Belajar sejarah secara konvensional sering dianggap membosankan. Identik dengan belajar menghafal tahun, angka dan nama orang, serta peristiwa. Efeknya adalah sejarah akan menjadi peristiwa yang tak dimaknai dan dipahami apa yang terjadi dalam peristiwanya. (Notosusanto,1985). Salah satu penyebabnya media untuk belajar sejarah yang dianggap tak menarik. Dengan perkembangan zaman, belajar sejarah secara visual melalui film jauh lebih efektif karena dianggap lebih menarik.
Dalam beberapa tahun terakhir banyak diproduksi film bertema sejarah, khususnya biografi kepahlawanan. Ada film Soekarno, Jenderal Soedirman, Guru Bangsa Tjokroaminoto, Soegija, Sang Pencerah hingga Nyai Ahmad Dahlan. Ada pula Battle of Surabaya dan sejumlah judul film lain yang berkisah tentang perang kemerdekaan.
Munculnya film sejarah Banda The Dark Foretten Trail menampilkan sesuatu yang beda. Film mulai tayang serentak sejak 3 Agustus 2017 lalu. Film dokumenter garapan Lifelike Pictures ini mengangkat tema tentang jalur rempah (spice road). Tema jalur rempah diangkat melalui
audi visual. Berkisah tentang Kepulauan Banda yang masa silam menjadi pusat rempah-rempah, khususnya kini seakan terlupakan.
Menyebut nama Banda setidaknya ada dua yang umum diketahui publik. Pertama, Banda Neira menjadi tempat pembuangan para tokoh bangsa. Sebut saja Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Dr Tjipto Mangunkusumo dan Iwa Sumantri. Kedua, Banda dikenal hasil buminya berupa pala yang mendunia. Hasil palalah yang menjadikan Banda menjadi magnet dan incaran penjelajah Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda.
Pala, biji tumbuhan itu adalah kemewahan paling diidamkan di Eropa abad ke-17. Satu jenis rempah yang memiliki khasiat pengobatan begitu hebat sehingga orang mempertaruhkan nyawa memperolehnya. Obat mujarab menyembuhkan penyakit. Hal yang tantangan hebat zaman itu adalah tak seorang pun yakin dari mana pala itu berasal. Pala katanya berasal dari Hindia tapi kapal-kapal dari Eropa belum pernah mengarungi perairan tropis Samudera Hindia. Kepulauan Banda yang terletak begitu terpencil sehingga tak seorang pun orang di Eropa memastikan pulau itu betul-betul ada. (Giles Milton,2015).
Giles Milton dalam bukunya “Pulau Run, Magnet Rempah-rempah Nusantara yang Ditukar dengan Manhattan”, menulis tahun 1511, Portugis menjadi bangsa Eropa pertama yang menginjakkan kaki di Kepulauan Banda. Diusik oleh permusuhan di tempat lain di Hindia Timur, mereka tidak kembali hingga 1529 ketika seorang pedagangPortugis bernama Kapten Garcia mendaratkan pasukannya ke Kepulauan Banda. Ia terkejut menemukan bahwa kepulauan yang telah menyebabkan kegemparan di Eropa itu hanya memiliki wilayah gabungan yang tak lebih besar dari Lisbon, ibukota Portugis.
Sejarah ditukarnya Pulau Run di Kepulauan Banda yang dibawa penguasaan Inggris dan Manhanttan yang dikuasai Belanda juga diceritakan dalam film ini. Betapa hebatnya Pulau Run sehingga Belanda mau melepas Manhanttan dan menyerahkannya ke Inggris. Manhattan kini jadi kota metropolis di Amerika Serikat, sementara Pulau Run terbalut dalam sepi dan tinggal sejarah.
Film sebagai media belajar sejarah yang efektif juga bisa dilihatkan dalam film yang disutradarai Jay Subiakto ini. Pemandangan Banda dengan benteng-benteng yang bertebaran, kebun pala dan pantai yang eksotis seakan mengenang Banda masa lampau. Heterogennya penduduk Banda juga jadi sorotan
dan mengambarkan kondisi ini terbentuk karena masa lampau orang dari berbagai daerah di nusantara ramai datang ke Banda.
Kehadiran fim Banda: The Dark Forgette Trail diharapkan dapat membuka mata masyarakat tentang sejarah Banda yang punya peranan penting pada masa silam. Selain itu, juga memperkuat berbagai kajian yang kini digalakkan tentang jalur rempah. Film ini mempertegas bahwa jalur rempah di nusantara ini terbentang dari Aceh hingga ke Kepulauan Banda, termasuk Nusatenggara.
Masih banyak jalur rempah lain yang bisa diangkat untuk sumber jadi film dokumenter. Sejumlah daerah di Sumatera dan Kalimantan kaya dengan hasil ladanya. Banyak jalur perdagangannya melalui sungai-sungai besar, seperti Batanghari dan Musi. Cengkeh di Maluku Utara, seperti Ternate dan Tidore, termasuk juga di Pulau Tujuh, Kepulauan Riau. Kulit manis subur di Sumatra. Semuanya menarik untuk dikupas melalui audio visual. Selama ini jalur rempah banyak dikupas
melalui ekspedisi jalur rempah, seperti yang dilakukan Kompas. Lahir tulisan yang bernas tentang denyut nadi rempah di nusantara.**