Makna Upacara Aseik Bagi Masyarakat Kerinci Jambi

0
3510

Oleh : Febby Febriyandi. YS

Pendahuluan
Kepercayaan terhadap adanya hubungan antara roh leluhur dengan anak cucunya masih hidup dalam sebagian masyarakat Kerinci Provinsi Jambi. Mereka percaya bahwa leluhur yang telah meninggal dunia dapat mempengaruhi kehidupan anak cucunya, baik dalam hal mendatangkan kebaikan, membiarkan datangnya musibah dan juga memberikan teguran/hukuman. Dengan kata lain, roh nenek moyang turut menentukan keseimbangan dalam kehidupan mereka. Kepercayaan ini melahirkan sikap hormat kepada nenek moyang. Iskandar Zakaria (2006) mengatakan, puncak dari rasa hormat orang Kerinci kepada nenek moyang mereka diwujudkan dalam suatu bentuk upacara yang disebut upacara Aseik .
Upacara aseik telah lama mentradisi dalam masyarakat Kerinci. Setiap desa di wilayah Kerinci memiliki tradisi upacara aseik masing-masing, namun dalam 20 tahun terakhir berbagai perubahan kultural dalam masyarakat telah menekan keberadaan upacara aseik, sehingga semakin jarang dilaksanakan. Berpijak pada pemikiran Geertz (1992) bahwa manusia adalah mahkluk simbolik yang hidup dalam jaringan makna, tulisan ini berusaha menjelaskan ancaman terhadap keberadaan upacara aseik dalam masyarakat kerinci saat ini . Pada bagian akhir tulisan dipaparkan pula solusi pelestarian upacara aseik dalam masyarakat Kerinci.

Pelaksanaan Upacara Aseik
Upacara aseik adalah suatu tradisi dalam masyarakat Kerinci yang dilakukan untuk berhubungan dengan roh nenek moyang. Pada masa pra Islam hingga masa awal pengembangan ajaran Islam, upacara aseik diartikan sebagai sebuah upacara penyucian jiwa dari segala bentuk perbuatan buruk yang dipercaya disebabkan oleh roh-roh jahat. Setelah ajaran Islam dianut secara utuh, upacara aseik diartikan sebagai sebuah upacara yang dilakukan untuk memohon doa kepada Allah swt dan sekaligus meminta maaf kepada nenek moyang. Dari pengertian kedua ini tampak jelas adanya usaha memadukan tradisi lama dengan ajaran Islam.
Orang Kerinci meyakini apabila dilakukan dengan benar, upacara aseik memberikan manfaat positif baik bagi pribadi maupun masyarakat, seperti semangat kerja meningkat, tubuh segar dan sehat, jauh dari sifat-sifat buruk (prsangka, dengki, dendam dll), berani menegakkan kebenaran, usaha pertanian dan perdagangan lebih baik, dan terwujudnya masyarakat yang tentram dan makmur.
Berdasarkan keyakinan tersebut, orang Kerinci melaksanakan upacara aseik untuk tiga tujuan. Pertama, untuk menolak segala musibah (tolak bala) yang mungkin menimpa suatu desa. Kedua, untuk menyempurnakan proses pengobatan (pemati obat) bagi orang-orang yang berobat kepada dukun kampung. Ketiga, sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah swt dan ucapan terima kasih kepada nenek moyang yang telah melindungi anak cucunya dari gangguan roh jahat.
Waktu penyelenggaraan upacara aseik disesuaikan dengan upacara itu dilaksanakan. Upacara aseik sebagai wujud terima kasih kepada nenek moyang biasanya dilaksanakan antara tanggal 7 – 29 bulan Syawal. Upacara aseik untuk tolak bala dan pengobatan dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan peserta upacara. Upacara aseik harus dilaksanakan pada areal yang datar, luas, bersih dan tenang. Sedapat mungkin upacara aseik dilaksanakan di halaman rumah gedang dan terdapat kuburan nenek moyang yang semasa hidupnya menguasai ilmu batin serta menjadi teladan bagi masyarakat.
Pelaksana upacara aseik terdiri dari Imang/imam, imam nan empat, dan pawang. Imang adalah pemimpin pelaksanaan upacara aseik. Ia bertanggungjawab atas segala hal yang berkenaan dengan upacara mulai dari persiapan hingga akhir upacara. Imam nan empat adalah empat orang perempuan tua (atau dituakan) yang bertugas membantu imam tuo (yang juga seorang perempuan). Pawang adalah orang yang bertugas menjaga pelaksanaan upacara aseik dari gangguan mahkluk halus atau roh jahat. Peserta upacara aseik terdiri dari orang jadoi dan orang saleh. Orang jadoi adalah orang yang meminta dilaksanakannya upacara aseik dan belum pernah mengikuti upacara aseik. Orang saleh adalah orang yang telah sering mengikuti upacara aseik. Selain pelaksana dan peserta, upacara aseik dihadiri juga oleh undangan dari unsur pemerintahan desa dan pemimpin adat seperti Depati dan Niniek Mamak. Depati adalah pemimpin adat dalam masyarakat Kerinci. Niniek mamak adalah orang yang dituakan dalam masyarakat Kerinci, baik karena umur maupun karena pengalaman hidupnya.
Aseik merupakan upacara yang tergolong rumit, oleh karena itu banyak persiapan yang harus dipenuhi oleh pelaksana dan peserta upacara. Tahap persiapan upacara aseik dimulai dengan permintaan dari Orang Jadoi atau Orang Saleih kepada imang dan Pawang agar dilaksanakan upacara aseik. Apabila permintaan tersebut disetujui, imang langsung menentukan waktu dan lokasi pelaksanaan upacara aseik. Selanjutnya Orang Jadoi menemui Depati dan meminta agar rencana pelaksanaan upacara aseik diumumkan kepada seluruh warga desa. Orang-orang yang ingin mengikuti upacara aseik harus menyatakan keikutsertaannya kepada imang, dan menyampaikan tujuannya mengikuti upacara aseik.
Persiapan upacara aseik telah dilaksanakan satu minggu sebelum hari pelaksanaan. Orang jadoi dengan dibantu keluarga dan para tetangga mempersiapkan berbagai keperluan upacara aseik yaitu : membersihkan lokasi upacara, membersihkan kuburan nenek moyang, membuat tungku tempat memasak lemang, membuat dangau sebagai tempat upacara dan menyiapkan perlengkapan upacara yang terdiri dari piring besar warna putih, kain putih, pisau, dulang, nampan, cangkir, cembung, carano, bungo radang tujuh, kain meskak , dan sako tinggai (tempat sajen). Sako tinggai dibuat dari kayu dan bambu. Tempat sajen ini dibuat tiga tingkat, tingkat pertama disebut tingkat bumi, kedua disebut tingkat awan dan tingkat ketiga disebut tingkat langit. Pada setiap tingkat diletakkan sajen khusus dan tidak boleh tertukar letaknya. Tingkat bumi diisi dengan tiga bagian tubuh ayam yang masih mentah (kepala, usus dan bulu), telur rebus dan nasi. Tingkat awan diisi dengan sirih kuning, bunga kuning dan nasi kuning. Tingkat langit diisi dengan sirih kuning, bunga kuning, bertih kuning, telur kuning, lemang kuning dan ayam panggang.
Dalam masa persiapan upacara aseik, imang harus mengingatkan setiap pelaksana dan peserta untuk mematuhi pantangan upacara seik. Mereka meyakini apabila pantangan tersebut dilanggar maka masyarakat desa akan mendapatkan bencana yang besar. Pantangan dalam upacara aseik adalah :
– perlengkapan upacara tidak boleh ada yang kurang
– selama upacara berlangsung, kemenyan tidak boleh mati
– Tahapan upacara harus runut
– seluruh nenek moyang harus disebut namanya dalam tale aseik
– seluruh orang saleih di desa tersebut harus ikut melaksanakan upacara aseik, kecuali mendapat izin dari imang.
– para penonton tidak diperbolehkan memasuki dangau
– penonton tidak boleh ribut

Upacara aseik dimulai pada pagi hari. Sebelum upacara dimulai seluruh pelaksana dan peserta harus berada di dalam pondok. Peserta upacara hanya diperkenankan meninggalkan pondok tempat acara apabila ingin ke kakus atau melaksanakan sholat fardu. Untuk memeriahkan upacara aseik, biasanya ditampilkan pencak silat oleh beberapa orang pemuda desa dan disambung dengan penampilan tari rangguk. Setelah penampilan kesenian tersebut, dilanjutkan dengan mamanggai, yaitu memanggil para Depati dan Niniek Mamak untuk merestui dan menyaksikan jalannya upacara aseik. Mamanggai dilakukan oleh seorang perempuan yang ditunjuk oleh Imang untuk menghantarkan carano yang berisi sirih, kapur, rokok dan pinang kepada Depati. Setelah menerima undangan untuk menyaksikan upacara aseik, Depati kemudian menanyakan kepada seluruh undangan dan penonton, apakah boleh diadakan upacara aseik. Seluruh hadirin akan serentak menjawab “Boleh”. Seiring dengan jawaban dari seluruh hadirin, Depati memukul gong sebagai tanda dimulainya upacara aseik. Para undangan dari unsur pemerintah desa dan orang adat memasuki pondok tempat pelaksanaan upacara aseik dan duduk melingkar menghadap ke peserta upacara.
Setelah semua duduk di dalam pondok, imang didampingi imam nan empat memulai rangkaian upacara aseik dengan tahapan menguak, yaitu menolak segala hambatan yang akan menggagalkan pelaksanaan upacara aseik. Menguak juga bermaksud menerangi “jalan” roh nenek moyang menuju tempat upacara aseik. Pada tahap ini imang duduk bersimpuh menghadap sesajen sambil membakar kemenyan putih. Sambil bertale, imang melempar sesajen dengan bertih padi, dan diikuti oleh seluruh orang jadoi dan orang saleih.
Setelah seluruh peserta selesai melempar bertih padi, dilanjutkan dengan tahap mulang kejo yaitu penyerahan pelaksanaan upacara dari orang jadoi kepada imang yang diwakili oleh imam nan empat. Pada tahap ini orang jadoi menyerahkan piring putih berisi bungo radang tujuh kepada imam nan empat seraya berkata “wahai kayo, pada hari ini kami menyerahkan pekerjaan yang tidak sanggup kami kerjakan sendiri, menepati janji dan membayar nazar, Itulah tujuan kami, kayo lah yang mengurusnya. Apabila ada yang kurang kami lengkapi, apabila ada yang salah kami perbaiki”. Apabila sesajen dan segala kebutuhan upacara aseik sudah lengkap, maka dijawab oleh imam nan empat “sepertinya tidak ada lagi yang kurang, semua telah lengkap, mari kita kerjakan bersama-sama”.
Upacara aseik kemudian dilanjutkan dengan tahap memanggil roh nenek moyang atau yang disebut dengan tahap mamanggai. Pemanggilan roh nenek moyang dilakukan dengan cara menari dengan gerakan mengayunkan piring putih yang berisi air dan bungo radang tujuh, sambil melantunkan tale yang berbunyi : “datanglah wahai nenek moyang, untuk mengobati dan membersihkan jiwa cucu yang sakit, menambah rahmat Tuhan yang maka kuasa, menerima segala nazar dan menjauhkan segala musibah yang akan menimpa”.
Tahapan selanjutnya adalah marancah limou yaitu membuat ramuan dari empat macam limau (jeruk), yang dilakukan oleh orang saleih dan imam nan empat. Jenis jeruk yang biasa digunakan adalah jeruk purut, jeruk kunci, jeruk nipis dan jeruk prigi. Keempat jeruk tersebut dipotong-potong kecil, kemudian dicampur dengan air. Air limau tersebut dipergunakan untuk membersihkan benda-benda pusaka aseik atau yang biasa disebut pedandang, yaitu peralatan upacara aseik yang dipergunakan orang jadoi atau orang saleih pada zaman dahulu. Sambil marancah limou, imang dan seluruh peserta tetap bertale yang menyebutkan nama-nama limou serta bagian-bagiannya.
Tahap selanjutnya adalah bacelak, yaitu menghiasi / menerangi “jalan” nenek moyang menuju tempat upacara. Bacelak dilakukan dengan cara memercikkan air bungo radang tujuh keempat penjuru pondok tempat upacara aseik. Sambil memercikkan air tersebut, imang dan peserta upacara terus bertale memanggil roh nenek moyang. Sambil bertale imang, imam nan empat, orang jadoi serta orang saleih yang perempuan mengambil sekuntum bungo radang tujuh dan menyelipkan di sanggul mereka.
Setelah bacelak, imang, imam nan empat, orang jadoi dan orang saleih menari mengelilingi sajen sambil menjunjung piring yang berisi bungo radang tujuh. Sambil menari mereka terus bertale dengan syair tentang sejarah nenek moyang yang mereka panggil. Pada tahapan ini biasanya roh nenek moyang telah datang ke tempat upacara, ditandai dengan dicapainya tingkatan kekhusyuk’an tertinggi yang disebut dengan aseik. Orang jadoi atau orang saleih yang mencapai aseik akan kehilangan kesadaran mereka (mengalami trans) sehingga terlihat “hanyut” (sangat menikmati) dalam tarian dan tale yang dilantunkan. Peserta yang memiliki kesalahan biasanya akan dirasuki roh nenek moyang atau roh jahat dan bertingkah aneh seperti tersungkur dan mengalami kejang. Imang kemudian bertanya kepada roh yang merasuki peserta, kesalahan apa yang telah diperbuat oleh yang bersangkutan atau masyarakat desa secara umum. Roh tersebut, dengan menggunakan jasad peserta yang dirasuki, menyampaikan semua kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan, sengaja ataupun tidak disengaja. Kesalahan yang biasa disampaikan adalah pelanggaran aturan adat, dan tatakrama dalam pergaulan keluarga dan masyarakat. Setelah menyebutkan semua kesalahan dan didengar oleh semua hadirin, pawang mempersilahkan roh tersebut keluar dari tubuh peserta upacara aseik. Tarian dan tale aseik terus berlangsung hingga tidak ada lagi orang jadoi dan orang saleih yang kesurupan.
Setelah selesai menari aseik, pawang memukul-mukul orang jadoi dan orang saleih dengan arai pinang. Hal ini dilakukan agar orang jadoi dan orang saleih benar-benar terlepas dari gangguan roh jahat. Setelah itu pawang memilih beberapa orang saleih untuk membawa sajen di dalam sako tinggai ke kuburan salah seorang nenek moyang. Sajen tersebut diletakkan di dekat kuburan nenek moyang. Imang kemudian membakar kemenyan, dan berdoa sejenak. Setelah doa selesai, maka selesai pula pelaksanaan upacara aseik. Seluruh peserta upacara aseik kembali ke rumah masing-masing dengan membawa lemang, nasi dan bungo radang tujuh. Nasi dan lemang dimakan bersama keluarga, sedangkan bungo radang tujuh ditaburkan pada sudut rumah secara diam-diam. Pada malam harinya, pawang dan orang saleih mengantarkan sako tinggai ke hutan agar dimakan oleh dubalang, yaitu roh jahat yang berwujud hewan buas. Pemberian makan ini bertujuan agar roh jahat tersebut tidak mengganggu masyarakat yang pergi ke ladang atau ke hutan.

Perubahan Makna Upacara Aseik
Semua tindakan manusia sebagai mahkluk sosial sejatinya adalah sebuah simbol atau rangkaian simbol yang mengandung makna tertentu, dan menjadi landasan dilakukannya tindakan tersebut. Demikian juga dengan upacara aseik dalam masyarakat Kerinci. Upacara aseik dilakukan karena bermakna bagi masyarakatnya. Bagi masyarakat Kerinci upacara aseik merupakan sarana mencapain tujuan hidup setiap manusia. Mereka memahami bahwa tujuan menjadi seorang manusia bukanlah pencapaian kesempurnaan fisik, materi atau aspek kebendaan lainnya, melainkan tercapainya kesempurnaan atau kesucian jiwa. Jiwa dalam konteks ini diartikan sebagai sesuatu yang ada dalam tubuh manusia dan merupakan perpaduan utuh antara kalbu dan fikiran. Orang-orang yang telah mencapai kesempurnaan jiwa akan terlihat dari tingkahlakunya. Ia akan selalu berbuat kebaikan, penuh kasih sayang, tenggang rasa, menghormati orang lain, selalu mematuhi norma yang berlaku dalam masyarakat dan menjadi teladan bagi masyarakat. Selain itu, sempurnanya jiwa seseorang akan berdampak positif bagi fisik yang sehat dan semangat kerja yang tinggi.
Menjadi manusia sejati yang sempurna tidak dapat dicapai begitu saja, tetapi harus melalui berbagai tahap dalam kehidupan. Untuk mencapai kesempurnaan jiwa diperlukan suatu mekanisme pembersihan yang dilakukan secara berkesinambungan, karena pada dasarnya setiap manusia adalah mahkluk yang rentan terhadap godaan setan dan gangguan roh jahat yang menyebabkan jiwa manusia menjadi kotor atau tidak sempurna. Jiwa yang kotor menyebabkan datangnya azab dari Tuhan dan kemarahan dari nenek moyang. Jiwa yang kotor tampak dari berbagai perilaku yang melanggar adat, sifat malas, sangat mudah terpancing dalam konflik, selalu dalam keresahan, mendapatkan penyakit berat dan kehidupan menjadi serba sulit.
Oleh karena itu, diperlukan upacara aseik untuk memohon ampunan kepada Tuhan dan meminta maaf serta pertolongan kepada nenek moyang sehingga jiwa manusia kembali bersih. Upacara aseik dijadikan sebagai media pembersihan jiwa karena melalui upacara aseik kesalahan dapat diungkap dan kebenaran dapat ditemukan. Dengan kata lain, melalui upacara aseik manusia dapat menghapus kotoran jiwanya dengan mengakui kesalahan yang telah dilakukan dan berjanji tidak akan mengulanginya. Makin sering seseorang melaksanakan upacara aseik, semakin dekat ia dengan kesempurnaan jiwa.
Manusia yang berhasil mencapai kesempurnaan jiwa akan selalu abadi, dalam pengertian bahwa setiap manusia pasti mengalami kematian, tetapi manusia yang mencapai kesucian jiwa diyakini terus berhubungan dengan anak cucunya sebagai pelindung dan untuk membersihkan jiwa anak cucu yang masih hidup di alam dunia. Pada hari kiamat roh setiap manusia akan mendapatkan tempat sesuai dengan amalan perbuatannya selama hidup di dunia. Manusia yang telah mencapai kesempurnaan jiwa, diyakini akan menikmati keabadian surga. Sebaliknya, seorang manusia yang jiwanya kotor akan menderita di dalam neraka.
Sejak sekitar tahun 1990-an, mulai terjadi perubahan pemaknaan terhadap upacara aseik. Upacara aseik tidak lagi dimaknai sebagai suatu sarana pembersihan jiwa dan jalan mencapai kesempurnaan jiwa. Upacara aseik lebih dimaknai sebagai suatu bukti ketidak pahaman terhadap ajaran Islam. Upacara aseik dimaknai sebagai suatu perbuatan yang menodai keislaman orang Kerinci, karena dianggap memberikan penyembahan kepada mahkluk gaib, entah itu roh nenek moyang atau roh-roh jahat. Perubahan makna tersebut didorong oleh usaha pemurnian ajaran Islam yang dilakukan para ulama di Kerinci. Selain itu, sebagian masyarakat memaknai upacara aseik sebagai suatu tradisi pengobatan belaka, yang sangat sulit diuji kebenarannya. Dengan terjadinya perubahan makna, maka upacara aseik sebagai simbol yang membawa makna awalnya, menjadi sulit dipertahankan. Upacara aseik dapat terus bertahan dan bahkan semakin berkembang apabila upacara aseik diberikan makna baru yang tidak bertentangan dengan nilai agama dan budaya masyarakat Kerinci.

Penutup
Kendala pelestarian upacara aseik terletak pada perubahan makna upacara aseik bagi masyarakat pendukungnya sendiri. Perubahan makna ini tidak mungkin dihambat karena menyangkut keyakinan terhadap Tuhan yang merupakan aspek paling hakiki dalam kehidupan manusia. Dalam ajaran Islam, tidak ada tempat bagi pemikiran atau praktek-praktek yang menduakan Allah swt. Oleh karena itu, upacara aseik sebagai sebuah simbol hanya dapat bertahan apabila maknanya dirubah. Misalnya sebagai suatu media pembelajaran sejarah lokal. Dalam rangkaian pelaksanaan upacara aseik terdapat suatu tale tentang asal usul nenek moyang orang kerinci, hingga berkembang anak keturunannya sampai sekarang. Materi sejarah lokal seperti itu tidak mudah didapatkan, oleh karena itu keberadaan upacara aseik sangat diperlukan untuk melestarikan pengetahuan asal usul nenek moyang orang Kerinci. Upacara aseik dapat pula dimaknai sebagai identitas budaya Kerinci, karena dalam upacara aseik terdapat berbagai unsur budaya Kerinci seperti tale, pakaian tradisional/adat, tari tradisional dan sistem kekerabatan matrilineal yang dianut masyarakat Kerinci. Dengan demikian, melestarikan upacara aseik berarti pula melestarikan budaya Kerinci.

Daftar Pustaka
Geertz Clifford. 1992. Tafsir Kebudayaan (terj). Yogyakarta : Kanisius. (Karya Asli Diterbitkan Tahun 1974).
Zakaria Iskandar. 2006. “Asyik, Upacara Trasdisional Mayarakat Kerinci” . Makalah tidak diterbitkan.