yang disegani oleh masyarakat di daerah Jemaja. Ketika orang – orang kuat pergi ke pulau ini, jam yang dipakai salah satu dari mereka tinggal di pulau tersebut . Oleh karena itu, disebut jam raja, yang artinya pulau tempat tinggalnya jam raja. Versi kedua, menyatakan bahwa dahulu pulau itu tempat berkumpulnya para raja-raja (orang-orang kuat) untuk bermusyawarah apabila ada masalah atau kejadian pada warga masyarakat Letung. Dari kedua versi tersebut, akhirnya oleh masyarakat setempat di sebut dengan Jemaja dan sampai sekarang melekat menjadi nama Jemaja.

Foto 5: Pulau Jemaja
Sumber: Dokumentasi
Andrin (2012)

Sedangkan nama Letung menurut penuturan Bapak Andrin (Ketua Lembaga Adat di Kecamatan Letung) berasal dari seorang putri bernama Buluh Betung, tepatnya berada tidak jauh dari Mesjid Ikhsan sekarang. Dari nama putri Buluh Betung, akhirnya menjadi Letung. Kapan nama buluh betung manjadi Letung, tidak diketahui dengan pasti.
Pada masa pemerintahan Belanda, Jemaja diperintah oleh Datuk Kaya bernama H. Muhammad Tara yang berkedudukan di Desa Kuala Maras. Untuk menangkis serangan dari musuh, Datuk Kaya membangun benteng disekitar tempat kediamannya. Setelah beliau meninggal dunia diganti oleh anaknya yaitu Yahya H. Uda untuk menjalani pemerintahan di Jemaja.

Kesenian Gubang
“Gubang” adalah seni tari dan musik tradisional masyarakat Melayu di Kecamatan Jemaja, Kabupaten Anambas. Mengenai kapan kesenian Gubang ini muncul tidak diketahui secara pasti, tetapi diperkirakan sudah berusia ratusan tahun. Kesenian Gubang hingga saat ini masih ditemui keberadaanya meskipun sudah banyak megalami perubahan, terutama dalam hal gerakan maupun kostum yang digunakan oleh pemainnya.
Kesenian Gubang menurut penuturan orang-orang tua di Kecamatan Jemaja, berasal dari sebuah permainan orang Bunian (makhluk halus) yang dilakukan pada malam hari hingga fajar menyinsing. Tujuan dilakukan permainan ini, adalah untuk acara ritual sebuah pengobatan pada orang Bunian. Kemudian kesenian ini berkembang menjadi sebuah kesenian masyarakat Jemaja.
Permainan orang Bunian yang dilakukan di dalam hutan, pertama kali disaksikan oleh 9 (sembilan) orang penduduk Desa Mampok ( sebuah desa yang masuk dalam wilayah pulau Jemaja). Mengenai kata mampok terdapat dua vesi; pertama, di ambil dari nama kayu yang tumbuh di daerah tersebut, dan sekarang kayu mampok tidak ditemui lagi. Kedua, kata mapok di ambil dari orang yang mampu berbuat apa saja (orang kuat yang dianggap raja di daerah tersebut) .

Foto 6: Desa Mampok
Sumber: Dokumentasi
Andrin (2012

Ketika sembilan orang nelayan pergi ke laut untuk mencari ikan (mengail) di sekitar perairan desa Mampok, mereka mendengar suara sayup-sayup, dan bunyi gendang sepertinya ada sekelompok orang sedang melaksanakan sebuah pesta atau kegiatan. Awalnya suara tersebut terdengar sangat jauh, tetapi semakin lama terdengar semakin jelas. Bunyi gong, gendang dan suara orang menjadi satu sehingga menciptakan sebuah irama yang kadang-kadang sendu dan riang. Bahkan terdengar suara ketawa dan sorak sorai selayaknya orang sedang gembira.
Perasaan ingin tahu dari ke sembilan orang tersebut semakin besar, dengan diam-diam mereka berkayuh menuju ke darat. Sampai di pantai, jongkong (sampan) disembunyikan di suatu tempat yang aman. Dengan perasaan was-was dan sangat berhati-hati, mereka mulai menuju ke arah sumber suara tersebut. Mereka menelusuri bukit dan hutan-hutan tanpa menggunakan alat penerang, sehingga akhirnya sampai lah mereka ke tempat yang di tuju. Di selah-selah pohon dan semak belukar, mata mereka hanya melihat ke satu pandangan yang sangat aneh. Dengan perasaan ngeri dan takut, mereka melihat dengan jelas seperti ada sebuah perhelatan (pesta) yang dilakukan oleh sekelompok orang di dalam hutan. Gendang, tambuh, gong di pukul dan diiringi dengan suara manusia seperti bacaan mantera atau sebuah nyanyian. Wajah orang-orang itu sangat menakutkan, ada yang matanya merah, bertaring, berjenggot yang panjang, dan bentuk badannya aneh-aneh. Tidak lama setelah gendang dan gong dibunyikan, datang pula rombongan lainnya dengan berjalan membuat gerakan mengikuti irama yang dilantunkan. Pola tingkah laku mereka sangat aneh dan menyeramkan. Trkadang ada yang berteriak seperti kesakitan, ada yang mendengus kelelahan dan ada yang berteriak layaknya orang yang sedang gembira. Gerakan mereka seperti tarian, berkeliling dan membuat sebuah lingkaran sambil mengeluarkan suara-suara aneh, tetapi mirip seperti sebuah nyanyian yang dilakukan secara bergilir.
Menjelang pagi, permainan itu semakin meriah ada yang bersorak, melompat, dan berteriak sambil menghentakkan kakinya di tanah. Dalam sebuah rumah yang letaknya tidak jauh dari tempat permaianan tersebut, tampak sekelompok perempuan yang menyiramkan air ke arah penari yang sedang asyik menari. Setelah itu, tidak ada lagi suara dengusan seperti orang yang menahan sakit.
Para nelayan tersebut terus mengikuti permainan itu sampai selesai. Tanpa disadari hari pun sudah siang, dan mereka segera pulang melalui hutan dan semak-semak belukar. Setelah sampai di pantai, mereka pun segera mengambil jongkong yang disembunyikan, dan berkayuh pulang ke rumah masing-masing. Beberapa hari setelah menyaksikan permainan tersebut, mereka berkumpul di suatu tempat untuk saling mengingatkan kembali cara-cara permaianan yang dilakukan oleh orang bunian. Mereka coba meniru cara menari, menabuh gendang, memukul gong, juga mengingatkan lagu-lagu yang dinyanyikan dalam permainan tersebut. Setelah mereka dapat mengingatkan kembali, akhirnya mereka pun sepakat untuk menampilkan permainan tersebut sebagai hiburan di tempat mereka tinggal.

Foto 7: Topeng Lucu 1
Sumber: Dokumentasi
Madison (2012)

Foto 8: Topeng Lucu 2
Sumber: Dokumentasi
Madison (2012)
Pada awal kesenian Gubang ditampilkan, masyarakat Jemaja lebih mengenal sebagai permainan Ka atau topeng “Ka”. Kesenian ini dimainkan di atas panggung yang disebut “selasar buang”. Setelah selesai bermain pentas ini diroboh dan bahannya dibuang (selasar buang). Jumlah pemain topeng ka tidak terbatas, siapa saja boleh ikut menari dengan syarat memakai topeng yang berbentuk lucu atau menyeramkan. Para penari mengenakan pakaian bebas sopan sesuai dengan bentuk topeng yang dikenakan.

Foto 9: Tarian Ka
Sumber: Dokumentasi
Madison (2012)

Tarian ka berupa tarian bebas yang mengikuti alunan musik yang terdiri dari:
– Enam atau delapan gendang rebana ( gendang bulat besar dan gendang bulat kecil)
– Dua buah gendang panjang
– Dua buah tetawak
– Satu Serunai.
– Satu buah gong
Gendang panjang dan gong hanya dimainkan untuk mengiringi lagu pembukaan dan lagu terakhir. Lagu-lagu gendang panjang terdiri dari;
1. Lagu Tambo Satu ( lagu arak-arakan)
2. Lagu Tambo Dua (lagu Cak-Cong)
3. Lagu Tambo Tiga (lagu kambing berlage)
4. Lagu Tambo Empat (anjing menyalak)
5. Lagu Tambo Lima
6. Lagu Tambo Enam
7. Lagu Tambo Tujuh

Lagu-lagu gendang panjang seperti lagu arak-arakan, cak cong, kambing berlaga, dan anjing menyalak, di kenal dengan sebutan “Tambosa Tusam Tujuh”. Lagu Gubang lainnya tidak lagi memakai gendang panjang dan gong, tetapi memakai beberapa buah gendang ( sejenis rebana), Empat buah atau lebih, Serunai Gubang, tetawak dua buah, satu untuk merinding, satu untuk menangkah.

Foto 10 : Alat Musik Kesenian Gubang
Sumber: Dokumentasi
Andrin (2012

Gong termasuk alat musik tertua dalam kehidupan masyarakat Melayu di Kepulauan Riau. Mengenai sejarah gong sebagai alat musik dapat ditemui dalam beberapa literatur seperti dalam Sobuwati (2009:22), yang menyatakan bahwa gong banyak ditemui di hampir seluruh etnis yang ada di Kepulauan Riau dan dataran benua Asia, termasuk di Indonesia. Gong telah dikenal sejak tahun 1330 M yaitu terdapat dalam relief Candi Penataran, candi sebelah timur dan batur pewepa. Dari relief tersebut diketahui bahwa gong alat musik yang terbuat dari perunggu mencapai perkembangannya antara abad ke-13 sampai pada abad ke 15 Masehi. Relief itu menunjukkan fungsi gong dalam suatu peperangan, sebagai alat penyampai berita dengan symbol tertentu, dan serbagai alat musik dalam suatu upacara. Sejak abad ke 15 sampai sekaraang, gong lebih banyak dikenal sebagai alat musik tradisional. Hingga saat ini gong masih digunakan baik untuk keperluan sakral seperti upacara kematian, upacara agama dan dapat juga digunakan untuk mengiringi alat musik lain untuk tujuan hiburan semata. Dari sejak masa prasejaraah hingga masa kini, alat musik gong masih diyaki sebagai benda keramat sehingga harus diperlakukan dengan baik. Keyakinan ini dikarenakan gong memiliki fungsi dalam kegaiatan keagamaan dan upacara adat lainnya (Sobuwati, 2009:22).
Senada dengan itu, Tusiran Suseno (2006) mengatakan bahwa gong telah lama dikenal sebagai alat musik. Di Candi kembar Muaro Jambi, dalam suatu penggalian sejarah telah ditemukan sebuah gong yang bertuliskan huruf Cina yang di duga berasal dari abad ke 13 Masehi. Masuknya gong di Nusantara dapat dipetik dari keronik dinasti Tang (618-906 M) buku 222, yang menyebutkan bahwa raja P’oli naik gajah dengan iringan gendang dan gong. Jenis gong yang digunakan untuk mengiringi lagu joget pada awalnya adalah jenis gong yang tebal, terbuat dari kuningan dan berukuran sedang (paling kecil berdiameter 35 cm). Untuk memainkan gong digunakan sebuah alat pukul yang terbuat dari kayu yang ujungnya di beri lilitan karet, untuk menghasilkan bunyi yang bulat dan menggema. Dalam musik joget, gong menjadi alat musik penyelaras tempo sehingga alunan musik yang dihasilkan dapat seirama dan indah.
Kelompok kesenian Gubang yang terdapat di Kecamatan Jemaja memiliki tujuh ( 7) orang pemain musik, mereka adalah;
1. Abdul Malik (ketua)
2. Karmin
3. Sabli
4. Buhari
5. Rairah
6. Hasanuddin
7. Sa’i
8. Kamaruddin

Foto 11: Pemain musik Kesenian Gubang
Sumber: Dokumentasi
Andrin (2012

Tugas mereka yaitu untuk memainkan alat musik gendang, gong, tetawak dan lain-lain. Untuk menjadi seorang pemain musik kesenian Dangkung, tidak hanya dibutuhkan keahlian dalam memainkan alat-alat musik pengiring joget, namun juga harus kreatif dalam menciptakan irama yang berfariasi. Hal ini dikarenakan lagu-lagu kesenian Gubang sangat memberikan peluang informasi kepada setiap penyanyi. Meskipun tidak ada pembatasan jenis kelamin untuk menjadi seorang pemain musik kesenian Gubang, namun dalam kenyataannya para informan mengatakan hingga kini belum ada pemain musik perempuan.

Lagu-lagu kesenian Gubang
Dalam kesenian Gubang terdapat dua puluh empat lagu, namun yang diketahui hanya delapan belas lagu. Lagu-lagu ini dinyanyikan selama semalam suntuk, mulai dari setelah sholat isya sampai dengan subuh. Adapun lagu-lagu tersebut adalah:

1. Alang panjang (halangan panjang)
2. Alang pendek (halangan pendek)
3. Abang
4. Dalung
5. Ganjo (kembang tak jadi)
6. Timamg burung
7. Abang Tambelan
8. Orang Padang
9. Gintong (sejenis sendok)
10. Cik Minat (berminat)
11. Anak burung
12. Linau (melihat, memperhatikan)
13. Ngabang (keluhan terhadap kakanda atau abang)
14. Yak yon ( irama tatkala bersenandung)
15. Anak malang
16. Diding (sejenis bakul besar yang dibuat dari rotan)
17. Limbuk
18. Lanang

Lagu lanang adalah lagu penutup yang dinyanyikan oleh salah satu pemain musik. Pada lagu terakhir ini, tidak ada lagi penari Topeng Lawa maupun Topeng Ka yang menari. Pada lagu lanang ini, Topeng Lawa dan Topeng Ka membuka tutup mukanya untuk memperkenalkan dirinya.
Lagu-lagu Gubang berbentuk pantun yang dilakukan dengan berbalas dengan penyanyinya. Contoh salah satu lagu dalam kesenian Gubang, yaitu lagu Cik Minat:

– Bagaimane ngalen kemunat
– Kemunat di alin dengan sabut
– Bagaimane tarian cik Minat
– Cik Minat menari lemah lembut

– Due tige dayung ke Jambi
– Putik nenas di dalam kebun
– Tidak kasian melihat kami
– Siang perpanas malam berembun

– Bintang tujuh tinggal enam
– Jatuh sebiji di Majapahit
– Badan sejuk rasa nak demam
– Seri kaye pun terase pahit
Perkembangan Kesenian Gubang

Kesenian Gubang pada awalnya digunakan sebagai sarana pengobatan dan tolak bala. Orang Melayu Jemaja tempo dulu percaya bahwa dengan melaksanakan pementasan Gubang, mahkluk halus tidak mengganggu masyarakat karena mereka asyik mengikuti kesenian tersebut. Seiring dengan perkembangan waktu, kesenian gubang mulai diminati oleh masyarakat Jemaja, meskipun dalam lingkup kecil.
Kesenian Gubang pertama berkembang di Dusun Bayur dan Dusun air Kenanga yang terletak di ujung Desa Mampok Kecamatan Jemaja. Selanjutnya, kesenian Gubang tidak saja diminati oleh masyarakat Jemaja, tetapi juga banyak diminati oleh masyarakat Melayu di wilayah Pulau Tujuh. Apabila ada acara seperti nikah kawin, kenduri khitanan atau hari-besar lainnya kesenian ini selalu ditampilkan. Dalam perkembangan selanjutnya, Kesenian Gubang mengalami pasang surut karena kurangnya dana untuk mengembangkan kesenian tersebut. Meskipun demikian, Kesenian Gubang tetap saja ditampilkan pada acara-acara tertentu seperti acara pesta pernikahan.
Pada masa konfrontasi, kesenian Gubang sempat menghilang dari masyarakat Jemaja. Kemudian setelah berakhirnya konfrontasi, kesenian ini muncul lagi dan sampai sekarang masih sering ditampilkan di berbagai acara, seperti memperingati hari-hari besar nasional, menyambut tamu yang datang di Jemaja, sunatan dan lain-lain. Kesenian ini juga pernah ditampilkan di Tanjungpinang dalam acara memperingati hari Prolamasi Kemerdekaan RI. Selain itu, juga pernah tampil di Taman Mini Indonesia di Jakarta.
Kesenian Gubang mengalami perubahan pada zaman penjajahan Belanda. Pada masa itu, Jemaja dipimpin oleh seorang Datuk Kaya bernama H. Muhammad Tara. Dalam menjalani pemerintahannya, Datuk Kaya biasa memakai pakaian seperti tuan tanah Belanda, dengan mengenakan baju koat, topi dan sepatu. Pakaian yang biasa dipakai Datuk Kaya, kemudian dipakai sebagai kostum kesenian Gubang. Sejak itu, kesenian Gubang dibuat menjadi dua versi tarian, pertama tarian mengenakan topeng Ka (kelaka) bahasa setempat yang berarti topeng lucu. Dan, kedua para penarinya mengenakan topeng lawa atau biasa juga disebut topeng bangkung.

Foto 12: Tarian Topeng Lawa
Sumber: Dokumentasi
Madison (2012
Penari-penari kesenian Gubang:
1. Supardi
2. Ismail
3. Darwis
4. Burhan
5. Perman Hadi
6. Ruslan
7. Asnasir
8. M. Nasir
9. Tarmiza
10. A. Rahman

Kesenian Gubang selain terdapat di Jemaja, juga ditemui di Tarempa, Kabupaten Anambas. Menurut Bapak Malik, salah satu pemain Gubang di Jemaja menyebutkan bahwa kesenian Gubang Tarempa berasal dari sebuah permainan masyarakat Suku Laut yang dulu suka perampok di sekitar perairan laut Cina Selatan. Dari hasil merampok, mereka mengadakan pesta yang meriah dengan menghibur diri dari tarian yang mirip dengan tarian Gubang yang ada di Jemaja.

Penutup

Kesenian Gubang hingga saat ini masih diminati oleh sebagian masyarakat Melayu di Kecamatan Jemaja, meskipun dalam lingkup yang kecil. Dalam berbagai acara seperti; perkawinan, kegiatan Pemerintah Daerah dan lain-lain, kesenian Gubang masih dipentas oleh kelompok kesenian Gubang di Kecamatan Jemaja. Meskipun kesenian ini telah mengalami berbagai perubahan, baik yang di sengaja dengan alasan mengikuti tuntutan zaman demi menjaga eksistensi, maupun yang terjadi karena perubahan sosial-budaya masyarakat Melayu di Kecamatan Jemaja. Perubahan tersebut mencakup penambahan alat musik, lagu dan gerak, kostum, organisasi kelompok Gubang, maupun tata pertunjukan. Berdasarkan perubahan tersebut, kesenian Gubang di Kecamatan Jemaja dapat digolongkan kedalam seni tari kreasi yang berorientasi kepada nilai tradisional, meskipun ada unsur yang di rubah tetapi masih ada unsur tradisional yang tetap dipertahankan.
Kesenian Gubang yang ada di Kecamatan Jemaja saat ini memiliki fungsi yang berbeda dengan kesenian Gubang pada masa lalu. Fungsi kesenian Gubang sudah semakin berkurang dan semakin lemah, atau dengan kata lain kesenian Gubang sekarang tidak begitu penting lagi bagi masyarakat Melayu di Kecamatan Jemaja. Meskipun kesenian Gubang saat ini masih berfungsi sebagai suatu hiburan, namun bukan lagi sebagai hiburan yang utama dan paling digemari oleh masyarakat, karena kesenian ini kalah bersaing dengan hiburan lainnya. Agar kesenian tidak hilang di masyarakat Jemaja, berbagai upaya pelestarian kesenian Gubang telah dilakukan, tetapi belum mencapai hasil yang maksimal.
Perhatian Pemerintah Daerah dan swasta sangat diharapkan, agar kesenian Gubang tidak punah, dan tetap eksis. Untuk itu, perlu upaya sosialisasi yang lebih terarah dan terpadu kepada generasi muda sehingga mereka tidak hanya mengenali unsur kesenian modern saja.
Apabila kekayaan budaya tersebut kurang diminati bahkan terkesan diacuhkan, maka dikhawatirkan suatu saat akan punah dan tidak diketahui lagi oleh generasi selanjutnya. Oleh sebab itu, maka diperlukan usaha serta langkah-langkah untuk melestarikan kesenian tersebut. Salah satunya adalah dengan cara mengadakan penelitian, sehingga berbagai nilai, norma serta pesan yang terkandung didalamnya dapat diungkap dan diketahui.

DAFTAR PUSTAKA

Adilah. 2009. ”Kesenian” makalah dalam http:/ / www.walkerart.Org/index.wac

Balai Pustaka. 2001. Pantun Melayu. Jakarta: Balai Pustaka.

Efendi, Tenas. 1993. Pantun sebagai Media Dakwah dan Tunjuk Ajar Melayu.
Pekanbaru: Pemda Tk. 1 Propinsi Riau.

Endraswara, Suwardi. 2006. Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan Ideologi,
Epistemolog, dan Aplikasi. Sleman:Pustaka Widyatama.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.

Faisal, Sanapiah. 2005. Format-Format Penelitian Soaial. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.

Febriyandi, Febby. YS. 2011. Joget Dangkung Eksistensi, Fungsi dan Upaya
Pelestarian. BPSNT Tanjungpinang.

Hadiwinoto S, 1995. ”Beberapa Aspek Pelestarian Warisan Budaya” Makalah.
Disampaikan pada seminar Pelestarian dan Pengembangan Masjid Agung
Demak. Demak. 17 Januari 2002.

Hamidi, UU. 1995. Orang Melayu di Riau. Pekanbaru:UIR Press.

Harsono, T. Dibyo. 1995. Dinamika Sosial Masyarakat Melayu Dilihat Dari Kesenian
Joget Dangkung. Naskah (belum terbit). BKSNT Tanjungpinang).

Karwati. 2009. ”Pendidikan Seni Tari” Makalah pada Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Indraprasta Jakarta.

Kayam, Umar. 1981. Seni, Tradisi. Masyarakat. Jakarta:Sinar Harapan.
Gramedia.

Murgiyanto, Sal. 1985. ”Seni Tari Melayu: Struktur dan Refleksi Keindahan”.
Makalah Pada Seminar Masyarakaat Melayu dan Kebudayaannya.
Tanjungpinang 17-21 Juli 1985.

Novendra dan Evawarni. 2006. Kesenian Tradisional Masyarakat Kepulauan Riau.
Depbudpar-BPSNT Tanjungpinang.

Sinar, Tengku Lukman. 1990. Pengantar Etnomusikologi dan Tarian Melayu.
Medan: Perwira

Parani, Julianti L. ”Seni Tari Melayu: Fungsinya Dalam Budaya Melayu” Makalah
Pada Seminar Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaan. Tanjungpinang
17-21 Juli 1985.

Sobuwati. 2009. Kesenian Tradisional Masyarakat Bangka Belitung. Depbudpar-
BPSNT Tanjungpinang.

Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.

Suseno, Tusiran, dkk. 2006. ”Butang Emas” Warisan Budaya Melayu Kepulauan
Riau. Tanjungpinang: Yayasan Pusaka Bunda.

Suwardi , MS. 1991. Budaya Melayu Dalam Perjalanan Menuju Masa Depan.
Pekanbaru: Pusat Penelitian UNRI.